BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama
yang syumul, di mana Ia meliputi semua zaman, semua kehidupan dan semua
eksistensi manusia. Dalam kaitanya dengan manusia Dia adalah risalah bagi
manusia secara seutuhnya, bukan risalah bagi ruhnya saja tanpa jasadnya, bukan
pula pemikiranya saja tanpa perasaanya, maupun sebaliknya.
Diantara nilai
universalisme Islam, bahwa Islam juga membawa risalah bagi manusia dalam setiap
aspek kehidupan dalam setiap bidang aktifitasnya, tidak ada satu aspekpun yang
terlepas dari Islam. Baik masalah material maupun spiritual, individual maupun
sosial, relegius maupun politik, ekonomi maupun moral.[1]
Antara manusia dan
agama adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, karena sudah menjadi kodrat
manusia yang memiliki akal, instink, ruh yang selanjutnya membentuk fitrah dan
pembawaan. Yang mana keseluruhan tadi membawa manusia akan keberadaan Tuhan
sebagai kekuatan yang besar yang patut disembah, yang darinya darinya terdapat ajaran
yang membawa menuju ketentraman dan ketenangan jasmani dan rohani (jiwa).
Manusia dengan
kodratnya sebagai makluk sosial tidak akan bisa hidup sendiri, selain
keterikatanya akan Agama (dalam hal ini Islam), menjadikan suatu sistem yang
kompleks yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, meskipun bisa dibedakan.
Sehingga ada keterikatan yang terjalin darinya.
Dalam kaitanya
dengan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai sosial, yang didalamnya
terdapat berbagai ajaran tentang kehidupan secara detail, yang mengharuskan
pemeluknya untuk tunduk pada aturan tersebut, sehingga nilai-nilai tidak akan
lepas dari para pemeluknya, yang dapat dilihat, dipahami dan diamati secara
ilmiah dari sistem kehidupan muslim dalam kehidupan sosial.
Pada konteks
kehidupan beragama sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu
yang murni syariat Islam dan hasil pemikiran atau interpretasi dari syariat
Islam. Sesuatu yang murni syariat Islam, berarti berasal dari Allah, absolut
dan mengandung nilai sakralitas. Hasil pemikiran syariat Islam, berarti berasal
dari selain Tuhan [manusia], bersifat temporal, berubah, dan tidak sakral. Pada
aspek realisasi, kadang mengalami kesulitan membedakan keduanya karena terjadi
tumpang-tindih dan terjadi pencampuradukan makna antara syariat Islam dengan
pemikiran syariat Islam, baik sengaja atau tidak. Perkembangan selanjutnya,
hasil pemikiran syariat Islam kadang-kadang telah berubah menjadi syariat Islam
itu sendiri, sehingga ia disakralkan dan dianggap berdosa bagi yang berusaha
merubahnya.
Perspektif
sosiologi adalah concernnya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia
dan kebudayaan termasuk agama-sosiologi yang mencurahkan perhatiannya pada
studi kolektivitas relogius sebagai mikrokosmos masyarakat, dimana proses dan
pleaning sosial dapat diamati dengan jelas kondisi karakter komunitas keagamaan
yang tertutup / terbatas seperti biara dan sekte-sekte tertentu / gerakan
keagamaan biasa.
B. Masalah
Terdapat dua
persoalan yang menjadi kegelisahan sehingga ia membuat pemetaan pendekatan
studi Islam, yaitu :
1. Islam, berkenaan
dengan betapa sulitnya membuat garis pemisah yang jelas antara mana wilayah yang
Islami dan yang tidak.
2. Agama, adanya
persoalan yang sangat rumit ketika ada yang memahami agama (Islam) sebagai
tradisi (tradition) dan sebagai kepercayaan (faith) an sich.
Penelitian ini
penting karena, pertama, masih tersimpan sejumlah masalah dalam
mengadakan studi Islam secara netral dengan menggunakan pendekatan yang ilmiah.
Kedua, terjadinya kebuntuan metodologis dan pendekatan ketika
mempelajari studi agama. Di satu pihak, dituntut agar dapat memahami agama
dalam orientasi akademik, pada pihak yang lain, harus menjaga nilai
transendetal dari agama.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM MEMAHAMI AGAMA
PEMBAHASAN
PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM MEMAHAMI AGAMA
A. Pengertian
Sosiologi
Sosiologi dapat dikatakan sebagia
sesuatu yang relatif masih baru, walaupun perkembangan tentang sosiologi telah
cukup lama. Istilah sosiologi diperkenalkan oleh Auguste Comte, seorang ahli
filsafat dari perancis pada tahun 1839. August Comte membuat istilah sosiologi
dari gabungan dua kata yang berasal yang berlainan, yaitu; Socius yang
bersal dari bahasa Latin yang berati kawan, dan Logos berasal dari
bahasa Yunani yang barati kata atau bicara. Jadi sosiologi berarti berbicara
mengenai masyarakat.
