Rabu, 08 November 2023

Analisis Maslahat Terhadap Alasan Pengajuan Perceraian Karena Murtad Dalam KHI (Analisis Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 Ayat h)

 


PENGANTAR

 

Perdebatan tentang pernikahan beda agama sudah ada sejak dulu kala, dan masih menjadi bahan diskusi hangat sampai sekarang, terlebih ketika media informasi digital mulai maju, tema ini sering kali menjadi bahasan yang menarik perhatian di Indonesia. Meskipun Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa keharaman nikah beda agama, namun praktiknya masih ada beberapa publik figur yang melakukan nikah beda agama.

Perbedaan pendapat dari kalangan yang mendukung maupun yang tidak, semua mempunyai alasan tersendiri. Baik dari sesama muslim sendiri yang masih ingin mempraktikkan apa yang mereka yakini tentang ahli kitab, ataupun dari kalangan muslim dan non muslim yang ingin mengangkat sebuah agenda besar yaitu HAM dan kebebasan  agama, yang dikaitkan dengan azas Bhineka Tunggal Eka sebagai landasan negara kita.

Indonesia sebagai negara yag mengakui berbagai agama termasuk Islam, yang mengadopsi hukum belanda yang tentunya tidak bernafaskan Islam tidak mengatur hukum perkawian, dan baru di mulai tahun 1974 sebagai tonggak awal adanya hukum keluarga. Selanjutnya diperkuat dengan munculnya perpres tentang Kompilasi Hukum Ilsam sebagai unifikasi hukum bagi warga Muslim.

Undang-undang perkawinan secara implisit tidak mengatur adanya perkawinan beda agama, dan hanya mnyerahkan urusan perkawinan pada ketentuan  agama masing-masing.[1] Padahal dalam agama Islam sendiri terjadi perbedaan pendapat tentang hal ini (menikah dengan ahlu al-kitab), sehingga menjadi rancu jika dibiarkan demikian.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum materil Pengadilan Agama menjelaskan secara tegas akan kewajiban menikah dengan yang seorang yang seagama, dan tidak mengesahkan pernikahan beda agama. Hal demikian tertuang dalam beberapa pasalnya, antara lain KHI pasal 40c[2],  44[3], 61[4].

Dalam KHI syarat-syarat yang diajukan dalam pelaksanaan nikah jika tidak dipenuhi oleh pasangan, maka pernikahan dapat di batalkan demi hukum, yang diatur dalam Bab XI KHI, namun tidak dengan syarat keharusan seagama ini, dimana murtad tidak disinggung dalam pasal pernikahan yang dapat dibatalkan.

Namun terdapat pasal yang menurut peneliti out off the control, ketika pasal KHI menjelaskan tentang keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut (KHI pasal 75), dimana dalam ayat (a) dijelaskan bahwa  keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad. Padahal dalam hal pembatalan perkawinan kata-kata murtad tidak ada, dan belum di singgung.

Hal demikian menurut peneliti kiranya bukan sebuah ketidak sengajaan, mengingat tahapan yang dilalui dalam pembentukan KHI sangat banyak, juga keterlibatan berbagai  pihak yang benar-benar konsen dalam bidang ini seakan menafikan kejadian ini. Sehingga asumsi yang ada membawa peneliti kedalam sebuah kesimpulan akan kesengajaan tersebut.

Mengingat agama atau kepercayaan adalah termasuk masalah privasi yang tidak semua bisa ikut campur di dalamnya, dan juga kebebasan beragama menjadi azas negara, maka kesulitan dalam penanganan kasus murtad dalam perkawinan menghapi kendala.

Dalam fikih Islam, kemurtadan seseorang dapat menjadikan fasakhnya sebuah pernikahan. Hal ini juga sesuai dengan maqâshid syarîah yang pertama yaitu penjagaan atas agama, yang merupakan pilar bagi maqashid yang lainya.

Namun demikian, jika status murtad tidak diatur dalam peraturan perkawinan secara jelas dan rinci, maka dapat menghilangkan kesakralan perkawinan, bahkan terkesan dapat dibuat ‘mainan’, karena telah di terangkan dalam KHI bahwa nikah adalah sebuah mitsaqan ghalidza (akad yang sangat kuat),[5] selain juga terdapat peyempurnaan agama[6], dan juga dalam rangaka menjaga keberlangsungan jiwa, akal, keturunan dan harta, yang merupakan salah satu maqâshid syariah yang lima. Bahkan menurut Ramadhan al-Buthy menjadikan penjagaan atas agama adalah yang paling utama diantara maqashid syariah yang lain.[7]

Adanya KHI pasal 116 ayat h yang menerangkan akan alasan mengajukan perceraian dengan alasan murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga, setidaknya memberikan angin segar bagi penjagaan atas agama Islam, meskipun perlu diteliti lebih dalam, mengingat murtadnya seseorang dapat menjadi sebab fasakh dalam nikah.

Dengan demikian menakar nilai-nilai maslahat mengenai status murtad dalam perkawinan menjadi sebuah pembahasan yang penting. Khususnya terkait pasal 116 ayat h KHI yang telah menyinggung tentang murtad sebagai alasan mengajukan perceraian.

 

REVIEW LITERATUR

 

A.  Pengertian Maslahat

Dalam Syar’iat Islamkita tidak akan mendapai sebuah hukum yang tujuanya tidak lain adalah  untuk memelihara kehidupan menjadi baik, guna mencapai maslahat manusia secara umum. Adanya tasyri’ al-hukm dan naskh hukm, menguatkan bahwa Syariat Islam tidak bermaksud kecuali untuk menjaga maslahat bagi pemeluknya. Dan dapat di simpulkan bahawa suatu hukum tidak disebut bermaslahat jika tidak mendatangkan manfaat dan menghilangkan mudarat.[8] Maka dari itu dalam kaidah Syar’iyah terdapat kaidah yang mengatakan  Idza wujidat al-Mashlahah fa tsamma syar’u Allah (jika terdapat maslahat pada suatu perkara maka disana terdapat Syariat Allah), Begitu juga Ibnu Qoyyim dalam kitabnya I’lâmu al-Mûqi’in berkata “idza dzahara amarât al-haqq wa adillatuhu min ayyi  thariq fa dzalika min syar’i Allah wa dînihi wa ridlohu wa amruhu” (jika terjadi sesuatu yang menunjukan kebenaran dan dalilnya bersumber dari jalur apa saja maka dia termasuk syariat Allah, agama-Nya, ridlo-Nya dan perkara-Nya)[9]

Secara etimologi Mashlahah dapat diartikan menjadi dua makna:[10]

1.   Mashlahah diartikan seperti (sama/seruap dengan) manfa’ah, baik secara lafadz dan makna, dengan kata ini jika makna mashdar dengan arti al-sholâh yang berati juga al-naf`u, berikut juga dalam bentuk jama’ yaitu mashâlih setara juga manâfi’.

2.   Mashlahah diartikan sebagai kata kerja yang terdapat didalamnya arti kemanfaatan, yaitu sebagai majâz mursal, dengan menggunakan isim musabbab sebagai sabab. Maka dalam sebuah ungkapan dapat dikatakan “menuntut ilmu adalah maslahat, berdagang adalah maslahat”. hal ini karena menuntut ilmu dan berdagang sebagai sebab terjadinya sebuah manfaat, baik materi maupun non materi.

