PENGANTAR
Perdebatan tentang pernikahan beda agama sudah ada sejak
dulu kala, dan masih menjadi bahan diskusi hangat sampai sekarang, terlebih
ketika media informasi digital mulai maju, tema ini sering kali menjadi bahasan
yang menarik perhatian di Indonesia. Meskipun Majelis Ulama’ Indonesia (MUI)
telah mengeluarkan fatwa keharaman nikah beda agama, namun praktiknya masih ada
beberapa publik figur yang melakukan nikah beda agama.
Perbedaan pendapat dari kalangan yang mendukung maupun
yang tidak, semua mempunyai alasan tersendiri. Baik dari sesama muslim sendiri
yang masih ingin mempraktikkan apa yang mereka yakini tentang ahli kitab,
ataupun dari kalangan muslim dan non muslim yang ingin mengangkat sebuah agenda
besar yaitu HAM dan kebebasan agama,
yang dikaitkan dengan azas Bhineka Tunggal Eka sebagai landasan negara kita.
Indonesia sebagai negara yag mengakui berbagai agama
termasuk Islam, yang mengadopsi hukum belanda yang tentunya tidak bernafaskan
Islam tidak mengatur hukum perkawian, dan baru di mulai tahun 1974 sebagai
tonggak awal adanya hukum keluarga. Selanjutnya diperkuat dengan munculnya perpres
tentang Kompilasi Hukum Ilsam sebagai unifikasi hukum bagi warga Muslim.
Undang-undang perkawinan secara implisit tidak
mengatur adanya perkawinan beda agama, dan hanya mnyerahkan urusan perkawinan
pada ketentuan agama masing-masing.[1]
Padahal dalam agama Islam sendiri terjadi perbedaan pendapat tentang hal ini
(menikah dengan ahlu al-kitab), sehingga menjadi rancu jika dibiarkan
demikian.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum materil
Pengadilan Agama menjelaskan secara tegas akan kewajiban menikah dengan yang
seorang yang seagama, dan tidak mengesahkan pernikahan beda agama. Hal demikian
tertuang dalam beberapa pasalnya, antara lain KHI pasal 40c[2], 44[3],
61[4].
Dalam KHI syarat-syarat yang diajukan dalam pelaksanaan
nikah jika tidak dipenuhi oleh pasangan, maka pernikahan dapat di batalkan demi
hukum, yang diatur dalam Bab XI KHI, namun tidak dengan syarat keharusan
seagama ini, dimana murtad tidak disinggung dalam pasal pernikahan yang dapat
dibatalkan.
Namun terdapat pasal yang menurut peneliti out off the
control, ketika pasal KHI menjelaskan tentang keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut (KHI pasal 75), dimana dalam ayat (a) dijelaskan
bahwa keputusan pembatalan perkawinan
tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu suami atau
isteri murtad. Padahal dalam hal pembatalan perkawinan kata-kata murtad tidak
ada, dan belum di singgung.
Hal demikian menurut peneliti kiranya bukan sebuah
ketidak sengajaan, mengingat tahapan yang dilalui dalam pembentukan KHI sangat
banyak, juga keterlibatan berbagai pihak
yang benar-benar konsen dalam bidang ini seakan menafikan kejadian ini.
Sehingga asumsi yang ada membawa peneliti kedalam sebuah kesimpulan akan
kesengajaan tersebut.
Mengingat agama atau kepercayaan adalah termasuk masalah
privasi yang tidak semua bisa ikut campur di dalamnya, dan juga kebebasan
beragama menjadi azas negara, maka kesulitan dalam penanganan kasus murtad
dalam perkawinan menghapi kendala.
Dalam fikih Islam, kemurtadan seseorang dapat menjadikan fasakhnya
sebuah pernikahan. Hal ini juga sesuai dengan maqâshid syarîah yang
pertama yaitu penjagaan atas agama, yang merupakan pilar bagi maqashid
yang lainya.
Namun demikian, jika status murtad tidak diatur dalam
peraturan perkawinan secara jelas dan rinci, maka dapat menghilangkan
kesakralan perkawinan, bahkan terkesan dapat dibuat ‘mainan’, karena telah di
terangkan dalam KHI bahwa nikah adalah sebuah mitsaqan ghalidza (akad
yang sangat kuat),[5] selain
juga terdapat peyempurnaan agama[6],
dan juga dalam rangaka menjaga keberlangsungan jiwa, akal, keturunan dan harta,
yang merupakan salah satu maqâshid syariah yang lima. Bahkan menurut Ramadhan
al-Buthy menjadikan penjagaan atas agama adalah yang paling utama diantara
maqashid syariah yang lain.[7]
Adanya KHI pasal 116 ayat h yang menerangkan akan alasan
mengajukan perceraian dengan alasan murtad yang menyebabkan ketidakrukunan
dalam rumah tangga, setidaknya memberikan angin segar bagi penjagaan atas agama
Islam, meskipun perlu diteliti lebih dalam, mengingat murtadnya seseorang dapat
menjadi sebab fasakh dalam nikah.
Dengan demikian menakar nilai-nilai maslahat mengenai
status murtad dalam perkawinan menjadi sebuah pembahasan yang penting.
Khususnya terkait pasal 116 ayat h KHI yang telah menyinggung tentang murtad
sebagai alasan mengajukan perceraian.
REVIEW LITERATUR
A. Pengertian
Maslahat
Dalam Syar’iat Islamkita tidak
akan mendapai sebuah hukum yang tujuanya tidak lain adalah untuk memelihara kehidupan menjadi baik, guna
mencapai maslahat manusia secara umum. Adanya tasyri’ al-hukm dan
naskh hukm, menguatkan bahwa Syariat Islam tidak bermaksud kecuali untuk
menjaga maslahat bagi pemeluknya. Dan dapat di simpulkan bahawa suatu hukum
tidak disebut bermaslahat jika tidak mendatangkan manfaat dan menghilangkan mudarat.[8]
Maka dari itu dalam kaidah Syar’iyah terdapat kaidah yang mengatakan Idza wujidat al-Mashlahah fa tsamma syar’u
Allah (jika terdapat maslahat pada suatu perkara maka disana terdapat
Syariat Allah), Begitu juga Ibnu Qoyyim dalam kitabnya I’lâmu al-Mûqi’in
berkata “idza dzahara amarât al-haqq wa adillatuhu min ayyi thariq fa dzalika min syar’i Allah wa dînihi
wa ridlohu wa amruhu” (jika terjadi sesuatu yang menunjukan kebenaran dan
dalilnya bersumber dari jalur apa saja maka dia termasuk syariat Allah,
agama-Nya, ridlo-Nya dan perkara-Nya)[9]
Secara etimologi Mashlahah
dapat diartikan menjadi dua makna:[10]
1. Mashlahah
diartikan seperti (sama/seruap dengan) manfa’ah, baik secara lafadz dan
makna, dengan kata ini jika makna mashdar dengan arti al-sholâh yang
berati juga al-naf`u, berikut juga dalam bentuk jama’ yaitu mashâlih
setara juga manâfi’.
2. Mashlahah
diartikan sebagai kata kerja yang terdapat didalamnya arti kemanfaatan, yaitu
sebagai majâz mursal, dengan menggunakan isim musabbab
sebagai sabab. Maka dalam sebuah ungkapan dapat dikatakan “menuntut ilmu
adalah maslahat, berdagang adalah maslahat”. hal ini karena menuntut ilmu dan
berdagang sebagai sebab terjadinya sebuah manfaat, baik materi maupun non
materi.