Setelah August Comte mengemukakan
istilah ini, kemudian banyak juga pendapat yang mendefinisikan sosiologi. Untuk
memberikan rumusan suatu definisi yang dapat menegmukakan keseluruhan
pengertian, sifat dan hakekat yang dimaksud dari sutu kata atau kalimat adalah
sulit. Karenanya definisi tentang sosiologi menjadi beragam, tetapi pada
dasarnya mesing-masing pendapat menonjolkan segi masyarakat dari berbagai sudut
baik individu maupun kelompok. Untuk lebih mengenal tentang sosiologi maka akan
say berikan beberapa definisi yang di sebutkan oleh para ilmuan:[2]
1. Pitirim Sorokin: sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya
gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan
gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
2. Roucek dan Warren: sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
3. William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf :
sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan
hasilnya, yaitu organisasi sosial.
4. J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers: sosiologi
adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses
kemasyarakatan yang bersifat stabil.
6. Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi:
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
7. Paul B. Horton: sosiologi adalah ilmu yang memusatkan
penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
8. Soejono Soekanto: sosiologi adalah ilmu yang memusatkan
perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk
mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
9. William Kornblum: sosiologi adalah suatu upaya ilmiah
untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan
masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
10. Allan Jhonson: sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan
bagaimana sistem tersebut memengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang
terlibat didalamnya memengaruhi sistem tersebut.
Dengan demikian dapat di tarik
kesimpulan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari atau membicarkan masyarakat yang meliputu
gejala-gejala sosial, struktur sosial, dan perubahan sosial yang terjadi
didalam masyarakat.
Didalam
pengertian sosiologi, masyarakat tidak dipandang sebagai kumpulan individu
seamata, melainkan sebagai suatu pergaulan hidup. Karena manusia hidup bersama,
dan masyarakat sebagai suatu sistem yang terbentuk karena hubungan dari suatu
anggotanya. Atau dapat pula dikatakan sebagai suatu sistem yang terwujud dari
kehidupan bersama manusia.
Dengan demikian dapat diambil
kesimpulan bahwa yang menjadi objek pembahasan dalam sosiologi adalah
masyarakat. Meskipun para ilmuan masih beselisih tentang objek sosiologi,
dimana sebagian memandang masyarakat secara umum, dan sebagian lain memandang
bahwa objek sosiologi hanya berkenaan dengan masyarakat secara khusus (hanya
beberapa aspek dari masyarakat). Namun secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa sosiologi membahas tentang masyarakat dilihat dari hubungan antar manusia
dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat.
Suatu kumpulan manusia dapat
dikatakan masyarakat jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Adanya kumpulan
manusia yang hidup bersama. Dalam hal ini para ilmuan masih belum memberikan
batas minimum suatu kumpulan bisa di katakan sebagi sebuah masyarakat.
2. Bergaul dalam jangka
waktu yang cukup lama
3. Adanya kesadaran
bahwa setiap manusia adalah bagian dari suatu kesatuan.
Dengan demikian jelas sudah bahwa
dalam memandang masyarakat, kitatidak hanya terpaku pada satu sudut pandang
melainkan bisa meneliti masyarakat dengan sosiologi dari berbagai aspek. Maka
dari itu disini Sosiologi akan digunkan sebagi alat untuk memandang dan
mendalami Agama Islam. Karena Agama adalah suatu bagian yang tidak bisa
terpisahkan dari masyarakat.
B. Pendekatan Sosiologi Terhadap Agama
Dalam disiplin Sosiologi Agama, ada
lima perspektif sosiologi yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam
melihat fenomena keagamaan di masyarakat, yaitu: prespektif evolusionisme, perspektif
fungsionalis, konflik dan interaksionisme simbolik. Masing-masing perspektif
memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri bahkan bisa jadi penggunaan
perspektif yang berbeda dalam melihat suatu fenomena keagamaan akan
menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan. Pembahasan berikut ini akan
memaparkan bagaimana ketiga perspektif tersebut dalam melihat fenomena
keagamaan yang terjadi di masyarakat.
1. Prespektif Evolusionisme
Pendekatan ini memusatkan telaahnya
pada: mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang
berbeda. Titik tekan perhatianya pada pertanyaan “adakah pola umum perubahan
yang ditemukan dalam masyarakat?” misalnya, “apakah ada perubahan dengan
kedatangan ajaran Islam dalam masyarakat?.[3]
Dalam kaitanya dengan Islam, kita
telah melihat Islam melakukan perubahan dalam bidang sosial yang terjadi di
Madinah dimana Islam memgajarkan Akidah, Syariah, dan Akhlaq, yang menjadikan
sebuah revolusi mental spiritual yang belum ada tandinganya didunia ini.
