Jumat, 11 Maret 2016

PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang syumul, di mana Ia meliputi semua zaman, semua kehidupan dan semua eksistensi manusia. Dalam kaitanya dengan manusia Dia adalah risalah bagi manusia secara seutuhnya, bukan risalah bagi ruhnya saja tanpa jasadnya, bukan pula pemikiranya saja tanpa perasaanya, maupun sebaliknya.
Diantara nilai universalisme Islam, bahwa Islam juga membawa risalah bagi manusia dalam setiap aspek kehidupan dalam setiap bidang aktifitasnya, tidak ada satu aspekpun yang terlepas dari Islam. Baik masalah material maupun spiritual, individual maupun sosial, relegius maupun politik, ekonomi maupun moral.[1] 
Antara manusia dan agama adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, karena sudah menjadi kodrat manusia yang memiliki akal, instink, ruh yang selanjutnya membentuk fitrah dan pembawaan. Yang mana keseluruhan tadi membawa manusia akan keberadaan Tuhan sebagai kekuatan yang besar yang patut disembah, yang darinya darinya terdapat ajaran yang membawa menuju ketentraman dan ketenangan jasmani dan rohani (jiwa).
Manusia dengan kodratnya sebagai makluk sosial tidak akan bisa hidup sendiri, selain keterikatanya akan Agama (dalam hal ini Islam), menjadikan suatu sistem yang kompleks yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, meskipun bisa dibedakan. Sehingga ada keterikatan yang terjalin darinya.
Dalam kaitanya dengan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai sosial, yang didalamnya terdapat berbagai ajaran tentang kehidupan secara detail, yang mengharuskan pemeluknya untuk tunduk pada aturan tersebut, sehingga nilai-nilai tidak akan lepas dari para pemeluknya, yang dapat dilihat, dipahami dan diamati secara ilmiah dari sistem kehidupan muslim dalam kehidupan sosial.
Pada konteks kehidupan beragama sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu yang murni syariat Islam dan hasil pemikiran atau interpretasi dari syariat Islam. Sesuatu yang murni syariat Islam, berarti berasal dari Allah, absolut dan mengandung nilai sakralitas. Hasil pemikiran syariat Islam, berarti berasal dari selain Tuhan [manusia], bersifat temporal, berubah, dan tidak sakral. Pada aspek realisasi, kadang mengalami kesulitan membedakan keduanya karena terjadi tumpang-tindih dan terjadi pencampuradukan makna antara syariat Islam dengan pemikiran syariat Islam, baik sengaja atau tidak. Perkembangan selanjutnya, hasil pemikiran syariat Islam kadang-kadang telah berubah menjadi syariat Islam itu sendiri, sehingga ia disakralkan dan dianggap berdosa bagi yang berusaha merubahnya.
Perspektif sosiologi adalah concernnya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dan kebudayaan termasuk agama-sosiologi yang mencurahkan perhatiannya pada studi kolektivitas relogius sebagai mikrokosmos masyarakat, dimana proses dan pleaning sosial dapat diamati dengan jelas kondisi karakter komunitas keagamaan yang tertutup / terbatas seperti biara dan sekte-sekte tertentu / gerakan keagamaan biasa.

B. Masalah
Terdapat dua persoalan yang menjadi kegelisahan sehingga ia membuat pemetaan pendekatan studi Islam, yaitu :
1.      Islam, berkenaan dengan betapa sulitnya membuat garis pemisah yang jelas antara mana wilayah yang Islami dan yang tidak.
2.      Agama, adanya persoalan yang sangat rumit ketika ada yang memahami agama (Islam) sebagai tradisi (tradition) dan sebagai kepercayaan (faith) an sich.
Penelitian ini penting karena, pertama, masih tersimpan sejumlah masalah dalam mengadakan studi Islam secara netral dengan menggunakan pendekatan yang ilmiah. Kedua, terjadinya kebuntuan metodologis dan pendekatan ketika mempelajari studi agama. Di satu pihak, dituntut agar dapat memahami agama dalam orientasi akademik, pada pihak yang lain, harus menjaga nilai transendetal dari agama.







BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM MEMAHAMI AGAMA

A. Pengertian Sosiologi
               Sosiologi dapat dikatakan sebagia sesuatu yang relatif masih baru, walaupun perkembangan tentang sosiologi telah cukup lama. Istilah sosiologi diperkenalkan oleh Auguste Comte, seorang ahli filsafat dari perancis pada tahun 1839. August Comte membuat istilah sosiologi dari gabungan dua kata yang berasal yang berlainan, yaitu; Socius yang bersal dari bahasa Latin yang berati kawan, dan Logos berasal dari bahasa Yunani yang barati kata atau bicara. Jadi sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat.
               Setelah August Comte mengemukakan istilah ini, kemudian banyak juga pendapat yang mendefinisikan sosiologi. Untuk memberikan rumusan suatu definisi yang dapat menegmukakan keseluruhan pengertian, sifat dan hakekat yang dimaksud dari sutu kata atau kalimat adalah sulit. Karenanya definisi tentang sosiologi menjadi beragam, tetapi pada dasarnya mesing-masing pendapat menonjolkan segi masyarakat dari berbagai sudut baik individu maupun kelompok. Untuk lebih mengenal tentang sosiologi maka akan say berikan beberapa definisi yang di sebutkan oleh para ilmuan:[2]