Sedangkan
pengertian Mashlahah secara epistemologi, para Ulama mendefinisikan sebagai berikut:
1. Ramadhan al-Buthi mendefinisikanya dengan al-manfa’ah allatî qashadahâ al-Syâri’ al-Ḥakîm li ‘ibâdihi, min hifdzi dînihim, wa nufûsihim, wa ‘uqûlihim, wa naslihim, wa amwâlihim, tibqa tartîbin mu’ayyanin fimâ bainahâ (Maslahat adalah manfaat yang dimaksud oleh Syari’ (Allah) yang maha adil bagi hambanya, dari penjagaan atas agama, diri, akal, keturunan, dan harta mereka, sesuai urutan tertentu diantaranya).[11]
2. Imam al-Ghazali mendefinisikan maslahat menurut makna asalnya sebagai menarik manfaat atau menolak mudarat (hal-hal yang merugikan). Meskipun demikian, bukan hanya menarik maslahat dan menolak mudarat yang dimaksud dengan masalahat, karena menurut al-Ghazali meraih manfaat dan menghindarkan mudarat adalah tujuan makhluk (manusia), dan kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Maka sebenarnya yang dimaksud maslahat Menurutnya adalah “al-muḥâfaẓoh ‘alâ maqāsidi al-syâr’i al-khamsah” (memelihara tujuan syara’ (hukum Islam) yang lima). Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari makhuk ada lima; yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal ini disebut maslahat; dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.[12]
3.
Al-Khawarizmi mendefinisikan bahwa maslahat adalah al-muhafadzoh ala maqsûd al-Syâri’ bi daf’i mafsadah ‘an
al-khalq (penjagaan atas maksud Syari’ dengan menghindari kerusakan atas
makhluq).[13]
4.
Ibnu Burhan mendefinisikan dengan mâ lâ yastanidu
ila ashlin kulli wala juz’i (Apa yang tidak bersandar pada pokok (hukum) utama
atau cabang (hukum)).[14] Disini Ibnu
Burhan mendefinisikan maslahat sebagai sebuah perkara yang mengandung kebaikan
yang tidak ada dasar hukumnya secara jelas.
5.
Asy-Syathibi mendefinisikan maslahat bahwa setiap dasar agama
(kemaslahatan) yang tidak ditunjuk oleh nash
tertentu dan ia sejalan dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil
dari dalil-dalil syara’, maka hal itu benar, dapat dijadikan landasan hukum dan
dijadikan rujukan.[15]
6.
Wahbah Zuhaily memilih definisi maslahat sebagai al-aushof
allati tula`imu tasharrufâti al-Syâri’ wa maqâshidihi, lakin lam yasyhad lahâ
dalîl mu’ayyan min al-Syar’i bi al-i’tibar au ilgha`, wa yahshulu min
rabthi al-hukm biha jalbu Mashlahah au daf’u mafsadah ‘an al-nas (berbagai
sifat yang sesuai dengan tindakan al-Syari’ (Allah) dan yang maksud-Nya,
tetapi tidak terdapat dalil tertentu dari Syari’ (Allah) baik yang
menganggapnya ataupun meniadakanya, dan memungkinkan menghubungkan hukum
denganya untuk mendapatkan manfaat dan menjauhkan bahaya)[16]
Dalam
pengertian di atas, terdapat perbedaan dalam mendefinisikan maslahat, hal
tersebut tergantung sisi pandang para ulama
terhadap masalahat tersebut, ada yang melihat dari sisi tujuan maslahat,
akibat hukum, sifat maslahat, dan maslahat sebagai landasan hukum.
Hal demikian pada akhirnya
menyebabkan perbedaan para ulama’ dalam memberikan terminologi tentang
maslahat, dimana oleh al-Ghozali dalam kitabnya mustashfa menamai
metode ini sebutan al-Istishlah, dan oleh Imam Haramain dalam kitabnya al-Burhan
disebut sebagai Istidlal, Ibnu
Hajib dan Baidhowi menyebutnya dengan Munâsib Mursal, dan Imam Zarkasyi
dalam bukunya al-Bahr al-Muhith menyebutnya sebagai istidlâl
untuk mengatakan bahwa mashalih mursalah tersebut bukan dari dalîl
muttafaq (Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas) termasuk didalamnya istihsan
dan istishhab.
Namun pada dasarnya pengertian
yang diberikan para Ulama terhadap maslahat adalah serupa, yaitu dalam arti
mendatangkan maslahat dan menghilangkan madlarat demi terjaganya maqâshid
syarî’ah yang lima. Tetapi setiap pengusung istilah itu mempunyai alasan
khusus dengan istilah yang mereka usung. Dimana mashalih mursalah
ditujukan pada sisi maslahat yang ditimbulkan dari sebuah hukum, sedangkan yang
menyebutnya munasib mursal memberikan pengertian pada sifat yang tepat
yang mengharuskan akibat terjadinya hukum atasnya terjadinya maslahat tersebut,
sedangkan yang menyebutkan istislah atau istidlal mendasarinya
dari segi pembangunan hukum atas sifat yang tepat atau maslahat (makna mashdary).[17]
Para Ulama’ sepakat bahwa
perkara hukum yang boleh didasarkan pada mashalih mursalah hanyalah
hukum yang terkait masalah duniawi saja atau terkait dengan mu’alamat,
bukan dalam hukum yang berkaitan dengan i’tiqadiyah (kepercayaan) dan ta’abudiyah
(penghambaan), yang merupakan kekuasaan Allah didalam menentukan hukumnya tanpa
campur tangan manusia, baik diketahui maslahatnya bagi manusia maupun belum
diketahui.
Jika ditilik lebih dalam
tentang masalih mursalah, Maka pendapat para Ulama’ dapat dirumuskan kedalam
dua pendapat saja, yaitu pendapat yang membolehkan dan yang tidak membolehkan,
adapun pendapat yang tidak membolehkan yaitu Madzhab Dzahiriyah, Syi’ah,
Syafi’iyyah dan Ibnu Hajib. Sedangkan yang menyetujuinya adalah Malikiyah,
Hanabilah, serta Hanabilah. Sedangkan Hanafiah seperti yang di kutip
al-‘Amidi bahwa mereka seperti Syafi’iyah menolak berpegang pada istislah, yang
hal serupa juga di sebutkan oleh Isnawi, tetapi Hanafiyah mengambil masalah
mursalah melalui jalan istihsan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Jumhurul Ulama setuju dengan metode masalih mursalah ini sebagai dalil istinbath
hukum Syar’i, yaitu berbeda dengan yang disebutkan Isnawi dan Syaukani ketika
menyebut pendapat Ulama dalam hal ini, kesimpulan ini didapatkan dari penelusuran dari cabang
madzhab yang mengakui maslahah murasalah mekipun secara dzahir menolaknya.[18]
Malikiyah dan Hanabilah
memberikan tiga syarat untuk dapat mengambil dasar dengan maslahat mursalah:
1. Maslahat tersebut selaras dengan maqâshid syari’ah dan tidak bertentangan dengannya, dan tidak bertentangan dengan nash atau dalil yang qath’i (pasti).
2. Maslahat tersebut masuk akal, dimana adanya maslahat pada sebuah hukum tersebut adalah pasti (haqiqiyah), bukan hanya prasangka belaka (madznun) atau prasangka yang jarang terjadi (mauhum). Dimana hukum tersebut akan mendatangkan manfaat dan menghilangkan kemudaratan (bahaya).
3. Maslahat tersebut bersifat umum (‘ammah) bagi manusia, bukan maslahat individu atau kelompok tertentu, hal ini dikarenakan bahwa hukum syariah dilakukan untuk kemaslahatan manusia semua.
Beberapa pendapat yang terjadi ketika maslahat bertentangan dengan nash:
1.
Syafi’iyah mengatakan bahwa nash
harus dimenangkan jika bertentangan dengan nash, hal ini dikarenakan
Syariah diambil dari nash, ijma’, atau qiyas. Pendapat ini disetujui oleh
Hanabilah.
2.
Untuk pendapat yang kedua
(mendahulukan maslahat jika bertentangan dengan nash) dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
a.
Malikiyah, dan
Hanafiyah dalam pendapatnya setelah di tahqiq, berpendapat bahwa jika
terjadi demikian harus dimenangkan maslahat, dimana posisi maslahat yang qathi
dapat mengkhususkan nash yang dzanni, atau maslahat dzanni
bisa mengkhususkan nash yang umum.
b.