Bagaimana Islam telah mengajarkan persamaan hak antar manusia dengan
menghapuskan perbudakan, ras dan suku, yang selanjutnya membawa kota Madinah
sebagai kota yang benilai dalam sejarah.[4]
2. Prespektif Fungsionalis[5]
Perspektif fungsionalis memandang
masyarakat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara
terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut
seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat
tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu
kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang.
Secara esensial, prinsip-prinsip pokok perspektif ini adalah sebagai berikut :
Secara esensial, prinsip-prinsip pokok perspektif ini adalah sebagai berikut :
1)
Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang
terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan
setiap bagian-bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap
bagian-bagian lainnya.
2)
Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena
bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan
stabilitas masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi dari satu
bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi
masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasi.
3)
Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk
mengintegrasikan dirinya, yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi
satu; salah satu bagian penting dari mekanisme ini adalah komitmen anggota
masyarakat kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama.
4)
Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan
ekuilibrium, dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan
penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni atau stabilitas.
5)
Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak
biasa dalam masyarakat, tetapi apabila hal tersebut terjadi, maka perubahan itu
pada umumnya akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat
secara keseluruhan.
Sebagai konsekuensi logis dari prinsip-prinsip pokok diatas, perspektif ini berpandangan bahwa segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya.
Sebagai konsekuensi logis dari prinsip-prinsip pokok diatas, perspektif ini berpandangan bahwa segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya.
Karena agama dari dulu hingga sekarang masih tetap eksis maka jelas
bahwa agama mempunyai fungsi atau bahkan memainkan sejumlah fungsi di
masyarakat. Oleh karenanya, perspektif fungsionalis lebih memfokuskan perhatian
dalam mengamati fenomena keagamaan pada sumbangan fungsional agama yang
diberikan pada sistem sosial.
Melalui perspektif ini, pembicaraan tentang agama akan berkisar pada
permasalahan tentang fungsi agama dalam meningkatkan kohesi masyarakat dan
kontrol terhadap perilaku individu.
2. Perspektif
Konflik
Tidak ada seorang sosiolog pun yang
menyangkal bahwa perspektif konflik dalam kajian sosiologi bersumber pada
ide-ide yang dilontarkan oleh Karl Mark seputar masalah perjuangan kelas.
Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal masyarakat
sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik
berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus diantara
kelompok dan kelas, atau dengan kata lain konflik dan pertentangan dipandang
sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial sehingga
struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan
berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang
akan memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.Salah satu pertanyaan menarik yang
terlontar sebagai konsekuensi dari penempatan konflik sebagai determinan utama
dalam kehidupan sosial adalah masalah kohesi sosial. Kalangan teoritisi konflik
setidaknya memandang dua hal yang menjadi faktor penentu munculnya kohesi
sosial ditengah-tengah konflik yang terjadi, yaitu melalui kekuasaan dan
pergantian aliansi. Hanya melalui kekuasaanlah kelompok yang dominan dapat
memaksakan kepentingannya pada kelompok lain sekaligus memaksa kelompok lain
untuk mematuhi kehendak kelompok dominan.
Kepatuhan inilah yang pada akhirnya
memunculkan kohesi sosial. Adapun pergantian aliansi disini berarti berafiliasi
pada beberapa kelompok untuk maksud-maksud yang berbeda. Hal ini sangat mungkin
untuk dilakukan mengingat suatu isu spesifik seringkali mampu menyatukan
kelompok yang sebenarnya memiliki berbagai macam perbedaan.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan,
kalangan teoritisi konflik memandang agama sebagai ekspresi penderitaan,
penindasan, dan rasionalisasi serta pembenaran terhadap tatanan sosial yang
ada. Oleh karena itu, dalam perspektif konflik agama dilihat sebagai “kesadaran
yang palsu”, karena hanya berkenaan dengan hal-hal yang sepele dan semu atau
hal-hal yang tidak ada seperti sungguh-sungguh mencerminkan kepentingan ekonomi
kelas sosial yang berkuasa. Dalam pandangan Marx, agama tidak hanya membenarkan
ketidakadilan tetapi juga mengilustrasikan kenyataan bahwa manusia dapat
menciptakan institusi-institusi sosial, dapat didominasi oleh ciptaan mereka
dan pada akhirnya percaya bahwa dominasi adalah sesuatu yang sah. Jadi, dalam
perspektif konflik agama lebih dilihat dalam hubungannya dengan upaya untuk
melanggengkan status quo, meskipun pada tahap selanjutnya tidak sedikit
kalangan yang menganut perspektif ini justru menjadikan agama sebagai basis
perjuangan untuk melawan status quo sebagaimana perjuangan bangsa Amerika Latin
melalui teologi liberal mereka yang populer.