Sedangkan pengertian Mashlahah secara epistemologi, para Ulama  mendefinisikan sebagai berikut:

1.          Ramadhan  al-Buthi mendefinisikanya dengan  al-manfa’ah allatî qashadahâ al-Syâri’ al-Ḥakîm li ‘ibâdihi, min hifdzi dînihim, wa nufûsihim, wa ‘uqûlihim, wa naslihim, wa amwâlihim, tibqa tartîbin mu’ayyanin fimâ bainahâ  (Maslahat adalah manfaat yang dimaksud oleh Syari’ (Allah) yang maha adil bagi hambanya, dari penjagaan atas agama, diri, akal, keturunan, dan harta mereka, sesuai urutan tertentu diantaranya).[11]

2.          Imam al-Ghazali mendefinisikan maslahat menurut makna asalnya sebagai menarik manfaat atau menolak mudarat (hal-hal yang merugikan). Meskipun demikian, bukan hanya menarik maslahat dan menolak mudarat yang dimaksud dengan masalahat, karena menurut al-Ghazali meraih manfaat dan menghindarkan mudarat adalah tujuan makhluk (manusia), dan kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Maka sebenarnya yang dimaksud maslahat Menurutnya adalah “al-muḥâfaẓoh ‘alâ maqāsidi al-syâr’i al-khamsah” (memelihara tujuan syara’ (hukum Islam) yang lima). Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari makhuk ada lima; yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal ini disebut maslahat; dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.[12]

3.         Al-Khawarizmi mendefinisikan bahwa maslahat adalah al-muhafadzoh  ala maqsûd al-Syâri’ bi daf’i mafsadah ‘an al-khalq (penjagaan atas maksud Syari’ dengan menghindari kerusakan atas makhluq).[13]

4.         Ibnu Burhan mendefinisikan dengan mâ lâ yastanidu ila ashlin kulli wala juz’i (Apa yang tidak bersandar pada pokok (hukum) utama atau cabang (hukum)).[14] Disini Ibnu Burhan mendefinisikan maslahat sebagai sebuah perkara yang mengandung kebaikan yang tidak ada dasar hukumnya secara jelas.

5.         Asy-Syathibi mendefinisikan maslahat bahwa setiap dasar agama (kemaslahatan) yang tidak ditunjuk oleh nash  tertentu dan ia sejalan dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’, maka hal itu benar, dapat dijadikan landasan hukum dan dijadikan rujukan.[15]

6.         Wahbah Zuhaily memilih definisi maslahat sebagai al-aushof allati tula`imu tasharrufâti al-Syâri’ wa maqâshidihi, lakin lam yasyhad lahâ dalîl mu’ayyan min al-Syar’i bi al-i’tibar au ilgha`, wa yahshulu min rabthi al-hukm biha jalbu Mashlahah au daf’u mafsadah ‘an al-nas (berbagai sifat yang sesuai dengan tindakan al-Syari’ (Allah) dan yang maksud-Nya, tetapi tidak terdapat dalil tertentu dari Syari’ (Allah) baik yang menganggapnya ataupun meniadakanya, dan memungkinkan menghubungkan hukum denganya untuk mendapatkan manfaat dan menjauhkan bahaya)[16]

Dalam pengertian di atas, terdapat perbedaan dalam mendefinisikan maslahat, hal tersebut tergantung sisi pandang para ulama  terhadap masalahat tersebut, ada yang melihat dari sisi tujuan maslahat, akibat hukum, sifat maslahat, dan maslahat sebagai landasan hukum.

Hal demikian pada akhirnya menyebabkan perbedaan para ulama’ dalam memberikan terminologi tentang maslahat, dimana oleh al-Ghozali dalam kitabnya mustashfa menamai metode ini sebutan al-Istishlah, dan oleh Imam Haramain dalam kitabnya al-Burhan disebut sebagai Istidlal,  Ibnu Hajib dan Baidhowi menyebutnya dengan Munâsib Mursal, dan Imam Zarkasyi dalam bukunya al-Bahr al-Muhith menyebutnya sebagai istidlâl untuk mengatakan bahwa mashalih mursalah tersebut bukan dari dalîl muttafaq (Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas) termasuk didalamnya istihsan dan istishhab.

Namun pada dasarnya pengertian yang diberikan para Ulama terhadap maslahat adalah serupa, yaitu dalam arti mendatangkan maslahat dan menghilangkan madlarat demi terjaganya maqâshid syarî’ah yang lima. Tetapi setiap pengusung istilah itu mempunyai alasan khusus dengan istilah yang mereka usung. Dimana mashalih mursalah ditujukan pada sisi maslahat yang ditimbulkan dari sebuah hukum, sedangkan yang menyebutnya munasib mursal memberikan pengertian pada sifat yang tepat yang mengharuskan akibat terjadinya hukum atasnya terjadinya maslahat tersebut, sedangkan yang menyebutkan istislah atau istidlal mendasarinya dari segi pembangunan hukum atas sifat yang tepat atau maslahat (makna mashdary).[17]

Para Ulama’ sepakat bahwa perkara hukum yang boleh didasarkan pada mashalih mursalah hanyalah hukum yang terkait masalah duniawi saja atau terkait dengan mu’alamat, bukan dalam hukum yang berkaitan dengan i’tiqadiyah (kepercayaan) dan ta’abudiyah (penghambaan), yang merupakan kekuasaan Allah didalam menentukan hukumnya tanpa campur tangan manusia, baik diketahui maslahatnya bagi manusia maupun belum diketahui.

Jika ditilik lebih dalam tentang masalih mursalah, Maka pendapat para Ulama’ dapat dirumuskan kedalam dua pendapat saja, yaitu pendapat yang membolehkan dan yang tidak membolehkan, adapun pendapat yang tidak membolehkan yaitu Madzhab Dzahiriyah, Syi’ah, Syafi’iyyah dan Ibnu Hajib. Sedangkan yang menyetujuinya adalah Malikiyah, Hanabilah, serta Hanabilah. Sedangkan Hanafiah seperti yang di kutip al-‘Amidi bahwa mereka seperti Syafi’iyah menolak berpegang pada istislah, yang hal serupa juga di sebutkan oleh Isnawi, tetapi Hanafiyah mengambil masalah mursalah melalui jalan istihsan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Jumhurul Ulama setuju dengan metode masalih mursalah ini sebagai dalil istinbath hukum Syar’i, yaitu berbeda dengan yang disebutkan Isnawi dan Syaukani ketika menyebut pendapat Ulama dalam hal ini, kesimpulan ini  didapatkan dari penelusuran dari cabang madzhab yang mengakui maslahah murasalah mekipun secara dzahir menolaknya.[18]

Malikiyah dan Hanabilah memberikan tiga syarat untuk dapat mengambil dasar dengan maslahat mursalah:

1.          Maslahat tersebut selaras dengan maqâshid syari’ah dan tidak bertentangan dengannya, dan tidak bertentangan dengan nash  atau dalil yang qath’i (pasti).

2.          Maslahat tersebut masuk akal, dimana adanya maslahat pada sebuah hukum tersebut adalah pasti (haqiqiyah), bukan hanya prasangka belaka (madznun) atau prasangka yang jarang terjadi (mauhum). Dimana hukum tersebut akan mendatangkan manfaat dan menghilangkan kemudaratan (bahaya).

3.          Maslahat tersebut bersifat umum (‘ammah) bagi manusia, bukan maslahat individu atau kelompok tertentu, hal ini dikarenakan bahwa hukum syariah dilakukan untuk kemaslahatan manusia semua.

Beberapa pendapat yang terjadi ketika maslahat bertentangan dengan nash:

1.          Syafi’iyah mengatakan bahwa nash harus dimenangkan jika bertentangan dengan nash, hal ini dikarenakan Syariah diambil dari nash, ijma’, atau qiyas. Pendapat ini disetujui oleh Hanabilah.