Najmuddin
al-Thufi memandang bahwa harus didahulukan maslahat atas nash baik pada nash
yang bersifat qath’i maupun dzanni yaitu dengan cara takhsis
dan bayan bukan dengan cara ta’thil. beliau beralasan bahwa; a) Nash-nash
syariat saling bertentangan dan berbeda, dan menjaga maslahat tidak
dipertentangkan, maka menjaganya adanya paling utama, dan itu menyebabkan
sebuah kesatuan dalam pandangan yang diinginkan sebagaimana firman Allah “wa’tasimu
bihablillahi jami’a”[19]
dan hadits Rasul “la takhtalifu fa takhtalifu qulubukum:[20].
B. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia
Indonesia sebagai negara hukum
perlu mengatur kehidupan warganya termasuk di dalamnya hukum perkawinan. Hukum
materil yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Islam, yang
meliputi perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Selanjutnya hukum materil yang
sebelumnya berdasarkan kitab-kitab fikih (khusunya madzhab Syafi’i) berkembang
dengan kompleksifitas permasalahan yang ada, menjadi sebuah himpunan hukum yang
diletakan dalam suatu dokumentasi yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam,
adanya Kompilasi Hukum Islam menjadi solusi bagi para hakim dalam menyelesaikan
perkara yang ada, mengingat perujukan hukum dengan mendasarkan pada buku fikih
menjadikan ketidak samaan hukum yang dihasilkan. Meskipun demikian KHI tidak
terlepas dari bahasan fikih sehingga dapat dikatakan sebagai fikih Indonesia.
Mengenai Hukum Islam di
Indonesia, kita ketahui bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah
mendapat tempat konstitusional, hal ini menurut Abdul Ghani Abdullah
berdasarkan pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran
Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di
Indonesia, dan mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental
negara Pancasila; Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah
masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum
bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan; dan
Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945
memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.[21]
Namun demikian posisi KHI sebagai
produk hukum formal yang mengikat masih menjadi perdebatan diantara para
akademisi dan umum, hal demikian mengingat KHI hanya dikuatkan oleh sebuah
Inpres No 1 Tahun 1991 yang tidak termasuk dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indoensia dan hanya di kuatkan dengan Keputusan menteri
Agama No 154 tahun 1991.
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia baru mulai dikenal sejak
dibentuknya Undang-undang No.1 Tahun 1950, selanjutnya diatur dalam TAP MPRS
No. XX/MPRS/1966, dan diubah lagi dengan TAP MPR No.III/MPR/2000, kemudian
diperbaharui lagi dengan UU no. 10 tahun 2004, selanjutnya di amandemen
dengan UU no. 12 tahun 2011, dimana KHI yang lahir dari inpres menempati urutan
ke tiga. [22]
Dari sudut ideal law,
kehadiran KHI merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang dapat
mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Indonesia sebagai hukum yang
hidup untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, sehingga adanya KHI sebagai
hukum Islam yang tertulis adalah tepat dengan kondosi hukum masyarakat yang
ada.
Kehadiran KHI melalui Inpres No
1 Tahun 1991 dan dikuatkan Keputusan Menteri Agama No 154 tahun 1991 dalam tata
hukum Nasinal meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa KHI sebagai hukum tak
tertulis karena hanya berlandaskan kepada inpres yang tidak termasuk dalam
urutan peraturan di Indonesia sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. Namun
hal ini tidak benar sepenuhnya mengingat pembentukan KHI lebih dekat kepada
hukum tertulis mengingat KHI khususnya Buku 1 dan 3 di buat sebagai penguat
atas UU No 22 Tahun 1946 jo UU No 32 Tahun 1954, UU No 1 Tahun 1974 jo PP No 9
Tahun 1975, PP No 28 Tahun 1977.
Sumber yang disebutkan diatas
menunjukan bahwa KHI berisi law dan rule yang pada giliranya
terangkat menjadi law dengan potensi political power. Inpres tersebut yang dipandang sebagai political
power yang mengalirkan KHI sebagai law,
yang mampu memenuhi kebutuhan hukum sebagai the living law.[23]
C. Murtad (Keluar dari Islam)
1. Murtad Dalam Prespektif Fikih
Riddah
menurut bahasa berasal dari kata radda yang berarti sharfu al-syai’
wa raj’uhu, dan kata irtadda
artinya tahawwala, sebagaimana firman Allah ”man yartadda
minkum ‘an dînihi” maka makna irtadda di sini adalah al-ruju’
‘anhu dan jika dikatakan irtadda fulan ‘an dinihi maka diartikan kafara fulan ‘an dinihi.[24]
dan Murtad adalah isim fa’il (pelaku) dari kata kerja irtadda
sebagaimana diatas.
Dalam mausu’ah fiqhiyah
kata riddah secara bahasa diartikan kembali dari sesuatu (seperti
kembali dari Islam), sedangkan menurut istilah berarti mengingkari Islam dengan
pekataan jelas atau lafadz yang bermaksud demikian atau perbuatan yang
mengandung makna demikian. [25]
Dalam Mughni Muhtaj kata
riddah diartikan dengan qat’u al-islâm bi niyyatin au qauli kufrin au
fi’lin, sawâ’un istihzâ’an au ‘inâdan au i’tiqâdan yang artinya
riddah adalah memutus memeluk agama Islam, dan pemutusan tersebut dengan
berbagai jalan, baik dengan niat kufur,[26]
perkataan kufur atau perbuatan kufur, baik dikerjakan secara canda,
perlawanan (‘inâd) atau dalam
bentuk kepercayaan (i’tiqâdan).[27]
Dalam Fikih ‘ala Madzahib
al-arba’ah riddah diartikan kufurnya seorang muslim setelah mengucapkan
dua kalimat syahadat secara sukarela dan telah menjalankan kewajiban sebagai
seorang muslim. Kufur tersebut baik dengan perkataan, perbuatan atau
kepercayaan.[28]
Dalam fikih sunnah riddah
diartikan secara bahasa sebagai kembali ke jalan tempat ia datang sebelumnya,
tetapi istilah (riddah) ini khusus bagi kufur dari Islam. Maksudnya
adalah kembalinya seorang muslim yang berakal dan baligh dari Islam kepada
kekufuran dengan sukarela tanpa paksaan dari seseorang, baik laki-laki maupun
perempuan.[29]
Dari semua pengertian yang ada
hampir semuanya sama, hanya berbeda dalam pemilihan kata saja yang intinya
adalah kembali kepada agama selain Islam di buktikan dengan perkatan atau
perbuatan disertai niat demikian, dengan tiga syarat; berakal, baligh, dan
tanpa paksaan. Dan pengertian yang diambil dalam Fikih Sunnah yang paling dekat
dengan pengertian yang sempurna.
Seorang dapat disebut telah
murtad ketika ia keluar dari agama Islam kepada selainya, dan bukan termasuk
murtad jika seorang yang beragama tertentu keluar kepada agama lain yang
termasuk dalam agama kafir, hal demikian karena agama-agama kafir bagaikan satu
agama (millah wahidah).
Agama Islam terdiri dari akidah
dan syariat, dan semua muslim harus menjalankan apa saja yang telah menjadi
kewajiban mereka sebagai muslim baik dari segi akidah maupun syariat, namun
demikian, manusia berbeda-beda dalam hal akal, kemampuan, jiwa, rohani,
jasmani. Maka apa yang mereka kerjakan semampunya masih dianggap muslim
meskipun belum sempurna, selama ia masih mempunyai loyalitas dengan Islam.