3. Perspektif Interaksionisme Simbolik
Dalam wacana
sosiologi kontenporer, istilah interaksionisme simbolik diperkenalkan oleh
Herbert Blumer melalui tiga proposisinya yang terkenal:
a) Manusia berbuat
terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi
mereka;
b) Makna-makna tersebut
merupakan hasil dari interaksi sosial;
c) Tindakan sosial
diakibatkan oleh kesesuaian bersama dari tindakan-tindakan sosial individu.
Dengan mendasarkan
pada ketiga proposisi diatas, perspektif interaksionisme simbolik melihat
pentingnya agama bagi manusia karena agama mempengaruhi individu-individu dan
hubungan-hubungan sosial. Pengaruh paling signifikan dari agama terhadap
individu adalah berkenaan dengan perkembangan identitas sosial.
Dengan menjadi
anggota dari suatu agama, seseorang lebih dapat menjawab pertanyaan “siapa
saya?”. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa identitas keagamaan, dan
kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan agama
merupakan produk dari sosialisasi. Oleh karenanya, kalangan interaksionis lebih
melihat agama dari sudut peran yang dimainkan agama dalam pembentukan identitas
sosial dan penempatan individu dalam masyarakat.
Dari ketiga
perspektif utama dalam sosiologi diatas, yang nantinya akan dibahas lebih
detail dalam bab-bab selanjutnya, setidaknya kita sudah bisa melihat apa
sebenarnya yang menjadi pokok kajian para sosiolog ketika mereka mengkaji
permasalahan keagamaan yang terjadi di masyarakat. Luasnya cakupan dimensi
agama yang ada sebagai konseskuensi dari kecenderungan para sosiolog
mendefinisikan agama secara inklusif sebenarnya telah membuka kesempatan yang
luas bagi berbagai perspektif yang ada dalam sosiologi untuk bisa memberikan
kontribusi maksimal bagi upaya memahami perilaku-perilaku sosial masyarakat
sebagai perwujudan dari pelaksanaan beragam keyakinan dan doktrin-doktrin
keagamaan yang ada.
Namun demikian,
pembahasan sosiologis tentang berbagai fenomena keagamaan yang berkembang
dimasyarakat selama ini cenderung terpusat disekitar permasalahan fungsi ganda
agama bagi masyarakat, yaitu fungsi integratif dan disintegratif. Oleh karena
itu, sebelum kita berupaya mengaplikasikan berbagai perspektif sosiologis untuk
mengungkapkan fenomena keberagamaan yang lebih luas dan kompleks, secara
sepintas kita perlu untuk melihat kembali bagaiamana para sosiolog
menggambarkan fungsi ganda agama ini. Dari sini setidaknya kita akan
mendapatkan gambaran bagaimana konsekuensi sosial yang muncul dari serangkaian
ritual dan praktek keagamaan dilihat dari perspektif sosiologis.
C. Fungsi Pendekatan Ilmu Sosial
Ilmu sosial dapat
digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini dapat
dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara
imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosial.
Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan di atas, dapat
dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah
sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya
mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami
agamanya.
Maksud pendekatan ilmu sosial
ini adalah implementasi ajaran Islam oleh manusia dalam kehidupannya,
pendekatan ini mencoba memahami keagamaan seseorang pada suatu masyarakat.
Fenomena-fenomena keislaman yang bersifat lahir diteliti dengan menggunakan
ilmu sosial seperti sosialogi, antrapologi dan lain sebagainya. Pendekatan
sosial ini seperti apa perilaku keagamaan seseorang di dalam masyarakat apakah
perilakunya singkron dengan ajaran agamanya aiau tidak. Pendekatan ilmu sosial
ini digunakan untuk memahami keberagamaan seseorang dalam suatu masyarakat.
Sosiologi sebagai salah satu
ilmu sosial, mempunyai peranan yang sangat penting dalam memahami Agama Islam,
karena didalamnya kita akan dapat memahami fenomena sosial yang berkenaan
dengan ibadah dan muamalat. Hal ini dapat dipahami karena banyak sekali ajaran
agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap
masalah sosial ini, selanjutnya mendorong agamawan memahami ilmu-ilmu sosial
sebagai alat memahami agamanya. Dalam
bukunya yang berjudul Islam Alternatif. Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan
betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap
masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan. Sebagai berikut. [6]:
Pertama : dalam al-Qur’an atau
kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan
urusan muamalah.