2.          Untuk pendapat yang kedua (mendahulukan maslahat jika bertentangan dengan nash) dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a.           Malikiyah, dan Hanafiyah dalam pendapatnya setelah di tahqiq, berpendapat bahwa jika terjadi demikian harus dimenangkan maslahat, dimana posisi maslahat yang qathi dapat mengkhususkan nash yang dzanni, atau maslahat dzanni bisa mengkhususkan nash yang umum.

b.          Najmuddin al-Thufi memandang bahwa harus didahulukan maslahat atas nash baik pada nash yang bersifat qath’i maupun dzanni yaitu dengan cara takhsis dan bayan bukan dengan cara ta’thil. beliau beralasan bahwa; a) Nash-nash syariat saling bertentangan dan berbeda, dan menjaga maslahat tidak dipertentangkan, maka menjaganya adanya paling utama, dan itu menyebabkan sebuah kesatuan dalam pandangan yang diinginkan sebagaimana firman Allah “wa’tasimu bihablillahi jami’a”[19] dan hadits Rasul “la takhtalifu fa takhtalifu qulubukum:[20].    

 

B.   Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia

Indonesia sebagai negara hukum perlu mengatur kehidupan warganya termasuk di dalamnya hukum perkawinan. Hukum materil yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Islam, yang meliputi perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Selanjutnya hukum materil yang sebelumnya berdasarkan kitab-kitab fikih (khusunya madzhab Syafi’i) berkembang dengan kompleksifitas permasalahan yang ada, menjadi sebuah himpunan hukum yang diletakan dalam suatu dokumentasi yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam, adanya Kompilasi Hukum Islam menjadi solusi bagi para hakim dalam menyelesaikan perkara yang ada, mengingat perujukan hukum dengan mendasarkan pada buku fikih menjadikan ketidak samaan hukum yang dihasilkan. Meskipun demikian KHI tidak terlepas dari bahasan fikih sehingga dapat dikatakan sebagai fikih Indonesia.

Mengenai Hukum Islam di Indonesia, kita ketahui bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional, hal ini menurut Abdul Ghani Abdullah berdasarkan pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila; Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.[21]

Namun demikian posisi KHI sebagai produk hukum formal yang mengikat masih menjadi perdebatan diantara para akademisi dan umum, hal demikian mengingat KHI hanya dikuatkan oleh sebuah Inpres No 1 Tahun 1991 yang tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indoensia dan hanya di kuatkan dengan Keputusan menteri Agama No 154 tahun 1991.

Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia baru mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-undang No.1 Tahun 1950, selanjutnya diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, dan diubah lagi dengan TAP MPR No.III/MPR/2000, kemudian diperbaharui lagi dengan UU no. 10 tahun 2004, selanjutnya di amandemen dengan UU no. 12 tahun 2011, dimana KHI yang lahir dari inpres menempati urutan ke tiga. [22]

Dari sudut ideal law, kehadiran KHI merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang dapat mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Indonesia sebagai hukum yang hidup untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, sehingga adanya KHI sebagai hukum Islam yang tertulis adalah tepat dengan kondosi hukum masyarakat yang ada.

Kehadiran KHI melalui Inpres No 1 Tahun 1991 dan dikuatkan Keputusan Menteri Agama No 154 tahun 1991 dalam tata hukum Nasinal meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa KHI sebagai hukum tak tertulis karena hanya berlandaskan kepada inpres yang tidak termasuk dalam urutan peraturan di Indonesia sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. Namun hal ini tidak benar sepenuhnya mengingat pembentukan KHI lebih dekat kepada hukum tertulis mengingat KHI khususnya Buku 1 dan 3 di buat sebagai penguat atas UU No 22 Tahun 1946 jo UU No 32 Tahun 1954, UU No 1 Tahun 1974 jo PP No 9 Tahun 1975, PP No 28 Tahun 1977.

Sumber yang disebutkan diatas menunjukan bahwa KHI berisi law dan rule yang pada giliranya terangkat menjadi law dengan potensi political power.  Inpres tersebut yang dipandang sebagai political power  yang mengalirkan KHI sebagai law, yang mampu memenuhi kebutuhan hukum sebagai the living law.[23]   

 

C.   Murtad (Keluar dari Islam)

1.         Murtad Dalam Prespektif Fikih

Riddah menurut bahasa berasal dari kata radda yang berarti sharfu al-syai’ wa raj’uhu,  dan kata irtadda artinya tahawwala, sebagaimana firman Allah ”man yartadda minkum ‘an dînihi” maka makna irtadda di sini adalah al-ruju’ ‘anhu dan jika dikatakan irtadda fulan ‘an dinihi  maka diartikan kafara  fulan ‘an dinihi.[24] dan Murtad adalah isim fa’il (pelaku) dari kata kerja irtadda sebagaimana diatas.

Dalam mausu’ah fiqhiyah kata riddah secara bahasa diartikan kembali dari sesuatu (seperti kembali dari Islam), sedangkan menurut istilah berarti mengingkari Islam dengan pekataan jelas atau lafadz yang bermaksud demikian atau perbuatan yang mengandung makna demikian. [25]

Dalam Mughni Muhtaj kata riddah diartikan dengan qat’u al-islâm bi niyyatin au qauli kufrin au fi’lin, sawâ’un istihzâ’an au ‘inâdan au i’tiqâdan yang artinya riddah adalah memutus memeluk agama Islam, dan pemutusan tersebut dengan berbagai jalan, baik dengan niat kufur,[26] perkataan kufur atau perbuatan kufur, baik dikerjakan secara canda, perlawanan  (‘inâd) atau dalam bentuk kepercayaan (i’tiqâdan).[27]

Dalam Fikih ‘ala Madzahib al-arba’ah riddah diartikan kufurnya seorang muslim setelah mengucapkan dua kalimat syahadat secara sukarela dan telah menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim. Kufur tersebut baik dengan perkataan, perbuatan atau kepercayaan.[28]

Dalam fikih sunnah riddah diartikan secara bahasa sebagai kembali ke jalan tempat ia datang sebelumnya, tetapi istilah (riddah) ini khusus bagi kufur dari Islam. Maksudnya adalah kembalinya seorang muslim yang berakal dan baligh dari Islam kepada kekufuran dengan sukarela tanpa paksaan dari seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.[29]

Dari semua pengertian yang ada hampir semuanya sama, hanya berbeda dalam pemilihan kata saja yang intinya adalah kembali kepada agama selain Islam di buktikan dengan perkatan atau perbuatan disertai niat demikian, dengan tiga syarat; berakal, baligh, dan tanpa paksaan. Dan pengertian yang diambil dalam Fikih Sunnah yang paling dekat dengan pengertian yang sempurna.

Seorang dapat disebut telah murtad ketika ia keluar dari agama Islam kepada selainya, dan bukan termasuk murtad jika seorang yang beragama tertentu keluar kepada agama lain yang termasuk dalam agama kafir, hal demikian karena agama-agama kafir bagaikan satu agama (millah wahidah).