Bahkan disebutkan bahwa seorang yang banyak melakukan maksiat dan kriminal
padahal ia seorang muslim tidak boleh di bunuh dengan alasan murtad, hal
demikian di landasi oleh hadits Rasul “Barang siapa bersyahadat bahwa tiada
tuhan selain Allah, dan menghadap kiblat kita, dan solat sebagaimana solat
kita, dan makan makanan sebagaimana yang kita makan, maka ia adalah seorang muslim,
baginya hak dan kewajiban sebagaimana kita”.
Sehingga Imam Malik pernah berkata “ barang siapa keluar dari dirinya
(perbuatan, perkataan, i’tiqad) yang mengandung kekufuran dari sembilan
puluh sembilan segi dan hanya satu segi saja yang menunjukan ia muslim, maka
perkara ini dimenangkan imanya (meskipun hanya satu segi)”[30]
2. Murtad dalam prespektif KHI
Dalam KHI kata murtad hanya di jumpai pada dua pasal
yaitu pasal 75[31] dan 116[32].
Dari dua pasal ini dapat pahami bahwa secara tertulis dalam KHI belum ada
pengertian tentang murtad secara jelas dan rinci. Tetapi perlu di ingat bahwa
KHI sendiri seperti yang dikatakan Hazairin adalah sebagai fikih ala Indonesia.
Maka berkaitan dengan beberapa istilah yang ada
dalam buku tersebut yang belum dijelaskan, harus merujuk kepada sumber
utamanya yaitu kitab-kitab fikih Islam
Hal
demikian kiranya senada dengan penjelasan umum atas Kompilasi Hukum Islam pada
penjelasan umum nomer tiga disebutkan bahwa Hukum materiil yang selama ini
berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis
besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum
Perwakafan. Sesuai dengan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari
1958 Nomor B/I/735[33]
3. Kedudukan
Murtad Dalam Perkawinan Menurut Fikih Islam
Mengenai murtad sebagaimana telah dijelaskan diatas tadi,
murtad mempunyai pengaruh terhadap hukum yang timbul karenanya, baik mengenai
hubungan perkawinan (yang menjadi pembahasan kita), warisan[34],
dan perwalian[35].
Dalam Islam seorang yang melaksanakan pernikahan harus
memenuhi rukun dan syarat nikah, dan hal ini juga telah di atur dalam Kompilasi
Hukum Islam. Dalam Fikih Islam kita akan mengetahui bahwa syarat nikah dibagi
menjadi; 1) syarat in’iqad[36],
2) Syarat sah (shihhah)[37],
3) syarat luzum,[38] 4)
Syarat nafadz (pelaksanaan).[39]
Syarat seagama adalah merupakan syarat sah nikah, karena syarat sah nikah ada dua
macam, pertama; adanya dua orang syahid, kedua; perempuan yang
dinikahi harus dinyatakan layak (halal) untuk dilakukan akad. Perempuan
dinyatakan layak jika tidak menjadi haram bagi seorang laki-laki yang
menikahinya baik secara mu`abbad (selamanya) atau mu`aqqat
(sementara)[40]. Dan
salah satu larangan untuk dinikahi secara mu`aqqat [41]
adalah kedua mempelai harus beragama samawi.
Dengan kata lain bahwa dalam Islam, seorang muslim
dilarang menikah dengan orang kafir, dan
hanya boleh menikah dengan ahlu kitab. Terlepas dari perdebatan tentang
pemaknaan ahli kitab, tetapi secara umum undang-undang kita tidak mengenal ahlu
kitab, dan yang dikenal hanyalah
Islam dan non Islam. Hal demikian sudah dijelaskan oleh ulama terdahulu[42]
dan sekarang.[43]
Lalu bagaimana pernikahan seseorang yang murtad?,
Sebelumnya perlu diketahui bahwa seorang yang murtad dianggap tidak beragama
meskipun ia keluar dari agama Islam kepada agama kitaby lain. Maka dari itu seorang muslim dilarang
menikahi seorang yang murtad. Dan jika
seorang yang muslim yang istrinya menjadi murtad maka nikahnya menjadi fasakh
(rusak) dan berakhir.[44]
Murtad membawa pengaruh dalam perkawinan[45]
dimana para Ulama bersepakat bahwa jika murtad salah satu pasangan suami istri
maka ada batas diantara keduanya dimana tidak boleh suami mendekatinya baik
hanya dengan bercumbu atau menggaulinya dsb.
Hanafiyah berkata bahwa jika salah satu pasangan suami
istri murtad baik sebelum dukhul maupun sesudah dukhul maka
nikahnya menjadi fasikh secara langsung, bukan talak dan tidak
tergantung pada keputusan pengadilan. Dan jika kemurtadan tadi terjadi sebelum
dukhul dan yang murtad adalah suami maka bagi istri setengah dari mahar tetapi
jika yang murtad adalah istri maka ia tidak mendapatkan sesuatu dari mahar yang
telah ditentukan, tetapi kalau murtad setelah dukhul maka bagi istri
semua mahar, baik yang murtad suami atau istri.
Malikiyah dalam pendapatnya yang masyhur dikatakan
bahwa jika murtad salah satu diantara suami istri maka itu dianggap talak
ba`in, jika ia kembali kepada Islam maka ia tidak boleh kembali kepada istrinya
kecuali dengan akad baru, kecuali jika seorang perempuan murtad karena ingin
merusak akad nikahnya, maka itu tidak terjadi fasakh. Dan juga dikatakan
bahwa kemurtadan menjadikan fasakh nikah bukan talak.[46]
Syafi’iyah berpendapat jika murtad salah satu diantara
suami istri tidak terjadi furqah diantara keduanya sampai melewati iddahnya
sebelum taubat dan kembali ke Islam, dan jika telah selesai iddahnya maka
terjadi bainûnah, dan bainûnahnya adalah terjadi fasakh
bukan talak, dan jika kembali ke Islam sebelum selesai iddahnya maka ia adalah
istrinya lagi.
Hanabilah berpendapat, jika murtad salah satu suami istri
sebelum dukhûl maka nikahnya fasakh (batal) langsung dan
mendapatkan setengah dari maharnya jika yang murtad adalah suaminya, dan gugur
maharnya jika yang murtad istri. Tetapi jika murtad tersebut terjadi setelah dukhûl dalam sebuah
riwayat dikatakan terjadi furqah, dan dalam riwayat lain furqahnya
tergantung pada selesainya masa ‘iddah.
4. Kedudukan
Murtad Dalam Perkawinan Menurut KHI
Perkawinan sebagaimana di sebutkan dalam UU No 1 tahun
1974 pasal 1 adalah ikatan lahir dan
bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. selain itu juga
dalam UU yang sama pasal 2 ayat 1 disebutkan Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.[47]
Dari dua pasal diatas, dalam membentuk sebuah keluarga
yang kekal harus dilandasi pada norma agama, sebagai pondasi bangunan yang
bernama perkawinan. Sehingga kedudukan agama dalam perkawinan sangatlah
penting.
Jika demikian penting kedudukan agama dalam perkawinan,
maka semua aturan yang ada dalam keluarga haruslah dipatuhi secara sadar dan
ihlas, termasuk dalam hal memilih pasangan yang seagama dalam menikah.
Bahkan anjuran nikah dengan orang yang seagama juga
dilakukan oleh Agama lain. Agama Kristen Katolik secara tegas menyatakan
”perkawinan antara seorang Katolik dengan penganut agama lain adalah tidak
sah”, (Kanon; 1086).[48]
Begitu juga Agama Kristen Protestan juga menganjurkan untuk memilih pasangan
yang seagama, dan jika menikah dengan yang bukan seiman harus ada syarat
tertentu yang hampir serupa dengan yang ada pada Katolik. Dalam Agama Hindu
perkawinan dianggap sah apabila melakukan upacara suci oleh Padende, dan Padende tidak akan mau melaksanakan
uapacara perkawinan jika bukan satu agama.[49]
Meskipun demikian, menurut sebagian orang masih ada celah
untuk melakukan kawin beda agama di Indonesia, hal ini dikarenakan UU No.1
Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama, maka kekosongan hukum tersebut
dimanfaatkan sebagai peluang untuk melaksanakan kawin beda agama tersebut,
mengingat dengan merujuk pada UU Perkawinan ayat 66, maka peraturan lama dapat
diberlakukan yaitu Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de
Huwelijken S.1898 No. 158).[50]
Tentang keharusan nikah dengan seorang yang seagama bagi
orang muslim, telah di atur dalam beberapa pasal dalam KHI antara lain: KHI
pasal 40c[51], KHI
pasal 44[52], KHI
pasal 4 yang tersirat dalam UU 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1[53],
KHI pasal 61[54]..