Kedua : bahwa ditekankannya
masalah muamalah atau sosial dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila
urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka
ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (bukan ditinggalkan) melainkan tetap
dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga : Bahwa Ibadah yang
mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari ibadah yang
bersifat perseorangan .
Keempat : dalam Islam terdapat
ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena
melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan masalah sosial.
Kelima : dalam Islam terdapat
ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih
besar daripada ibadah sunnah.
Berdasarkan pemahaman kelima
alasan diatas, maka melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami
dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.
D.
Konsekuensi Agama Dalam Masyarakat
Keberadaan
Agama dalam masyarakat menimbulkan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi semua
anggota masyakat. Dari sebuah konsekuensi tersebut dapat sebagian dapat
dikategorikan sebagai konsekuensi positif dan bisa juga negatif. Sebagai
berikut:
1.
Konsolidasi Dan Interseksi[7]
Konsolidasi adalah
suatu proses atau upaya penggabungan antara dua kelompok atau lebih yang
memiliki berbagai perbedaan dan berupaya menyelesaikan perbedaan dan
pertentangan tersebut melalui berbagai macam diskusi dan pertemuan-pertemuan
guna menemukan titik temu yang disepakati oleh semua pihak yang bertikai. Upaya
yang dilakukan disadari dan direncanakan gana menyelesaikan permasalahan yang
ada diantara mereka yang bertengkar.
Interseksi adalah
suatu penggabungan berbagai perbedaan tidak harus diawali dengan permasalahan
dan terjadi dengan sendirinya, misalnya campuran antara berbagai budaya dan
kepercayaan. Hasil yang diperoleh adalah perpaduan antara dua atau lebih
kebudayaan, sehingga kedua kebudayaan tersebut berbaur atau bercampur satu
dengan lainnya .
Misalnya Selamatan
dalam masyarakat Jawa, adalah interseksi dari kepercayaan animisme dinamisme
dengan agama Hindu dan Budha dan juga agama Islam. Di dalam ajaran Islam tidak
ada sesaji dan juga kepercayaan tentang roh nenek moyang, tetapi dalam
pelaksanaan selamatan masyarakat pedesaan Jawa menggunakan doa secara agama
Islam. Kenyataan ini sering disebut sebagai bentuk sinkritisme agama atau
system kepercayaan yang ada. Meminjam istilah yang digunakan Abd A’la saat ini
dibutuhkan suatu sistem “pendidikan agama yang mencerahkan”. Pelbagai segi dari
sistem pendidikan agama ini mesti dibenahi, mulai dari masalah content, metodologi,
serta kemendalaman penyerapan sisi kognitif, afektif, dan konatif. Tentu saja
agenda ini bukan suatu kerja enteng yang dapat diselesaikan dalam waktu
semalam. Keterlibatan dan kepedulian semua pihak untuk memberikan suatu teladan
pewarisan nilai yang inklusif dan humanistik amatlah dibutuhkan, mulai dari
tingkat keluarga, hingga pemuka agama.
Interseksi
berjalan secara damai dan melalui waktu yang panjang dan dengan
mempertimbangkan keuntungan dan fungsi bagi masyarakat yang bersangkutan; oleh
karena itu interseksi ini akan bersifat dinamis menyesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
2. Deferensiasi
Sosial
Deferensiasi sosial
sebagai gejalayang universal dalam kehidupan masyarakat dan membedakan
masyarakat secara horizontal, tentu akan membawa dampak dan pengaruh pada
kehidupan bersama. Pembedaan secara horizontal ini tetap akan membawa
konsekuensi bagi kelompok-kelompok sosial yang ada. Ikuti penjelasan dampak
derensiasi sosial dalam masyarakat.
a) Fanatisme
Pengelompokan masyarakat berdasarkan
demensi horizontal ini memiliki dampak pada fanatisme kelompok yang
bersangkutan,. Anggota kelompok memiliki ikatan yang kuat dengan kelompoknya
dan sekaligus membedakan dirinya dengan kelompok lain. Misalnya deferensiasi berdasarkan
agama, akan menmimbulkan fanatisme bagi setiap pemeluk agama yang bersangkutan
dan mereka sekaligus membedakan diri dengan kelompok beragama lainya.