Agama Islam terdiri dari akidah dan syariat, dan semua muslim harus menjalankan apa saja yang telah menjadi kewajiban mereka sebagai muslim baik dari segi akidah maupun syariat, namun demikian, manusia berbeda-beda dalam hal akal, kemampuan, jiwa, rohani, jasmani. Maka apa yang mereka kerjakan semampunya masih dianggap muslim meskipun belum sempurna, selama ia masih mempunyai loyalitas dengan Islam. Bahkan disebutkan bahwa seorang yang banyak melakukan maksiat dan kriminal padahal ia seorang muslim tidak boleh di bunuh dengan alasan murtad, hal demikian di landasi oleh hadits Rasul “Barang siapa bersyahadat bahwa tiada tuhan selain Allah, dan menghadap kiblat kita, dan solat sebagaimana solat kita, dan makan makanan sebagaimana yang kita makan, maka ia adalah seorang muslim, baginya hak dan kewajiban sebagaimana kita”.  Sehingga Imam Malik pernah berkata “ barang siapa keluar dari dirinya (perbuatan, perkataan, i’tiqad) yang mengandung kekufuran dari sembilan puluh sembilan segi dan hanya satu segi saja yang menunjukan ia muslim, maka perkara ini dimenangkan imanya (meskipun hanya satu segi)”[30]

2.     Murtad dalam prespektif KHI

Dalam KHI kata murtad hanya di jumpai pada dua pasal yaitu pasal 75[31] dan 116[32]. Dari dua pasal ini dapat pahami bahwa secara tertulis dalam KHI belum ada pengertian tentang murtad secara jelas dan rinci. Tetapi perlu di ingat bahwa KHI sendiri seperti yang dikatakan Hazairin adalah sebagai fikih ala Indonesia. Maka berkaitan dengan beberapa istilah yang ada  dalam buku tersebut yang belum dijelaskan, harus merujuk kepada sumber utamanya yaitu kitab-kitab fikih Islam

Hal demikian kiranya senada dengan penjelasan umum atas Kompilasi Hukum Islam pada penjelasan umum nomer tiga disebutkan bahwa Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan. Sesuai dengan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735[33]

3.     Kedudukan Murtad Dalam Perkawinan Menurut Fikih Islam

Mengenai murtad sebagaimana telah dijelaskan diatas tadi, murtad mempunyai pengaruh terhadap hukum yang timbul karenanya, baik mengenai hubungan perkawinan (yang menjadi pembahasan kita), warisan[34], dan perwalian[35].

Dalam Islam seorang yang melaksanakan pernikahan harus memenuhi rukun dan syarat nikah, dan hal ini juga telah di atur dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam Fikih Islam kita akan mengetahui bahwa syarat nikah dibagi menjadi; 1) syarat in’iqad[36], 2) Syarat sah (shihhah)[37], 3) syarat luzum,[38] 4) Syarat nafadz (pelaksanaan).[39] 

Syarat seagama adalah merupakan syarat  sah nikah, karena syarat sah nikah ada dua macam, pertama; adanya dua orang syahid, kedua; perempuan yang dinikahi harus dinyatakan layak (halal) untuk dilakukan akad. Perempuan dinyatakan layak jika tidak menjadi haram bagi seorang laki-laki yang menikahinya baik secara mu`abbad (selamanya) atau mu`aqqat (sementara)[40]. Dan salah satu larangan untuk dinikahi secara mu`aqqat [41] adalah kedua mempelai harus beragama samawi.

Dengan kata lain bahwa dalam Islam, seorang muslim dilarang  menikah dengan orang kafir, dan hanya boleh menikah dengan ahlu kitab. Terlepas dari perdebatan tentang pemaknaan ahli kitab, tetapi secara umum undang-undang kita tidak mengenal ahlu kitab, dan yang dikenal  hanyalah Islam dan non Islam. Hal demikian sudah dijelaskan oleh ulama terdahulu[42] dan sekarang.[43]

Lalu bagaimana pernikahan seseorang yang murtad?, Sebelumnya perlu diketahui bahwa seorang yang murtad dianggap tidak beragama meskipun ia keluar dari agama Islam kepada agama kitaby lain.  Maka dari itu seorang muslim dilarang menikahi seorang  yang murtad. Dan jika seorang yang muslim yang istrinya menjadi murtad maka nikahnya menjadi fasakh (rusak) dan berakhir.[44]

Murtad membawa pengaruh dalam perkawinan[45] dimana para Ulama bersepakat bahwa jika murtad salah satu pasangan suami istri maka ada batas diantara keduanya dimana tidak boleh suami mendekatinya baik hanya dengan bercumbu atau menggaulinya dsb.

Hanafiyah berkata bahwa jika salah satu pasangan suami istri murtad baik sebelum dukhul maupun sesudah dukhul maka nikahnya menjadi fasikh secara langsung, bukan talak dan tidak tergantung pada keputusan pengadilan. Dan jika kemurtadan tadi terjadi sebelum dukhul dan yang murtad adalah suami maka bagi istri setengah dari mahar tetapi jika yang murtad adalah istri maka ia tidak mendapatkan sesuatu dari mahar yang telah ditentukan, tetapi kalau murtad setelah dukhul maka bagi istri semua mahar, baik yang murtad suami atau istri.

Malikiyah dalam pendapatnya yang masyhur dikatakan bahwa jika murtad salah satu diantara suami istri maka itu dianggap talak ba`in, jika ia kembali kepada Islam maka ia tidak boleh kembali kepada istrinya kecuali dengan akad baru, kecuali jika seorang perempuan murtad karena ingin merusak akad nikahnya, maka itu tidak terjadi fasakh. Dan juga dikatakan bahwa kemurtadan menjadikan fasakh nikah bukan talak.[46]

Syafi’iyah berpendapat jika murtad salah satu diantara suami istri tidak terjadi furqah diantara keduanya sampai melewati iddahnya sebelum taubat dan kembali ke Islam, dan jika telah selesai iddahnya maka terjadi bainûnah, dan bainûnahnya adalah terjadi fasakh bukan talak, dan jika kembali ke Islam sebelum selesai iddahnya maka ia adalah istrinya lagi.

Hanabilah berpendapat, jika murtad salah satu suami istri sebelum dukhûl maka nikahnya fasakh (batal) langsung dan mendapatkan setengah dari maharnya jika yang murtad adalah suaminya, dan gugur maharnya jika yang murtad istri. Tetapi jika murtad tersebut  terjadi setelah dukhûl dalam sebuah riwayat dikatakan terjadi furqah, dan dalam riwayat lain furqahnya tergantung pada selesainya masa ‘iddah.

4.     Kedudukan Murtad Dalam Perkawinan Menurut KHI

Perkawinan sebagaimana di sebutkan dalam UU No 1 tahun 1974  pasal 1 adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan  Yang Maha Esa. selain itu juga dalam UU yang sama pasal 2 ayat 1 disebutkan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.[47]

Dari dua pasal diatas, dalam membentuk sebuah keluarga yang kekal harus dilandasi pada norma agama, sebagai pondasi bangunan yang bernama perkawinan. Sehingga kedudukan agama dalam perkawinan sangatlah penting. 

Jika demikian penting kedudukan agama dalam perkawinan, maka semua aturan yang ada dalam keluarga haruslah dipatuhi secara sadar dan ihlas, termasuk dalam hal memilih pasangan yang seagama dalam menikah.

Bahkan anjuran nikah dengan orang yang seagama juga dilakukan oleh Agama lain. Agama Kristen Katolik secara tegas menyatakan ”perkawinan antara seorang Katolik dengan penganut agama lain adalah tidak sah”, (Kanon; 1086).[48] Begitu juga Agama Kristen Protestan juga menganjurkan untuk memilih pasangan yang seagama, dan jika menikah dengan yang bukan seiman harus ada syarat tertentu yang hampir serupa dengan yang ada pada Katolik. Dalam Agama Hindu perkawinan dianggap sah apabila melakukan upacara suci oleh Padende,  dan Padende tidak akan mau melaksanakan uapacara perkawinan jika bukan satu agama.[49]

Meskipun demikian, menurut sebagian orang masih ada celah untuk melakukan kawin beda agama di Indonesia, hal ini dikarenakan UU No.1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama, maka kekosongan hukum tersebut dimanfaatkan sebagai peluang untuk melaksanakan kawin beda agama tersebut, mengingat dengan merujuk pada UU Perkawinan ayat 66, maka peraturan lama dapat diberlakukan yaitu Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158).[50]        

Tentang keharusan nikah dengan seorang yang seagama bagi orang muslim, telah di atur dalam beberapa pasal dalam KHI antara lain: KHI pasal 40c[51], KHI pasal 44[52],    KHI pasal 4 yang tersirat dalam UU 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1[53], KHI pasal 61[54]..