Dengan
demikian maka maka jelas bahwa perkawinan beda agama secara tegas di larang
dilakukan menurut Kompilasi Hukum Islam.
Dengan
demikian ketika dua orang muslim laki-laki perempuan melakukan pernikahan
secara Islami, dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan, kemudian salah
satu pasangan pindah agama (murtad) maka seharusnya terdapat perlindungan
terhadap kehormatan agama Islam dari hukum tersebut.
Merespon kasus
murtad, KHI pasal 116 ayat h menyatakan bahwa murtad boleh menjadi alasan
mengajukan perceraian jika menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Selain itu
juga dalam pasal 75 secara tersirat menyebutkan bahwa murtad dapat menjadi
salah satu alasan agar perkawinan dibatalkan demi hukum, karena dalam teks nya
dikatakan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap
perkawinan yang batal karena murtad. Padahal alasan murtad
sebagai pembatalan perkawinan tidak ada dalam pasal 70 atau 71 KHI.
Sehingga pasal
116 adalah pasal yang paling tegas mengatakan murtad sebagai alasan mengajukan
perceraian meskipun terdapat klausa “yang menyebabkan ketidak rukunan dalam
keluarga”.
Selain
beberapa pasal diatas terdapat juga pasal yang kiranya juga dapat dijadikan
rujukan dalam pengajuan pembatalan perkawinan terkait dengan status murtad,
yaitu Pasal 73 pada ayat ayat d yang menyatakan bahwa: yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan adalah : d. para pihak yang berkepentingan
yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum
Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Meskipun pasal ini lebih tepat pada perkara pemalsuan data terkait status agama
mempelai bukan pada kasus murtadnya pasangan dalam hubungan suami istri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan (library research) yang mana peneliti menitik
beratkan pada hasil pengumpulan data dari buku yang telah peneliti tentukan.[55]
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mencermati dan mencari data dari
berbagai literatur yang membahas tentang status murtad serta implikasinya
terhadap perkawinan dan kaitanya dengan UU Perkawinan dan KHI, terkhusus yang
termuat dalam pasal 116 ayat h Kompilasi Hukum Islam dengan mengunakan konsep
maslahat. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
Undang-undang[56]
untuk menganalisa murtad sebagai alasan mengajukan perceraian, kaitanya dengan
inpres no 1 tahun 1991 dan UU No 1 Tahun 1974, dan juga melalui pendekatan
komparatis dimaksudkan dapat membandingkan materi hukum positif dengan kajian
fikih Islam, yang diharapkan mendapatkan hasil yang diinginkan.
HASIL PEMBAHASAN
A. Murtad
sebagai salah satu alasan pengajuan perceraian
Sebelum kita lebih jauh membahas tentang murtad sebagai
alasan mengajukan perceraian, sebaiknya kita kembali mengingat, kenapa murtad
dapat menjadi alasan untuk mengajukan perceraian, salah satunya adalah
keharusan kedua mempelai adalah seorang yang beragama Islam, maka jika hilang
syarat[57]nya
maka nikahnya fasid.
Orang dikatakan murtad jika ada tanda-tanda tertentu yang
ia lakukan, katakan atau keimanan yang menyimpang dari ajaran Islam, maka jika
telah terjadi tanda-tanda yang demikian, ia sebenarnya telah batal nikahnya.[58]
Hal ini menurut peneliti dapat diqiyaskan dalam syarat sahnya shalat, dimana
seorang yang melakukan solat agar sah solatnya ia harus suci dari hadats kecil
maupun besar, maka jika ia dalam shalat lalu ia melakukan hadats kecil, seperti
buang angin misalnya, maka ia telah batal dan harus mengulangi lagi shalatnya,
mengingat shalat adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim.
Lalu mengenai pengertian Ulama yang mengatakan bahwa
nikah pada hakikatnya adalah akad, atau dalam bahasa arab kita kenal “an-nikahu
haqiqatun fi al-‘aqd wa majaz fi al-wath’i”. Memang kalimat ini tidak salah,
namun juga tidak benar seratus persen, ketika kita melihat dalam permaslahan
ini. Ulama juga masih ada pendapat lain tentang nikah, dimana nikah menurut
Ulama lain hakikatnya adalah hubungan intim, atau dalam bahasa arab kita kenal
“an-nikahu haqiqatun fi al-wath’i wa majazun fi al-‘aqdi”. Dengan
mengambil makna yang kedua maka nikah akan berlangsung selama masih ada ikatan
pernikahan. Sehingga jika salah satu syarat hilang ditengah perjalanan maka
nikahnya dapat dibatalkan.[59]
Namun demikian, Dalam KHI kita hanya mendapatkan bahwa
murtad menjadi salah satu alasan mengajukan perceraian, padahal kalau kita
lihat dalam fikih Islam, jumhurul Ulama
mengatakan bahwa jika salah satu pasangan murtad maka nikahnya menjadi fasakh,
bukan terjadi talak.[60]
Dalam KHI murtad disandingkan dengan kondisi
rumah tangga yang tidak harmonis untuk dapat mengajukan perceraian, sehingga
siapapun tidak berhak memohon pemutusan perkawinan hanya karena murtad, jika
memamng pasangan tersebut hidup damai bersama. Sebagaimana tertera dalam pasal
116 ayat h. Meskipun keadaan tidak harmonis dalam rumah tangga sudah di atur
dalam pasal lain yaitu pasal 116 huruf f [61], juga pasal 19 hurf f PP
No 9 tahun 1975[62].
Berbeda
dengan pasal yang mengatakan pembatalan perkawinan, dimana keluarga, dan orang
yang berkepentingan bisa mengajukan pembatalan, sebagaimana pasal 73 KHI.[63]
Jika kita teliti dalam beberapa pasal KHI
yang menerangkan tentang syarat nikah, semua mempunyai pasal yang mengawal
penyimpanganya dalam pembatalan perkawinan. Lihat saja pasal 15 tentang umur
pasangan telah diantisipasi dengan pasal 71 ayat a, dan pada pasal 16 sampai 17
tentang pemaksaan dalam perkawinan telah diantisipasi juag dalam pasal 71 ayat
f, dan pada pasal 18 tentang halangan perkawinan telah di atur dalam Bab VI, pasal
19-23 tentang wali nikah juga diantisipasi oleh pasal 71 ayat e. Hanya Murtad yang tidak disinggung dalam
hal pernikahan dapat dibatalkan.
Meskipun ada juga dua syarat lagi yang belum diatur yaitu
tentang saksi dan Ijab Qabul, tetapi perlu diingat masalah saksi dan Ijab Qabul
hanya berlaku pada saat akad nikah berlangsung saja, dan tidak berlanjut lagi
sesudahnya, selain itu juga disaksikan oleh pegawai pencatat nikah resmi
sehingga kemungkinan salah sangat minim. Berbeda dengan keadaan Islam sesorang yang
menuntut penjagaanya selama ia masih menjadi pasangan suami istri.
Dalam KHI memang terdapat pasal yang seakan dapat
dijadikan landasan mengajukan pembatalan perceraian jika terjadi hilangnya
salah satu syarat, yaitu pasal 73 ayat
d dimana para pihak yang berkepentingan
yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum
Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.