Batas-batas kelompoknya lebih jelas dan
batas kelompok yang lain juga jelas oleh karena itu fanatisme dapat tumbuh dan
berkembang sebagai dampak dari deferensiasi sosial.
b) Solidaritas
Solidaritas atau ikatan kebersamaan dapat
juga terjadi akibat deferensiasi sosial yang ada. Solidaritas tumbuh dan
berkembang diantara mereka. Deferensiasi karena suku bangsa atau etnik akan
membuat ikatan mereka se etnik jauh lebih kuat dibandingkan dengan ikatan
mereka diluar etnik. Lebih-lebih bila mereka berada diluar etniknya sebagai
pendatang pada etnik yang berbeda, maka solidaritas diantara mereka akan tumbuh
dan berkembang sehingga rasa solidaritas diantara mereka semakin tinggi.
Mereka merasa satu bagian dari bagian yang
besar dan mereka selalu menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari mereka yang
besar tersebut.
Dalam kaitanya bahwa Agama sebagi perajut
solidaritas pengikutnya, banyak juga terjadi pada sebagian pemeluk agama yang
menjadikan ajaran agama sebagai legitimasi sebuah solidaritas atas kelompok
tertentu yang berseberangan, yang terkadang dengan mudah mengatakan sebuah
gerakan dengan penyebutan “jihad” atau “perang sabil”, sehingga sekilas nampak
disini Agama bukan lagi sebagai perajut solidaritas sosial.
Tetapi kalau kita amati lebih detail, yang
ditemukan dalam kasus-kasus tersebut bukanlah agama sebagai ajaran, tetapi
hanya kecenderungan beragama masyarakat penganut agama yang sama. Yang tidak
berfungsi di sini adalah keberagamaan masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya, “Apakah Agama
memungkinkan berpeluang sebagai perajut solidaritas dan pemersatu ummat?
Kapan?”. Tampaknya Agama akan tetap menjadi pemersatu jika; pertama, kalau
ditujikan kepada sesama aliran, sekte, madzhab dan prespektif, atau kalau
ditujukan kedalam (inward looking), namun berbeda jika sebaliknya. Kedua,
jika dihayati dengan jujur, ihlas, objektif, yaitu dengan memberdayakan hati
nurani. Perberdayaan hati nurani dengan mengintensifkan dialog dengan diri
sendiri, introspeksi kedalam, perenungan dan minta petunjuk Allah.[8]
c) Toleransi
Pemahaman akan perbedaan yang horizontal
diantara kelompok sosial yang digolongkan berdasarkan deferensiasi sosial akan
menumbuhkan toleransi diantara mereka.
Mereka mengetahui perbedaan dan
batas-batas sosial diantara mereka. Batas kelompok mereka mereka pahami;
kesadaran akan kelompoknya juga mereka merasakan. Sisi lain mereka mengetahui
batas-batas dari kelompok deferensiasi sosial lainya. Pemahaman tentang dirinya
dan pemahaman terhadap diri orang lain akan menyebabkan tumbuhnya toleransi
diantara mereka. Mereka menghargai apa yang ada pada kelompok lain dan kelompok
lain memahami dan menyadari perbedaan yang ada dalam kelomponya.
Kesadaran akan batas dan perbedaan antara
kelompok yang berbeda ini merupakan kesadaran sosial yang menumbuhkan rasa mau
menghargai perbedaan sebagai wujud toleransi sosial yang ada
3. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial
adalah pembedaan masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial berdasarkan demensi
vertikal akan memiliki pengaruh terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat. Dampak
stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai berikut:
a) Eklusivitas
Stratifikasi sosial yang membentuk
lapisan-lapisan sosial juga merupakan sub-culture, telah menjadikan mereka
dalam lapisan-lapisan gtertentu menunjukan eklusivitasnya masing-masing.
Eklusivitas dapat berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang
sering berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain.
Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda
dengan gaya hidup lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan
perilaku masing-masing anggotanya dapat dibedakan; sehingga kita mengetahui
dari kalangan kelas sosial mana seseorang berasal.Eklusivitas yang ada sering
membatasi pergaulan diantara kelas sosial tertentu, mereka enggan bergaul
dengan kelas sosial dibawahnya atau membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang
sama dengan kelas mereka.
b) Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai
mengagungkan kelompok sendiri dapat terjadi dalam stratifikasi sosial yang ada
dalam masyarakat. Mereka yang berada dalam stratifikasi sosial atas akan
menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah dan
kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada stratifikasi sosial rendah.
Pola perilaku kelas sosial atas, dianggap
lebih berbudaya dibandingkan dengan kelas sosial di bawahnya. Sebaliknya kelas sosial
bawah akan memandang mereka sebagai orang boros dan konsumtif dan menganggap
apa yang mereka lakukan kurang manusiawi dan tidak memiliki kesadaran dan
solidaritas terhadap mereka yang menderita. Pemujaan terhadap kelas sosialnya
masing-masing adalah wujud dari etnosentrisme.
c) Konflik Sosial
Perbedaan yang ada diantara kelas sosial
dapt menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial maupun iri hati. Jika
kesenjangan karena perbedaan tersebut tajam tidak menutup kemungkinan
terjadinya konflik sosial antara kelas sosial satu dengan kelas sosial yang
lain.