1.      Pitirim Sorokin: sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
2.      Roucek dan Warren: sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
3.      William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf : sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
4.      J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers: sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
5.      Max Weber: Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
6.      Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi: Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
7.      Paul B. Horton: sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
8.      Soejono Soekanto: sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
9.      William Kornblum: sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
10.  Allan Jhonson: sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut memengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya memengaruhi sistem tersebut.
               Dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari  atau membicarkan masyarakat yang meliputu gejala-gejala sosial, struktur sosial, dan perubahan sosial yang terjadi didalam masyarakat.
               Didalam pengertian sosiologi, masyarakat tidak dipandang sebagai kumpulan individu seamata, melainkan sebagai suatu pergaulan hidup. Karena manusia hidup bersama, dan masyarakat sebagai suatu sistem yang terbentuk karena hubungan dari suatu anggotanya. Atau dapat pula dikatakan sebagai suatu sistem yang terwujud dari kehidupan bersama manusia.
               Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa yang menjadi objek pembahasan dalam sosiologi adalah masyarakat. Meskipun para ilmuan masih beselisih tentang objek sosiologi, dimana sebagian memandang masyarakat secara umum, dan sebagian lain memandang bahwa objek sosiologi hanya berkenaan dengan masyarakat secara khusus (hanya beberapa aspek dari masyarakat). Namun secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sosiologi membahas tentang masyarakat dilihat dari hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat.
               Suatu kumpulan manusia dapat dikatakan masyarakat jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Adanya kumpulan manusia yang hidup bersama. Dalam hal ini para ilmuan masih belum memberikan batas minimum suatu kumpulan bisa di katakan sebagi sebuah masyarakat.
2.      Bergaul dalam jangka waktu yang cukup lama
3.      Adanya kesadaran bahwa setiap manusia adalah bagian dari suatu kesatuan.
               Dengan demikian jelas sudah bahwa dalam memandang masyarakat, kitatidak hanya terpaku pada satu sudut pandang melainkan bisa meneliti masyarakat dengan sosiologi dari berbagai aspek. Maka dari itu disini Sosiologi akan digunkan sebagi alat untuk memandang dan mendalami Agama Islam. Karena Agama adalah suatu bagian yang tidak bisa terpisahkan dari masyarakat.

B.  Pendekatan Sosiologi Terhadap Agama
            Dalam disiplin Sosiologi Agama, ada lima perspektif sosiologi yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di masyarakat, yaitu: prespektif evolusionisme, perspektif fungsionalis, konflik dan interaksionisme simbolik. Masing-masing perspektif memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri bahkan bisa jadi penggunaan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan. Pembahasan berikut ini akan memaparkan bagaimana ketiga perspektif tersebut dalam melihat fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat.

1. Prespektif Evolusionisme
            Pendekatan ini memusatkan telaahnya pada: mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda. Titik tekan perhatianya pada pertanyaan “adakah pola umum perubahan yang ditemukan dalam masyarakat?” misalnya, “apakah ada perubahan dengan kedatangan ajaran Islam dalam masyarakat?.[3]
            Dalam kaitanya dengan Islam, kita telah melihat Islam melakukan perubahan dalam bidang sosial yang terjadi di Madinah dimana Islam memgajarkan Akidah, Syariah, dan Akhlaq, yang menjadikan sebuah revolusi mental spiritual yang belum ada tandinganya didunia ini. Bagaimana Islam telah mengajarkan persamaan hak antar manusia dengan menghapuskan perbudakan, ras dan suku, yang selanjutnya membawa kota Madinah sebagai kota yang benilai dalam sejarah.[4]

2. Prespektif Fungsionalis[5]
            Perspektif fungsionalis memandang masyarakat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang.
Secara esensial, prinsip-prinsip pokok perspektif ini adalah sebagai berikut :
1)            Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian-bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.
2)            Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi dari satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasi.
3)            Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya, yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu; salah satu bagian penting dari mekanisme ini adalah komitmen anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama.
4)            Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium, dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni atau stabilitas.
5)            Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi apabila hal tersebut terjadi, maka perubahan itu pada umumnya akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai konsekuensi logis dari prinsip-prinsip pokok diatas, perspektif ini berpandangan bahwa segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya.
              Karena agama dari dulu hingga sekarang masih tetap eksis maka jelas bahwa agama mempunyai fungsi atau bahkan memainkan sejumlah fungsi di masyarakat. Oleh karenanya, perspektif fungsionalis lebih memfokuskan perhatian dalam mengamati fenomena keagamaan pada sumbangan fungsional agama yang diberikan pada sistem sosial.
             Melalui perspektif ini, pembicaraan tentang agama akan berkisar pada permasalahan tentang fungsi agama dalam meningkatkan kohesi masyarakat dan kontrol terhadap perilaku individu.
             