B. Analisis
maslahat terhadap status murtad sebagai alasan pengajuan perceraian dalam KHI
Indonesia
sebagai negara yang multi agama, menjamin seluruh warganya untuk memeluk agama
dan beribadah menurut kepercayaanya masing-masing. Hal ini telah tertuang dalam
UUD 1945 pasal 29.
Selain
itu juga Deklarasi HAM mengatur kebebasan berpindah-pindah agama, yang
berdasarkan pada pasal 18 UDHR (Universal Declaration of Human Rigths).
Namun harus dimaknai bahwa kebebasan ini
bukan kebebasan mutlak[64], tetapi kebebasan yang
bertanggung jawab, yang masih mentaati norma dan aturan yang ada. Sehingga
berdampak kepada perlindungan atas agama lainbuka sebaliknya, yaitu dengan
menjalankan ketaatan yang tinggi atas pilihan yang telah di pilih.[65]
Sebagai
negara yang multi agama, Indonesia sangat menghargai perbedaan agama, karena
Islam sendiri merupakan agama yang sangat toleran, dengan ayatnya “lakumdinukum
wali al-din”, selain sejarah menunjukan bahawa Islam datang diakhir masa
kerajaan nusantara kuno yang mayorotas beragama hindu dan budha.
Meskipun
kita paham bahwa setiap orang harusnya memahami bahwa agama adalah sebuah
pilihan dengan segala konsekwensi dan tanggungjawab, yang harus diterima dengan
sukarela dan penuh ketaatan oleh pemeluknya. Namun keutuhan bangsa menjadi
peioritas utama.
Penerapan
syariah secara utuh memang menjadi cita-cita setiap muslim, namun dikarenakan
berbagai alasan, bahkan banyak dari kaum muslimin sendiri enggan menerapkan
syariah secara utuh. Tentunya banyak faktor yang melatarbelakanginya.
Pencampuran pasal riddah dan syiqaq
menjadi satu pasal tentunya disadari betul oleh para perumus KHI. Namun diakui
atau tidak munculnya KHI adalah sebuah pencapaian yang luar biasa dalam negara
yang tidak berlandaskan syariat Islam.
Menjaga
keutuhan bangsa adalah merupakan maslahat umum, sedangkan memutuskan hubungan
pasangan yang murtad adalah maslahat khusus. Penerimaan peraturan yang
bernafaska Islam sebuah prestasi besar, bahkan di Libanon pada 2015 terjadi
demo penolakan UU hukum keluarga. Padahal mereka notabene jazirah arab yang
tentunya dekat dengan hukum Islam muncul secara geografis.
Pergulatan
politik untuk bisa menjadikan KHI sabagai hukum positif tentunya tidak mudah,
bahkan Presiden harus mengeluarkan haknya untuk membuat inpres yang berisi KHI.
Maka tentunya tidak mudah para perumus KHI melalui birokrasi yang harus dilalui
untuk mewujudkan KHI tersebut.
Penulis
sangat yakin bahwa para perumus tahu betul akan hal ini, tetepi banyak
pertimbagan untuk hal itu. Ada beberapa hal yang menurut penulis
Pertama,
Beberapa masalah adanya celah perbedaan pendapat dikalangan ulama’, meskipun
pendapat tersebut marjuh, tetapi banyak dianut oleh beberapa kalangan untuk
menguatkan pendapatnya, misalnya masalah menikah dengan ahlul kitab, pemutusan
perceraian dengan jalur putusan hakim, konsekwensi riddah dalam perkawinan.
Kedua,
Beberapa negara menerima adanya pernikahan beda agama.. Sehingga membuka
peluang untuk melakukan perkawinan di luar Indonesia.
Ketiga,
kaidah fikih menyatakan “al-tasharruf ‘ala al-ra’iyyah manuth bi
al-mashlahah”[66]
maka yang paling diambil adalah maslahah masyarakat secara umu, selain itu juga
terdapat kaidah fikih “dar`u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih”[67]
yang mana maslahah tidak aharus diambil jika menumbulkan mafsadah yang lebih
besar dari maslahat tersebut. Maka langkah kompromi tersebut sebagai titik temu
antara keadaan masyarakat dan hukum Islam.
Keempat,
pemahaman dan ketaatan muslim di Indonesia sangat minim terhadap hukum Islam,
maka pemaksaan untuk tunduk pada hukum Islam yang kaffah ditakutkan malah menjadikan
mereka lari dari Islam. Dan itu tentunya malah menjauhkan dari tujuan Nabi
Muhammad untuk menjadikan ummatnya ummat yang paling banyak secara kuantitas di
hari kiamat melalui jalur perkawinan.
Maka
dalam pandangan maslahat, meskipun pemeliharaan agama menjadi prioritas utama
dalam menjaga dharuriyat al-kahams, tetapi hal ini hanya berlaku untuk
kalangan privat. Yaitu diharapkan setiap individu muslim menjaga agamanya
sebagaimana firman Allah “udkhulu fi al-silmi kaffah” yaitu masuk
kedalam Islam secar total. Namun, ‘tidak bisa’ dipraktekan untuk pelaksanaanya
dalam ruang lingkup umum yang notabenenya berbeda keyakinan.
Maka
penambahan klausa yang menyebabkan pertikaian dalam rumah tangga dalam
pengajuan perceraian karena murtad adalah sebuah maslahah untuk Indonesia pada
saat ini.
Kesimpulan
Ajaran
Islam selalu menjaga maslahat manusia, tidak ada satu hukumpun dalam Islam yang
tidak mengandung maslahat. Meskipun kalimat “jika terdapat maslahat pada suatu
perkara maka disitulah hukum Alla” tidak benar sepenuhnya, karena apa yang kita
anggap maslahat belum tentu itu yang terbaik di sisi Allah.
Murtad dalam Islam dapat menjadikan
fasakh nikah dengan sendirinya, tanpa harus menunggu keputusan Hakim, namun
dalam bernegara membutuhkan adminitrasi legal formal da bukti dalam setiap akad
yang dianggap penting, salah satunya akad nikah, yang merupakan akad yang
sangat sacral. Maka dari itu baik pembuat akad nikah ataupun cara pemutusanya
harus dengan jalur legal formal sesuai ketentuan, yang mengharuskan pemutusan
akad nikah dengan keputusan hakim pada pengadilan Agama.
Pembentukan
KHI merupakn jerih payah yag harus dihargai oleh siapapun, meskipun tak luput
dari kritik dan saran. Tetapi usaha unifikasi hukum Islam bagi Hakim di
lingkungan pengadilan agama adalah langkah besar menuju perbaikan hukum
perkawinan bagi Muslin di Indonesia.
Pada
pasal 116 ayat h, terdapat klausa murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam
rumah tangga sebagai alasan mengajukan perceraian. Klausa tersebut terlihat
rancu dimana riddah disdigakan dengan syiqaq yang sebearnya syiqoq mempunyai
pasal tersendiri dalam hal alasan pengajuan perceraian. Dan itu tentunya tidak
seharusnya terjadi, karena dalam Hukum Islam murtad sendiri sudah bisa
menjadikan pernikahan batal dengan sendirinya.
Maslahat
adalah manfaat yang dimaksud oleh Syari’ (Allah) yang maha adil bagi hambanya,
dari penjagaan atas agama, diri, akal, keturunan, dan harta mereka, sesuai
urutan tertentu diantaranya.
Terbentukanya
KHI sendiri adalah sebuah maslahat bagi umat Islam di Indonesia, maka adanya
hukum cabang dalam KHI tersebut yang tidak secara utuh persis dengan Hukum
Islam tidak mengurangi maslahat yang ada di Indonesia. Mengingat masalah riddah
dan pindahnya kepercayaan salah satu pasangan atau keduaya menjadi masalah
privat yang negara tidak boleh terlalu dalam dalam pengaturanya. Maka adanya
klausa murtad yang mnyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga merupakan
jalan tengah yang harus diambil oleh perumus KHI dalam membuat aturan ini.