Dengan demikian maka maka jelas bahwa perkawinan beda agama secara tegas di larang dilakukan menurut Kompilasi Hukum Islam.

Dengan demikian ketika dua orang muslim laki-laki perempuan melakukan pernikahan secara Islami, dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan, kemudian salah satu pasangan pindah agama (murtad) maka seharusnya terdapat perlindungan terhadap kehormatan agama Islam dari hukum tersebut.

Merespon kasus murtad, KHI pasal 116 ayat h menyatakan bahwa murtad boleh menjadi alasan mengajukan perceraian jika menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Selain itu juga dalam pasal 75 secara tersirat menyebutkan bahwa murtad dapat menjadi salah satu alasan agar perkawinan dibatalkan demi hukum, karena dalam teks nya dikatakan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena murtad. Padahal alasan murtad sebagai pembatalan perkawinan tidak ada dalam pasal 70 atau 71 KHI.

Sehingga pasal 116 adalah pasal yang paling tegas mengatakan murtad sebagai alasan mengajukan perceraian meskipun terdapat klausa “yang menyebabkan ketidak rukunan dalam keluarga”.

Selain beberapa pasal diatas terdapat juga pasal yang kiranya juga dapat dijadikan rujukan dalam pengajuan pembatalan perkawinan terkait dengan status murtad, yaitu Pasal 73 pada ayat ayat d yang menyatakan bahwa: yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah : d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. Meskipun pasal ini lebih tepat pada perkara pemalsuan data terkait status agama mempelai bukan pada kasus murtadnya pasangan dalam hubungan suami istri.

 

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang mana peneliti menitik beratkan pada hasil pengumpulan data dari buku yang telah peneliti tentukan.[55] Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mencermati dan mencari data dari berbagai literatur yang membahas tentang status murtad serta implikasinya terhadap perkawinan dan kaitanya dengan UU Perkawinan dan KHI, terkhusus yang termuat dalam pasal 116 ayat h Kompilasi Hukum Islam dengan mengunakan konsep maslahat. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan Undang-undang[56] untuk menganalisa murtad sebagai alasan mengajukan perceraian, kaitanya dengan inpres no 1 tahun 1991 dan UU No 1 Tahun 1974, dan juga melalui pendekatan komparatis dimaksudkan dapat membandingkan materi hukum positif dengan kajian fikih Islam, yang diharapkan mendapatkan hasil yang diinginkan.

 

 

HASIL PEMBAHASAN

 

A.      Murtad sebagai salah satu alasan pengajuan perceraian

Sebelum kita lebih jauh membahas tentang murtad sebagai alasan mengajukan perceraian, sebaiknya kita kembali mengingat, kenapa murtad dapat menjadi alasan untuk mengajukan perceraian, salah satunya adalah keharusan kedua mempelai adalah seorang yang beragama Islam, maka jika hilang syarat[57]nya maka nikahnya fasid.

Orang dikatakan murtad jika ada tanda-tanda tertentu yang ia lakukan, katakan atau keimanan yang menyimpang dari ajaran Islam, maka jika telah terjadi tanda-tanda yang demikian, ia sebenarnya telah batal nikahnya.[58] Hal ini menurut peneliti dapat diqiyaskan dalam syarat sahnya shalat, dimana seorang yang melakukan solat agar sah solatnya ia harus suci dari hadats kecil maupun besar, maka jika ia dalam shalat lalu ia melakukan hadats kecil, seperti buang angin misalnya, maka ia telah batal dan harus mengulangi lagi shalatnya, mengingat shalat adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim.

Lalu mengenai pengertian Ulama yang mengatakan bahwa nikah pada hakikatnya adalah akad, atau dalam bahasa arab kita kenal “an-nikahu haqiqatun fi al-‘aqd wa majaz fi al-wath’i”. Memang kalimat ini tidak salah, namun juga tidak benar seratus persen, ketika kita melihat dalam permaslahan ini. Ulama juga masih ada pendapat lain tentang nikah, dimana nikah menurut Ulama lain hakikatnya adalah hubungan intim, atau dalam bahasa arab kita kenal “an-nikahu haqiqatun fi al-wath’i wa majazun fi al-‘aqdi”. Dengan mengambil makna yang kedua maka nikah akan berlangsung selama masih ada ikatan pernikahan. Sehingga jika salah satu syarat hilang ditengah perjalanan maka nikahnya dapat dibatalkan.[59]

Namun demikian, Dalam KHI kita hanya mendapatkan bahwa murtad menjadi salah satu alasan mengajukan perceraian, padahal kalau kita lihat dalam  fikih Islam, jumhurul Ulama mengatakan bahwa jika salah satu pasangan murtad maka nikahnya menjadi fasakh, bukan terjadi talak.[60]

Dalam KHI murtad disandingkan dengan kondisi rumah tangga yang tidak harmonis untuk dapat mengajukan perceraian, sehingga siapapun tidak berhak memohon pemutusan perkawinan hanya karena murtad, jika memamng pasangan tersebut hidup damai bersama. Sebagaimana tertera dalam pasal 116 ayat h. Meskipun keadaan tidak harmonis dalam rumah tangga sudah di atur dalam pasal lain yaitu pasal 116 huruf f [61], juga pasal 19 hurf f PP No 9 tahun 1975[62].

Berbeda dengan pasal yang mengatakan pembatalan perkawinan, dimana keluarga, dan orang yang berkepentingan bisa mengajukan pembatalan, sebagaimana pasal 73 KHI.[63]

Jika kita teliti dalam beberapa pasal KHI yang menerangkan tentang syarat nikah, semua mempunyai pasal yang mengawal penyimpanganya dalam pembatalan perkawinan. Lihat saja pasal 15 tentang umur pasangan telah diantisipasi dengan pasal 71 ayat a, dan pada pasal 16 sampai 17 tentang pemaksaan dalam perkawinan telah diantisipasi juag dalam pasal 71 ayat f, dan pada pasal 18 tentang halangan perkawinan telah di atur dalam Bab VI, pasal 19-23 tentang wali nikah juga diantisipasi oleh pasal 71 ayat  e. Hanya Murtad yang tidak disinggung dalam hal pernikahan dapat dibatalkan.

Meskipun ada juga dua syarat lagi yang belum diatur yaitu tentang saksi dan Ijab Qabul, tetapi perlu diingat masalah saksi dan Ijab Qabul hanya berlaku pada saat akad nikah berlangsung saja, dan tidak berlanjut lagi sesudahnya, selain itu juga disaksikan oleh pegawai pencatat nikah resmi sehingga kemungkinan salah sangat minim. Berbeda dengan keadaan Islam sesorang yang menuntut penjagaanya selama ia masih menjadi pasangan suami istri.

Dalam KHI memang terdapat pasal yang seakan dapat dijadikan landasan mengajukan pembatalan perceraian jika terjadi hilangnya salah satu syarat, yaitu pasal  73 ayat d  dimana para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

 

B.      Analisis maslahat terhadap status murtad sebagai alasan pengajuan perceraian dalam KHI

Indonesia sebagai negara yang multi agama, menjamin seluruh warganya untuk memeluk agama dan beribadah menurut kepercayaanya masing-masing. Hal ini telah tertuang dalam UUD 1945 pasal 29.