Misalnya demonstrasi masyarakat untuk
penutupan kegiatan jamaah kristen disuatu desa yang mayoritas Islam seperti
yang terjadi beberapa bulan yang lalu di Bekasi, juga usaha umat Kristen untuk
menghancurkan Masjid-masjid yang terjadi di Ambon dan Maluku.
E. Islam,
Muslim dan Budaya Lokal
Pendekatan
Islam dari sudut pandang sosiologi kiranya kurang sempurna jika kita tidak
memperhatiakan hal ini, dimana pemisahan antara muslim sebagai pemeluk sebuah
agama (Islam), dan Islam sebagai sebuah ajaran yang tidak ada kesalahan
didalamnya, serta budaya lokal sebagai hasil pemikiran manusia yang terkadang
dapat tercampur dengan sebuah ajaran Islam.
Pengertian
semacam ini kiranya perlu dibahas karena jika mencampuradukan itu semua akan
menemukan kerancauan dalam sebuah hasil yang diperoleh dengan pendekatan
sosiologi.
Islam
sebagai agama yang hasil pemikiran Tuhan (bukan hasil pemikiran manusia)
sifatnya sakral yang harus dianggap selalu benar, karena ajaran manapun akan
menganggap demikian, dan juga ajaran yang dibawa adalah ajaran suci yang
membawa manusia kepada kebahagian dunia yang didalamnya juga masyarakat dan
juga akhirat.
Muslim
adalah pemeluk agama Islam yang berusaha menjalankan dengan baik ajaran Islam,
seorang muslim berbeda mendalami sebuah ajaran yang utuh, juga dalam memahami
ajaran yang tertuliskan dalam teks-teks agama. Maka dari itu perilaku seorang
muslim akan berbeda dari satu orang dengan yang lain sebagai interprestasi
sebuah agama.
Budaya
lokal sebagai sebagai pandangan hidup, nilai-nilai filosofis, aturan dan tata
kehidupan masyarakat, yang telah disepakati oleh masyarakat sebagai suatu
sistem guna menjaga kelangsungan hidup mereka. Ajaran yang diambil adalah berlandarkan
dari gejala alam dan kehidupan. Dan ini juga bisa jadi telah dipengaruhi oleh
ajaran agama yang lebih dahulu dari Islam, dimana misalnya yang terjadi di
Indonesia, bagaimana ajaran Hindu dan Budha yang telah berkembang pesat dan
diterima masyarakat dengan mementingkan daya dan alam spiritualnya dengan
ajaranya yang sopan santun dan sebagainya, yang tentunya sedikit banyak telah
mempunyai peran dalam membentuk suatu masyarakat.
Lalu
bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya lokal?. Islam adalah agama yang
universal yang menyangkut semua sisi kehidupan manisia (a complate system of
civilization) tentunya akan berinteraksi banyak dengan budaya lokal yang
ada.
Islam
datang dengan segenap prinsip-prinsip akidah, ibadah, akhlaq, dan hukum sebagai
pilar yang harus dijalankan oleh pemeluknya[9].
Tetapi bukan berarti penggantian secara total akan budaya lokal, akan tetapi
lebih kepada penanaman nilai-nilai Islam pada sebuah budaya lokal, dengan
memilih budaya mana yang sejalan dengan prinsip Islam, serta meninggalkan yang
bertentangan denganya, atau yang lebih terkenal dengan semboyan “al-muhafadzotu
ala qadimi a- sholih wa al-akhdlu bi al-jadidi al-aslah”. Hal ini dapat
kita dapatkan dalam kitab-kitab fikih klasik dalam memberikan contoh tentang
hal ini, dimana budaya menjamu seorang tamu adalah kebiasaan orang jahiliyah,
tetapi tetap dilestarikan pada masa Islam.[10]
Dalam
kelanjutan interaksi yang panjang antara Islam dan budaya lokal sehingga dapat
dikatakan bahwa keduanya tak bisa dipisahkan satu sama lain, hal ini juga
menyebabkan ketidak sejalanan sebagian muslim dalam memandang bagaimana
penilaian absah dan tidaknya suatu kultur yang khas Indonesia. Tetapi meskipun
begitu telah menjadi keinsyafan banyak ahli, bahwa agama dan budaya meskipun
tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan. Agama an sich besifat
mutlak, tidak dapat berubah menurut perubahan zaman dan tempat. Dengan kata
lain budaya adalah sebagai sub-ordinat dari agama, karena berapa banyak budaya
yang berdasarkan agama, tetapi tidak pernah terjadi agama berdasrkan budaya.