Karena
siapapun yang imanya tebal, tentu murtad akan menjadi masalah dalam rumah
tangga, ketidak rukunan akan terjadi, yang akhirnya perceraian menjadi solusi.
Berbeda dengan muslim yang tidak taat, maka bagaimanapun aturan Allah dia tidak
akan menepatinya, dan pokok permasalahanya adalah minimnya pengetahuan
agama.
Daftar Pustaka
Abdu
Al-Wahhab, ‘Abdu al-Sami’. 2007. Nadzoriyatu Al-Iltizam fi Al-Qanun
Al-Madani Al-Mashry; Dirosah Muqaranah bi Al-Fiqh Al-Islamy. Cairo;
Universitas Al-Azhar Fakultas Hukum.
Abdulah, Abdul Ghani. 1994. Pengantar Kompilasi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta; Gema Insani Press.
Abu Zahrah, Imam. Tt. Al-Ahwal al-Syakhsiyah. Beirut;
Dar Fikr Arabi.
Al-Bardisi, Muhammad Zakaria. tt. Ushul Fiqh. Kairo:
Dar-Astsaqofah
Al-Buthy, Sa’id
Ramadhan. 2005. Dlawabith Mashlahah
fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Beirut: Dar el-Fikr.
Al-Ghazali,
Muhammad. Tt. Al-Mustashfa, tahqiq; Hamzah bin Zuhair Hafidz,
tanpa penerbit.
Al-Jazairi,
Abdurrahman. 2003. Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut; Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al-Syarbini,
Khatib. 1997. Mughni Muhtaj. Beirut; Dar Ma’rifah
Al-Syaukani,
Muhammad bin Ali. 2000. Isyadu al-Fuhul ila
tahqiqi al-haqq fi ilmi al-ushul. Riyadl; Dar al-Fadlilah.
Al-Zarqa,
Ahmad bin Muhammad, 1989, Syarkh qawaid
fiqhiyah, Damaskus; Darul Qalam ,
Asy-Syatibi, Abi
Ishaq. Tt. al-Muwafaqot, Riyadl; Dar Ibnu Affan.
Baidlowi, Imam. Tt. Tahdzib Syarkh al-Isnawi. Cairo: Maktabah
al-Azhariyah li al-Turats.
Hasan, Husain
Hamid. 1981. Nadhoriyah Al-Mashlahah fi Al-Fiqh Al-Islamy. Cairo:
Maktabah Al-Mutabanny.
Hidayati, Tri
Wahyu. 2008. Apakah kebebasan beragama = bebas pindah agama? (prespektif hukum
Islam dan HAM), Shalatiga; STAIN Shalatiga Press
Karsyayuda, M. 2006. Perkawinan Beda Agama; Menakar Nilai-nilai Keadilan
Kompilasi Hukum Islam. Jogjakarta ;
Total Media.
Kasiram, Moh. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif. Malang:
UIN Malang Press.
Mandzur, Tt. Ibnu Lisan
al-‘Arab. Cairo; Dar al-Ma’arif
Manshur, Ali Ali.
1970. Muqâranât Baina al-Syarîah al-Islâmiyah Wa al-Qawânin al-Wadh`iyyah.
Beirut: Dar el-Fath
Marzuki, Peter
Mahmud. 2007. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.
Sabiq, Sayyid.
1983. Fiqh Sunnah. Beirut; Dar al-Fikr.
Wazarah al-Auqah wa al-Syu`un al-Islamiyah. 1983. Mausuah
Fiqhiyah. Kuwait; Wazarah Auqaf.
Zuhaili, Wahbah. 2005. Ushul al-Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar al-Fikr
[1] Pasal 2 UU No 1
tahun 1974 yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu
[2] Dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu: c. seorang wanita
yang tidak beragama islam.
[3] Seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.
[4] Tidak sekufu`
tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu`
karena perbedaan agama atau ikhtilâfu al-dien
[7] Sa’id
Ramadhan Al-Buthy, Dlawabith Mashlahah fi al-Syari’ah
al-Islamiyah, (Beirut: Dar el-Fikr), 2005, h.71, 131
[8]
Muhammad Zakaria al-Bardisi, Ushul Fiqh, juz 2 (Kairo:
Dar-Astsaqofah, tanpa tahun) h. 444
[9] Ali Ali Manshur, Muqâranât Baina al-Syarîah
al-Islâmiyah Wa al-Qawânin al-Wadh`iyyah (Beirut: Dar el-Fath 1970) h. 23
[10] Husain
Hamid Hasan, Nadhoriyah Al-Maṣlahaḥ fi Al-Fiqh Al-Islamy (Cairo:
Maktabah Al-Mutabanny 1981) h. 4
[11] Ramadhan al-Buthy, Dhawabith Mashlahah fi
Syari’ah Islamiyah (Beirut: Dar el-Fikr 2005) h. 37
[12] Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfa, tahqiq;
Hamzah bin Zuhair Hafidz, tanpa penerbit dan tahun, juz 2 hal 481-482
[13] Muhammad bin 'Ali bin Muhammad bin Abdillah Al-Syaukani al-Shan'ânî,
juz 2 hal 990
[14]
Al-Syaukani, Isyadu al-Fuhul, juz 2, h. 990
[15] Abi Ishaq Asy-Syatibi, al-Muwafaqot,
(Riyadl; Dar Ibnu Affan, tanpa tahun), juz 1, h. 32
[16] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamy,
(Beirut: Dar al-Fikr, 2005) juz 2, h. 757
[17] Sa’id Ramadhan al-Buthy, Dhawabith
al-Mashlahah, (Beirut; Dar al-Fikr, 2005), h. 343
[18] Wahbah
Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, (Beirut; Dar al-Fikr, 2005), juz 2, h. 41
[19] QS: Ali
Imran (103) yang artinya “Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah”
[20] HR:
Muslim, An-Nasa`i, Abi Dawud dari Abi Mas’ud al-Badri
[21] Abdul
Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta; Gema Insani Press, 1994) h. 19
[22] Joko
Luknanto, Tata Urut Produk Hukum di Indonesia,
http://www.dikti.go.id/files/atur/HierarkiProdukHukum.html. diakses tgl. 5
September 2013
[23] Wiseman, 2011, Posisi Perpres,
Keppres dan Inpres dalam Peraturan Perundang-undangan,
(http://undang-undang-indonesia.com/forum/index.php?PHPSESSID=21866dec14af7a7f367eefd302dae32a&topic=
35.msg41#msg41) diakses tanggal 7 sep 2013.
[24] Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Cairo;
Dar al-Ma’arif, tt) juz 3, h.1622
[25] Wazarah
al-Auqah wa al-Syu`un al-Islamiyah, Mausuah Fiqhiyah, (Kuwait;
Wazarah auqaf, 1983), juz 22, h. 180
[26] Mawardi mensyaratkan harus berbarengan dengan
pekerjaan, karena jika hanya niat dan tidak dikerjakan maka hal tersebut hanya
termasuk dalam ‘azm.
[27] Khatib al-Syarbini, Mughni Muhtaj,
(Beirut; Dar Ma’rifah, 1997), juz 4 hal 173/ Qulyubi dan Umairah, Hasyiyata,
(Mesir; Mustafa Halabi, 1956), juz 4, h. 175
[28] Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqh ‘ala
Madzahib al-Arba’ah, (Beirut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), juz 5, h. 372
[29] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut; Dar
al-Fikr, 1983), juz 2, h. 381
[30] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Ibid, juz 2, h.383
[31] Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut
terhadap :
a.
perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad;
b.anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c.
pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik,
sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.
[32] Pasal
116 ayat h :
peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam
rumah tangga.
[33]
Undang-undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2012), h. 395
[34] Bahwa
seorang yang murtad tidak mendapatkan warisan dari keluarganya yang muslim.
[35] Seorang
yang murtad tidak mempunyai hak wali atas anaknya, baik anak perempuanya ketika
menikah, atau anak laki-laki jika ia masih kecil, dan semua akad yang
dilakukanya sebagai wali dianggap batal. Lihat; Fikih Sunnah, juz 2, h.