Selain itu juga Deklarasi HAM mengatur kebebasan berpindah-pindah agama, yang berdasarkan pada pasal 18 UDHR (Universal Declaration of Human Rigths). Namun  harus dimaknai bahwa kebebasan ini bukan kebebasan mutlak[64], tetapi kebebasan yang bertanggung jawab, yang masih mentaati norma dan aturan yang ada. Sehingga berdampak kepada perlindungan atas agama lainbuka sebaliknya, yaitu dengan menjalankan ketaatan yang tinggi atas pilihan yang telah di pilih.[65]

Sebagai negara yang multi agama, Indonesia sangat menghargai perbedaan agama, karena Islam sendiri merupakan agama yang sangat toleran, dengan ayatnya “lakumdinukum wali al-din”, selain sejarah menunjukan bahawa Islam datang diakhir masa kerajaan nusantara kuno yang mayorotas beragama hindu dan budha.

Meskipun kita paham bahwa setiap orang harusnya memahami bahwa agama adalah sebuah pilihan dengan segala konsekwensi dan tanggungjawab, yang harus diterima dengan sukarela dan penuh ketaatan oleh pemeluknya. Namun keutuhan bangsa menjadi peioritas utama.

Penerapan syariah secara utuh memang menjadi cita-cita setiap muslim, namun dikarenakan berbagai alasan, bahkan banyak dari kaum muslimin sendiri enggan menerapkan syariah secara utuh. Tentunya banyak faktor yang melatarbelakanginya.

 Pencampuran pasal riddah dan syiqaq menjadi satu pasal tentunya disadari betul oleh para perumus KHI. Namun diakui atau tidak munculnya KHI adalah sebuah pencapaian yang luar biasa dalam negara yang tidak berlandaskan syariat Islam.

Menjaga keutuhan bangsa adalah merupakan maslahat umum, sedangkan memutuskan hubungan pasangan yang murtad adalah maslahat khusus. Penerimaan peraturan yang bernafaska Islam sebuah prestasi besar, bahkan di Libanon pada 2015 terjadi demo penolakan UU hukum keluarga. Padahal mereka notabene jazirah arab yang tentunya dekat dengan hukum Islam muncul secara geografis.

Pergulatan politik untuk bisa menjadikan KHI sabagai hukum positif tentunya tidak mudah, bahkan Presiden harus mengeluarkan haknya untuk membuat inpres yang berisi KHI. Maka tentunya tidak mudah para perumus KHI melalui birokrasi yang harus dilalui untuk mewujudkan KHI tersebut.

Penulis sangat yakin bahwa para perumus tahu betul akan hal ini, tetepi banyak pertimbagan untuk hal itu. Ada beberapa hal yang menurut penulis  

Pertama, Beberapa masalah adanya celah perbedaan pendapat dikalangan ulama’, meskipun pendapat tersebut marjuh, tetapi banyak dianut oleh beberapa kalangan untuk menguatkan pendapatnya, misalnya masalah menikah dengan ahlul kitab, pemutusan perceraian dengan jalur putusan hakim, konsekwensi riddah dalam perkawinan.

Kedua, Beberapa negara menerima adanya pernikahan beda agama.. Sehingga membuka peluang untuk melakukan perkawinan di luar Indonesia.

Ketiga, kaidah fikih menyatakan “al-tasharruf ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-mashlahah”[66] maka yang paling diambil adalah maslahah masyarakat secara umu, selain itu juga terdapat kaidah fikih “dar`u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih”[67] yang mana maslahah tidak aharus diambil jika menumbulkan mafsadah yang lebih besar dari maslahat tersebut. Maka langkah kompromi tersebut sebagai titik temu antara keadaan masyarakat dan hukum Islam.

Keempat, pemahaman dan ketaatan muslim di Indonesia sangat minim terhadap hukum Islam, maka pemaksaan untuk tunduk pada hukum Islam yang kaffah ditakutkan malah menjadikan mereka lari dari Islam. Dan itu tentunya malah menjauhkan dari tujuan Nabi Muhammad untuk menjadikan ummatnya ummat yang paling banyak secara kuantitas di hari kiamat melalui jalur perkawinan.

Maka dalam pandangan maslahat, meskipun pemeliharaan agama menjadi prioritas utama dalam menjaga dharuriyat al-kahams, tetapi hal ini hanya berlaku untuk kalangan privat. Yaitu diharapkan setiap individu muslim menjaga agamanya sebagaimana firman Allah “udkhulu fi al-silmi kaffah” yaitu masuk kedalam Islam secar total. Namun, ‘tidak bisa’ dipraktekan untuk pelaksanaanya dalam ruang lingkup umum yang notabenenya berbeda keyakinan.

Maka penambahan klausa yang menyebabkan pertikaian dalam rumah tangga dalam pengajuan perceraian karena murtad adalah sebuah maslahah untuk Indonesia pada saat ini.   

 

Kesimpulan

            Ajaran Islam selalu menjaga maslahat manusia, tidak ada satu hukumpun dalam Islam yang tidak mengandung maslahat. Meskipun kalimat “jika terdapat maslahat pada suatu perkara maka disitulah hukum Alla” tidak benar sepenuhnya, karena apa yang kita anggap maslahat belum tentu itu yang terbaik di sisi Allah.

            Murtad dalam Islam dapat menjadikan fasakh nikah dengan sendirinya, tanpa harus menunggu keputusan Hakim, namun dalam bernegara membutuhkan adminitrasi legal formal da bukti dalam setiap akad yang dianggap penting, salah satunya akad nikah, yang merupakan akad yang sangat sacral. Maka dari itu baik pembuat akad nikah ataupun cara pemutusanya harus dengan jalur legal formal sesuai ketentuan, yang mengharuskan pemutusan akad nikah dengan keputusan hakim pada pengadilan Agama.

            Pembentukan KHI merupakn jerih payah yag harus dihargai oleh siapapun, meskipun tak luput dari kritik dan saran. Tetapi usaha unifikasi hukum Islam bagi Hakim di lingkungan pengadilan agama adalah langkah besar menuju perbaikan hukum perkawinan bagi Muslin di Indonesia.

            Pada pasal 116 ayat h, terdapat klausa murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga sebagai alasan mengajukan perceraian. Klausa tersebut terlihat rancu dimana riddah disdigakan dengan syiqaq yang sebearnya syiqoq mempunyai pasal tersendiri dalam hal alasan pengajuan perceraian. Dan itu tentunya tidak seharusnya terjadi, karena dalam Hukum Islam murtad sendiri sudah bisa menjadikan pernikahan batal dengan sendirinya.

            Maslahat adalah manfaat yang dimaksud oleh Syari’ (Allah) yang maha adil bagi hambanya, dari penjagaan atas agama, diri, akal, keturunan, dan harta mereka, sesuai urutan tertentu diantaranya.

            Terbentukanya KHI sendiri adalah sebuah maslahat bagi umat Islam di Indonesia, maka adanya hukum cabang dalam KHI tersebut yang tidak secara utuh persis dengan Hukum Islam tidak mengurangi maslahat yang ada di Indonesia. Mengingat masalah riddah dan pindahnya kepercayaan salah satu pasangan atau keduaya menjadi masalah privat yang negara tidak boleh terlalu dalam dalam pengaturanya. Maka adanya klausa murtad yang mnyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga merupakan jalan tengah yang harus diambil oleh perumus KHI dalam membuat aturan ini.

            Karena siapapun yang imanya tebal, tentu murtad akan menjadi masalah dalam rumah tangga, ketidak rukunan akan terjadi, yang akhirnya perceraian menjadi solusi. Berbeda dengan muslim yang tidak taat, maka bagaimanapun aturan Allah dia tidak akan menepatinya, dan pokok permasalahanya adalah minimnya pengetahuan agama.  

 

 

Daftar Pustaka

 

Abdu Al-Wahhab, ‘Abdu al-Sami’. 2007. Nadzoriyatu Al-Iltizam fi Al-Qanun Al-Madani Al-Mashry; Dirosah Muqaranah bi Al-Fiqh Al-Islamy. Cairo; Universitas Al-Azhar Fakultas Hukum.  