Hal ini karena sifat agama yang absolut, berlaku setiap ruang dan waktu,
sedangkan budaya adalah relatif dan terbatasi oleh ruang dan waktu.[11]
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Suatu hal yang
perlu dicatat, bahwa suatu hasil penelitian bidang sosiologi agama bisa saja
berbeda dengan agama yang terdapat dalam doktrin kitab suci. Sosiologi agama
bukan mengkaji benar atau salahnya suatu ajaran agama, tetapi yang dikaji
adalah bagaimana agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya.
Dalam kaitan ini,
dapat terjadi apa yang ada dalam doktrin kitab suci berbeda dengan apa yang ada
dalam kenyataan empirik. Para sosiolog membuat kesimpulan tentang agama dari
apa yang terdapat dalam masyarakat. Jika suatu pemeluk agama terbelakang dalam
bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, kesehatan, kebersihan, dan lain sebagainya,
kaum sosiolog terkadang menyimpulkn bahwa agama dimaksud merupakan agama untuk
orang-orang yang terbelakang. Kesimpulan ini mungkin akan mengagetkan kaum
tekstual yang melihat agama sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci yang
memang diakui ideal.
Namun kesimpulan yang
terkadang terasa kurang sejalan dengan ajaran yang ada, mengharuskan kita
menggunakan pendekatan yang lebih dekat agar terjadi kesingkronan antara
realita sosial masyarakat dengan Agama yang bersangkutan.
Meskipun demikian tidak dapat
dipungkiri bahwa pendekatan sosiologi merupakan ilmu baru dalam pendekatan
Agama, yang hal ini juga telah diakui oleh berbagai agamawan dan ilmuan. Namun
pendekatan semacam ini menyisakan sebuah masalah yang berkenaan dengan subjektifitas
peneliti sangat mewarnai sebuah hasil penelitian. Dimana latar belakang seorang
peneliti terkadang sudah memberikan stigma terlebih dahulu tentang objek
penelitian sebelum dimulainya sebuah penelian, sehingga mindset tentang
objek terkadang lebih mendominasi alur penelitian tentang sosiologi agama
tertentu, yang menyebabkan hasil dari penelitian kurang maksimal.
Wallahu
A’lamu bissowab.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf Qardhawi, Pengantar
Kajian Islam, penerjemah: Setiawan Budi Utomo, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, thn.
1996
Mastuhu, Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Yayasan Nuansa Cendikia,
Bandung, thn. 2001
Abdurrahman Mas’ud, Pengantar
Sosiologi Islam, JP Books, Surabaya, thn. 2008
Bustanuddin Agus, Islam dan Pembangunan (serial Esai Sosiologi Agama 1),
, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Nurcholis Majid, Islam Agama
Kemanusiaan, Paramadina, Jakarta, thn. 2003
http://kanzfarras.blog.com/2009/08/30/pendekatan-sosiologis-dalam-memahami-agama/
http://makalahkuliahjurusanpai.blogspot.com/2011/04/pendekatan-sosiologi-dalam-studi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_Sosiologi
[1]
Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam, penerjemah: Setiawan Budi Utomo,
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, thn. 1996, hal. 195-202
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_Sosiologi
[3] Mastuhu, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam
Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Yayasan Nuansa Cendikia, Bandung, th. 2001, hal.
109
[4]
Abdurrahman Mas’ud, Pengantar Sosiologi Islam, JP Books, Surabaya, 2008, hal.
115-116
[5] http://kanzfarras.blog.com/2009/08/30/pendekatan-sosiologis-dalam-memahami-agama/
[6]http://makalahkuliahjurusanpai.blogspot.com/2011/04/pendekatan-sosiologi-dalam-studi.html
[7]
http://kanzfarras.blog.com/2009/08/30/pendekatan-sosiologis-dalam-memahami-agama/
[8] Bustanuddin Agus, Islam dan Pembangunan
(serial Esai Sosiologi Agama 1), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, thn. 2007,
hal.32-35
[9]
Yusuf Qardhawy, Pengantar Kajian Islam, penerjemah: Setiawan Budi Utomo,
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, thn. 1997, hal. 9-10
[10]
Bustanuddin Agus, Islam dan Pembangunan (serial Esai Sosiologi Agama 1), PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, thn. 2007, hal 151-168
[11]
Nurcholis Majid, Islam Agama Kemanusiaan, Paramadina, Jakarta, 2003, hal 36