389-390
[36] Syarat in’iqad adalah syarat yang wajib dipenuhi untuk
terciptanya rukun nikah dan menyebabkan hilangnya salah satu syarat ini
hilangnya rukun nikah dan tidak terjadi penikahan secara syar’i dan tidak
menyebab kan akibat pernikahan dari hak dan kewajiban. Syarat tersebut yaitu;
a) ahliyatu al-in’iqâd (berhak
melkaukan transaksi/dewas), b) bersatunya majlis ijab dan qabul,
c) persamaan antara ijab dan qabul, d) kedua pelaku akad saling
mendengankan yang lain.
[37] Syarat sah yaitu syarat dimana sebuah akad
tanpanya tidak dianggap ada secara syar’i, terdiri dari dua syarat; a) istri
bukan orang yang haram di nikahi, b) adanya saksi dua orang laki-laki atau dua
orang perempuan dan satu laki-laki.
[38] Syarat luzûm yaitu syarat yang tidak
diwajibkan sebuah akad bagi keduanya kecuali dengan adanya, dan tanpanya bagi
sebagian orang yang berakad memfasikh akad. Pada dasarnya akad nikah adalah
akad luzûm dimana salah satu dari yang berakad membatalkan akadnya
sendiri, tetapi karean akad nikah adalah akad yang diadakan anatara dua orang
terkadang unsure kerelaan hilang, sehingga salah satu dari yang berakad ada
yang merasa tertipu tentang pasanganya, atau ada unsure paksaan dan lain
sebagainya sehingga salaha satu dari yang berakad dapat membatalkan nikahnya.
[39] Syarat nafadz
yaitu syarat yang tidak berjalan hukum sebuah akad atas setiap pelaku akad
tersebut sebelum adanya, dan akad tersebut ditangguhkan jika belum terpenuhi
syarat ini samapai terpenuhi. hal ini seperti sebuah syarat yang megatakan
bahwa yang melakukan akad adalah orang yang berhak untuk melakukan akad
tersebut resmi.
[41] Yang termasuk haram mu`aqqat : 1)mengumpulakn dua orang
muhrim, 2) orang yang telah di talak tiga, 3) Nikah yang ke lima, 4) Nikah
dengan budak dan ia memiliki istri orang mesdeka, 5) perempuan yang masih
mempunyai suami atau yang masih dalam iddah, 6) perempuan yang telah di li’an,
7) seorang yang tidak beragama samawi. Lihat;
Imam Abu Zahrah, al-ahwal al-syakhsiyah, (Beirut; Dar Fikr Arabi,
tt), h. 84
[42] Syafi’i mensyaratkan untuk dapat dinamakan
ahlu kitab sebagaimana di sitir dalam al-Qur’an “minqoblikum” adalah
berkeyakinan kitabiyah sejak nenek moyangnya sebelum Rasulullah di utus menjadi
Rasul. Maka dengan demikian, Nasrani yang ada di Indonesia bukan termasuk dalam
kitabiyah atau ahlu kitab, karena Kristen masuk Indonesi jauh setelah Muhammad
di utus sebagai Rasul. Lihat; M. Karsyayuda; perkawinan beda agama, hal. 149
[45] Wazarah
al-Auqah wa al-Syu`un al-Islamiyah, Mausuah Fiqhiyah, (Kuwait;
Wazarah auqaf, 1983), juz 22, h. 198
[46] Fasakh
menurut bahasa berarti pembatalan (naqdhun) dan secara istilah berarti
melepas ikatan akad atau mengangkat hukum akad dari asalnya seperti sebelum
terjadinya akad. Sedangkan talak menurut bahasa adalah melepas ikatan secara
mutlak, sedangakn menurut istilah adalah melepas ikatan nikah dalam suatu waktu
atau tempat dengan lafadz tertentu atau yang menggantikanya. Perbedaan fasakh
dengan talak adalah bahwa fasakh menyebabkan batalnya akad akan tetapi talak tidak membatlkan akad
akan tetapi hanya menyudahi apa yang terlahir dari akad tersebut.
[47] Undang-undang Republik Indonesia No 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2012), h. 2
[48] Meskipun gereja dapat memberikan dispensasi
dengan syarat tertentu (Kanon 1125), yaitu dengan syarat 1) Yang beragama
Katolik berjanji akan tetap setia pada Iman Katolik, berusaha memandikan dan
mendidik anak-anak secara Katolik, 2) Yang tidak beragama Katolik berjanji dan
menerima perkawinan secara Katolik, tidak menghalangi yang beragama Katolik
melaksanakan imanya, dan bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.
[51] Dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: c.seorang wanita
yang tidak beragama islam
[52] Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam
[53] Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu
[54] Tidak sekufu` tidak dapat dijadikan
alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu` karena perbedaan
agama atau ikhtilaafu al-dien
[55] Lexy J. Meleong Metodologi Penelitian Kualitatif………, h. 26
[56] Pendekatan undang-undang merupakan pendekatan penelitian yang dilakukan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Dengan pendekatan ini, peneliti mempelajari keseseauian antara satu peraturan dengan peraturan yang lain. Dengan pendektan ini pula, peneliti mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Lihat; Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 93-94
[57]
Dalam literatur fikih kita mengenal makna syarat sebagai apa yang dengan
ketidak wujudanya tidak terjadi sesuatu dan tetapi tidak dengan wujudnya
terjadi sesuatu atau tidak terjadi sesuatu (ma yulzimu min ‘adamihi al-‘adam
wa la yulzimu min wujudihi al-wujud wa ‘adam li dzatihi), dan Baidhowi
mengartikanya sebagai apa yang tergantung atasnya mempengaruhi yang di
pengaruhi tetapi tidak keberadaan yang dipengaruhi tersebut (ma yatawaqqafu
alaihi ta’tsirul mu`atstsir la wujuduhu) sebagi contoh bahwa orang beristri
sebagi syarat untuk di rajam dalam zina, tetapi bukan zina sendiri yang
menyebabkan di rajam. Lihat Maushu’ah fiqhiyah juz 26 hal . 1. Dan dalam
Hukum Perdata, pakar hukum perdata Mesir mendefinisikan syarat sebagai kejadian
yang akan datang dan belum terjadi yang dengan adanya kejadian tersebut terjadi
sebuah perikatan atau hilangnya perikatan.Lihat : ‘Abdu al-Sami’ Abdu
al-Wahhab, Nadzoriyatu al-iltizam fi al-qanun al-madani al-mashry; dirosah
muqaranah bi al-fiqh al-islamy, Cairo; Universitas Al-Azhar Fakultas
Hukum, 2007, hal. 271
[58] Hal demikian juga
serupa dengan pendapat Jumhur Ulama, bahkan Hanafi yang tidak mengatkan terjadi
secara langsung fasakh, hanya memberikan waktu pilihan untuk kembali kepada
Islam dalam jangka tiga hari, sebuah waktu yang sangat sedikit pada saat
sekarang.
[60] Hal ini berbeda jika sebaliknya, yaitu jika
terdapat keluarga non muslim masuk Islam salah satu pasanganya, maka menurut
Abi Hanifah dan Muhammad, yang terjadi adalah talak bai’in, meskipun
jumhur berpendapat jika demikian tetap terjadi fasakh bukan talak. Lihat fiqh
Islami wa adilatuhu, juz 7, h. 622
[61] Antara suami dan isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga
[62] Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga
[63] Pasal 73 KHI; Yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan adalah:
a.
para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami
atauisteri;
b.
Suami atau isteri;
c.
Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
Undang-undang.
d.
para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan
syarat
e.
perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
tersebut dalam pasal 67
[64] Tri Wahyu Hidayati, Apakah kebebasan beragama
= bebas pindah agama? (prespektif hukum Islam dan HAM), (Shalatiga; STAIN
Shalatiga Press, 2008), h. 127