Abdulah,  Abdul Ghani. 1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta; Gema Insani Press.

Abu Zahrah, Imam. Tt. Al-Ahwal al-Syakhsiyah. Beirut; Dar Fikr Arabi.

Al-Bardisi, Muhammad Zakaria. tt. Ushul Fiqh. Kairo: Dar-Astsaqofah

Al-Buthy, Sa’id Ramadhan. 2005.  Dlawabith Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Beirut: Dar el-Fikr.

Al-Ghazali, Muhammad. Tt. Al-Mustashfa, tahqiq; Hamzah bin Zuhair Hafidz, tanpa penerbit.

Al-Jazairi, Abdurrahman. 2003. Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Al-Syarbini, Khatib. 1997. Mughni Muhtaj. Beirut; Dar Ma’rifah

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali. 2000. Isyadu al-Fuhul ila  tahqiqi al-haqq fi ilmi al-ushul. Riyadl; Dar al-Fadlilah.

Al-Zarqa, Ahmad  bin Muhammad, 1989, Syarkh qawaid fiqhiyah, Damaskus; Darul Qalam ,

Asy-Syatibi, Abi Ishaq. Tt. al-Muwafaqot, Riyadl; Dar Ibnu Affan.

Baidlowi,  Imam. Tt. Tahdzib Syarkh  al-Isnawi. Cairo: Maktabah al-Azhariyah li al-Turats.

Hasan, Husain Hamid. 1981. Nadhoriyah Al-Mashlahah fi Al-Fiqh Al-Islamy. Cairo: Maktabah Al-Mutabanny.

Hidayati, Tri Wahyu. 2008. Apakah kebebasan beragama = bebas pindah agama? (prespektif hukum Islam dan HAM), Shalatiga; STAIN Shalatiga Press

Karsyayuda, M. 2006. Perkawinan Beda Agama; Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam.  Jogjakarta ; Total Media.

Kasiram, Moh. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif. Malang: UIN Malang Press.

Mandzur, Tt. Ibnu Lisan al-‘Arab. Cairo; Dar al-Ma’arif

Manshur, Ali Ali. 1970. Muqâranât Baina al-Syarîah al-Islâmiyah Wa al-Qawânin al-Wadh`iyyah. Beirut: Dar el-Fath

Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.

Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqh Sunnah. Beirut; Dar al-Fikr.

Wazarah  al-Auqah wa al-Syu`un al-Islamiyah. 1983. Mausuah Fiqhiyah. Kuwait; Wazarah Auqaf.

Zuhaili, Wahbah. 2005. Ushul al-Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar al-Fikr



[1] Pasal 2 UU No 1 tahun 1974 yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu

[2] Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu: c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

                [3] Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

                [4] Tidak sekufu` tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu` karena perbedaan agama atau ikhtilâfu al-dien

                [5]  KHI pasal 2

                [6]   “man tazawwaja faqad istakmala nisfa al-din falyattaqillaha fi nisfi al-tsani”

[7]  Sa’id Ramadhan  Al-Buthy,  Dlawabith Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (Beirut: Dar el-Fikr), 2005, h.71, 131

[8]  Muhammad Zakaria al-Bardisi, Ushul Fiqh, juz 2 (Kairo: Dar-Astsaqofah, tanpa tahun) h. 444

[9] Ali Ali Manshur, Muqâranât Baina al-Syarîah al-Islâmiyah Wa al-Qawânin al-Wadh`iyyah (Beirut: Dar el-Fath 1970) h. 23

[10]  Husain Hamid Hasan, Nadhoriyah Al-Maṣlahaḥ fi Al-Fiqh Al-Islamy (Cairo: Maktabah Al-Mutabanny 1981) h. 4

[11] Ramadhan al-Buthy, Dhawabith Mashlahah fi Syari’ah Islamiyah (Beirut: Dar el-Fikr 2005) h. 37

[12] Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfa, tahqiq; Hamzah bin Zuhair Hafidz, tanpa penerbit dan tahun, juz 2 hal 481-482

[13]  Muhammad bin 'Ali bin Muhammad bin Abdillah Al-Syaukani al-Shan'ânî, juz 2 hal 990

[14]  Al-Syaukani, Isyadu al-Fuhul, juz 2, h. 990

[15] Abi Ishaq Asy-Syatibi, al-Muwafaqot, (Riyadl; Dar Ibnu Affan, tanpa tahun), juz 1, h. 32

[16] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005) juz 2, h. 757

[17] Sa’id Ramadhan al-Buthy, Dhawabith al-Mashlahah, (Beirut; Dar al-Fikr, 2005), h. 343

[18]  Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, (Beirut; Dar al-Fikr, 2005), juz 2, h. 41

[19]  QS: Ali Imran (103) yang artinya “Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah”

[20]  HR: Muslim, An-Nasa`i, Abi Dawud dari Abi Mas’ud al-Badri

[21]  Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta; Gema Insani Press, 1994) h. 19

                [22] Joko Luknanto, Tata Urut Produk Hukum di Indonesia, http://www.dikti.go.id/files/atur/HierarkiProdukHukum.html. diakses tgl. 5 September 2013

[23] Wiseman, 2011, Posisi Perpres, Keppres dan Inpres dalam Peraturan Perundang-undangan, (http://undang-undang-indonesia.com/forum/index.php?PHPSESSID=21866dec14af7a7f367eefd302dae32a&topic= 35.msg41#msg41) diakses tanggal 7 sep 2013.

[24] Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Cairo; Dar al-Ma’arif, tt)  juz 3, h.1622

[25] Wazarah  al-Auqah wa al-Syu`un al-Islamiyah, Mausuah Fiqhiyah, (Kuwait; Wazarah auqaf, 1983), juz 22, h. 180

[26] Mawardi mensyaratkan harus berbarengan dengan pekerjaan, karena jika hanya niat dan tidak dikerjakan maka hal tersebut hanya termasuk dalam ‘azm.

[27] Khatib al-Syarbini, Mughni Muhtaj, (Beirut; Dar Ma’rifah, 1997), juz 4 hal 173/ Qulyubi dan Umairah, Hasyiyata, (Mesir; Mustafa Halabi, 1956), juz 4, h. 175

[28] Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,  2003), juz 5, h. 372

[29] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut; Dar al-Fikr, 1983),  juz 2, h. 381

[30] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Ibid,  juz 2, h.383

[31] Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :

a. perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad;

b.anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.

[32]  Pasal 116 ayat h : peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

[33]  Undang-undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2012), h. 395

[34]  Bahwa seorang yang murtad tidak mendapatkan warisan dari keluarganya yang muslim.

[35]  Seorang yang murtad tidak mempunyai hak wali atas anaknya, baik anak perempuanya ketika menikah, atau anak laki-laki jika ia masih kecil, dan semua akad yang dilakukanya sebagai wali dianggap batal. Lihat; Fikih Sunnah, juz 2, h. 389-390

[36] Syarat in’iqad  adalah syarat yang wajib dipenuhi untuk terciptanya rukun nikah dan menyebabkan hilangnya salah satu syarat ini hilangnya rukun nikah dan tidak terjadi penikahan secara syar’i dan tidak menyebab kan akibat pernikahan dari hak dan kewajiban. Syarat tersebut yaitu; a) ahliyatu al-in’iqâd  (berhak melkaukan transaksi/dewas), b) bersatunya majlis ijab dan qabul, c) persamaan antara ijab dan qabul, d) kedua pelaku akad saling mendengankan yang lain.

[37] Syarat sah yaitu syarat dimana sebuah akad tanpanya tidak dianggap ada secara syar’i, terdiri dari dua syarat; a) istri bukan orang yang haram di nikahi, b) adanya saksi dua orang laki-laki atau dua orang perempuan dan satu laki-laki.

[38] Syarat luzûm yaitu syarat yang tidak diwajibkan sebuah akad bagi keduanya kecuali dengan adanya, dan tanpanya bagi sebagian orang yang berakad memfasikh akad. Pada dasarnya akad nikah adalah akad luzûm dimana salah satu dari yang berakad membatalkan akadnya sendiri, tetapi karean akad nikah adalah akad yang diadakan anatara dua orang terkadang unsure kerelaan hilang, sehingga salah satu dari yang berakad ada yang merasa tertipu tentang pasanganya, atau ada unsure paksaan dan lain sebagainya sehingga salaha satu dari yang berakad dapat membatalkan nikahnya.

                [39] Syarat nafadz yaitu syarat yang tidak berjalan hukum sebuah akad atas setiap pelaku akad tersebut sebelum adanya, dan akad tersebut ditangguhkan jika belum terpenuhi syarat ini samapai terpenuhi. hal ini seperti sebuah syarat yang megatakan bahwa yang melakukan akad adalah orang yang berhak untuk melakukan akad tersebut resmi.

                [40]  Imam Abu Zahrah, al-ahwal al-syakhsiyah,(Beirut; Dar Fikr Arabi, tt), h. 52

                [41]  Yang termasuk haram  mu`aqqat : 1)mengumpulakn dua orang muhrim, 2) orang yang telah di talak tiga, 3) Nikah yang ke lima, 4) Nikah dengan budak dan ia memiliki istri orang mesdeka, 5) perempuan yang masih mempunyai suami atau yang masih dalam iddah, 6) perempuan yang telah di li’an, 7) seorang yang tidak beragama samawi. Lihat;  Imam Abu Zahrah, al-ahwal al-syakhsiyah, (Beirut; Dar Fikr Arabi, tt), h. 84

                [42]  Syafi’i mensyaratkan untuk dapat dinamakan ahlu kitab sebagaimana di sitir dalam al-Qur’an “minqoblikum” adalah berkeyakinan kitabiyah sejak nenek moyangnya sebelum Rasulullah di utus menjadi Rasul. Maka dengan demikian, Nasrani yang ada di Indonesia bukan termasuk dalam kitabiyah atau ahlu kitab, karena Kristen masuk Indonesi jauh setelah Muhammad di utus sebagai Rasul. Lihat; M. Karsyayuda; perkawinan beda agama, hal. 149  

                [43] Lihat fatwa MUI Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama

                [44] Imam Abu Zahrah, al-ahwal al-syakhsiyah, (Beirut; Dar Fikr Arabi, tt), h. 100-101

                [45]  Wazarah  al-Auqah wa al-Syu`un al-Islamiyah, Mausuah Fiqhiyah, (Kuwait; Wazarah auqaf, 1983), juz 22, h. 198

                [46] Fasakh menurut bahasa berarti pembatalan (naqdhun) dan secara istilah berarti melepas ikatan akad atau mengangkat hukum akad dari asalnya seperti sebelum terjadinya akad. Sedangkan talak menurut bahasa adalah melepas ikatan secara mutlak, sedangakn menurut istilah adalah melepas ikatan nikah dalam suatu waktu atau tempat dengan lafadz tertentu atau yang menggantikanya. Perbedaan fasakh dengan talak adalah bahwa fasakh menyebabkan batalnya  akad akan tetapi talak tidak membatlkan akad akan tetapi hanya menyudahi apa yang terlahir dari akad tersebut. 

                [47]  Undang-undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2012),  h. 2

                [48]  Meskipun gereja dapat memberikan dispensasi dengan syarat tertentu (Kanon 1125), yaitu dengan syarat 1) Yang beragama Katolik berjanji akan tetap setia pada Iman Katolik, berusaha memandikan dan mendidik anak-anak secara Katolik, 2) Yang tidak beragama Katolik berjanji dan menerima perkawinan secara Katolik, tidak menghalangi yang beragama Katolik melaksanakan imanya, dan bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.

                [49]  Karsyayuda, Perkawinan Beda Agama, … h. 85-86

                [50]  Karsyayuda, Perkawinan Beda Agama, … h. 10-11 

[51] Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: c.seorang wanita yang tidak beragama islam

[52] Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam

[53] Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan  kepercayaannya itu

[54] Tidak sekufu` tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu` karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al-dien

[55] Lexy J. Meleong Metodologi Penelitian Kualitatif………, h. 26

[56] Pendekatan undang-undang merupakan pendekatan penelitian yang dilakukan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Dengan pendekatan ini, peneliti mempelajari keseseauian antara satu peraturan dengan peraturan yang lain. Dengan pendektan ini pula, peneliti mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Lihat; Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 93-94

                [57] Dalam literatur fikih kita mengenal makna syarat sebagai apa yang dengan ketidak wujudanya tidak terjadi sesuatu dan tetapi tidak dengan wujudnya terjadi sesuatu atau tidak terjadi sesuatu (ma yulzimu min ‘adamihi al-‘adam wa la yulzimu min wujudihi al-wujud wa ‘adam li dzatihi), dan Baidhowi mengartikanya sebagai apa yang tergantung atasnya mempengaruhi yang di pengaruhi tetapi tidak keberadaan yang dipengaruhi tersebut (ma yatawaqqafu alaihi ta’tsirul mu`atstsir la wujuduhu) sebagi contoh bahwa orang beristri sebagi syarat untuk di rajam dalam zina, tetapi bukan zina sendiri yang menyebabkan di rajam. Lihat Maushu’ah fiqhiyah juz 26 hal . 1. Dan dalam Hukum Perdata, pakar hukum perdata Mesir mendefinisikan syarat sebagai kejadian yang akan datang dan belum terjadi yang dengan adanya kejadian tersebut terjadi sebuah perikatan atau hilangnya perikatan.Lihat : ‘Abdu al-Sami’ Abdu al-Wahhab, Nadzoriyatu al-iltizam fi al-qanun al-madani al-mashry; dirosah muqaranah bi al-fiqh al-islamy, Cairo; Universitas Al-Azhar Fakultas Hukum,  2007,  hal. 271  

                [58] Hal demikian juga serupa dengan pendapat Jumhur Ulama, bahkan Hanafi yang tidak mengatkan terjadi secara langsung fasakh, hanya memberikan waktu pilihan untuk kembali kepada Islam dalam jangka tiga hari, sebuah waktu yang sangat sedikit pada saat sekarang.

                [59]   Khatib al-Syarbini, Mughni Muhtaj, (Beirut; Dar Ma’rifah, 1997), Juz 3 h. 165-166

                [60]  Hal ini berbeda jika sebaliknya, yaitu jika terdapat keluarga non muslim masuk Islam salah satu pasanganya, maka menurut Abi Hanifah dan Muhammad, yang terjadi adalah talak bai’in, meskipun jumhur berpendapat jika demikian tetap terjadi fasakh bukan talak. Lihat fiqh Islami wa adilatuhu, juz 7, h. 622

                [61]  Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

                [62]  Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

                [63]  Pasal 73 KHI; Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:   

a.      para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri;

b.     Suami atau isteri;

c.      Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.

d.     para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat

e.      perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67

                [64]  Tri Wahyu Hidayati, Apakah kebebasan beragama = bebas pindah agama? (prespektif hukum Islam dan HAM), (Shalatiga; STAIN Shalatiga Press, 2008), h. 127

                [65]  Tri Wahyu Hidayat, Apakah Kebebasan… h. 180

                [66]  Ahmad  bin Muhammad al-Zarqa, Syarkh qawaid fiqhiyah, Cet 2, Darul Qalam Damaskus, 1989, Juz 1 hal 309

                [67]  Ahmad  bin Muhammad al-Zarqa, ibid, Juz 2 hal 205