2. Perspektif Konflik
            Tidak ada seorang sosiolog pun yang menyangkal bahwa perspektif konflik dalam kajian sosiologi bersumber pada ide-ide yang dilontarkan oleh Karl Mark seputar masalah perjuangan kelas. Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus diantara kelompok dan kelas, atau dengan kata lain konflik dan pertentangan dipandang sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial sehingga struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.Salah satu pertanyaan menarik yang terlontar sebagai konsekuensi dari penempatan konflik sebagai determinan utama dalam kehidupan sosial adalah masalah kohesi sosial. Kalangan teoritisi konflik setidaknya memandang dua hal yang menjadi faktor penentu munculnya kohesi sosial ditengah-tengah konflik yang terjadi, yaitu melalui kekuasaan dan pergantian aliansi. Hanya melalui kekuasaanlah kelompok yang dominan dapat memaksakan kepentingannya pada kelompok lain sekaligus memaksa kelompok lain untuk mematuhi kehendak kelompok dominan.
            Kepatuhan inilah yang pada akhirnya memunculkan kohesi sosial. Adapun pergantian aliansi disini berarti berafiliasi pada beberapa kelompok untuk maksud-maksud yang berbeda. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat suatu isu spesifik seringkali mampu menyatukan kelompok yang sebenarnya memiliki berbagai macam perbedaan.
            Dalam kaitannya dengan kekuasaan, kalangan teoritisi konflik memandang agama sebagai ekspresi penderitaan, penindasan, dan rasionalisasi serta pembenaran terhadap tatanan sosial yang ada. Oleh karena itu, dalam perspektif konflik agama dilihat sebagai “kesadaran yang palsu”, karena hanya berkenaan dengan hal-hal yang sepele dan semu atau hal-hal yang tidak ada seperti sungguh-sungguh mencerminkan kepentingan ekonomi kelas sosial yang berkuasa. Dalam pandangan Marx, agama tidak hanya membenarkan ketidakadilan tetapi juga mengilustrasikan kenyataan bahwa manusia dapat menciptakan institusi-institusi sosial, dapat didominasi oleh ciptaan mereka dan pada akhirnya percaya bahwa dominasi adalah sesuatu yang sah. Jadi, dalam perspektif konflik agama lebih dilihat dalam hubungannya dengan upaya untuk melanggengkan status quo, meskipun pada tahap selanjutnya tidak sedikit kalangan yang menganut perspektif ini justru menjadikan agama sebagai basis perjuangan untuk melawan status quo sebagaimana perjuangan bangsa Amerika Latin melalui teologi liberal mereka yang populer.

3. Perspektif Interaksionisme Simbolik
Dalam wacana sosiologi kontenporer, istilah interaksionisme simbolik diperkenalkan oleh Herbert Blumer melalui tiga proposisinya yang terkenal:
a)      Manusia berbuat terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi mereka;
b)      Makna-makna tersebut merupakan hasil dari interaksi sosial;
c)      Tindakan sosial diakibatkan oleh kesesuaian bersama dari tindakan-tindakan sosial individu.
Dengan mendasarkan pada ketiga proposisi diatas, perspektif interaksionisme simbolik melihat pentingnya agama bagi manusia karena agama mempengaruhi individu-individu dan hubungan-hubungan sosial. Pengaruh paling signifikan dari agama terhadap individu adalah berkenaan dengan perkembangan identitas sosial.
Dengan menjadi anggota dari suatu agama, seseorang lebih dapat menjawab pertanyaan “siapa saya?”. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa identitas keagamaan, dan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan agama merupakan produk dari sosialisasi. Oleh karenanya, kalangan interaksionis lebih melihat agama dari sudut peran yang dimainkan agama dalam pembentukan identitas sosial dan penempatan individu dalam masyarakat.
Dari ketiga perspektif utama dalam sosiologi diatas, yang nantinya akan dibahas lebih detail dalam bab-bab selanjutnya, setidaknya kita sudah bisa melihat apa sebenarnya yang menjadi pokok kajian para sosiolog ketika mereka mengkaji permasalahan keagamaan yang terjadi di masyarakat. Luasnya cakupan dimensi agama yang ada sebagai konseskuensi dari kecenderungan para sosiolog mendefinisikan agama secara inklusif sebenarnya telah membuka kesempatan yang luas bagi berbagai perspektif yang ada dalam sosiologi untuk bisa memberikan kontribusi maksimal bagi upaya memahami perilaku-perilaku sosial masyarakat sebagai perwujudan dari pelaksanaan beragam keyakinan dan doktrin-doktrin keagamaan yang ada.
Namun demikian, pembahasan sosiologis tentang berbagai fenomena keagamaan yang berkembang dimasyarakat selama ini cenderung terpusat disekitar permasalahan fungsi ganda agama bagi masyarakat, yaitu fungsi integratif dan disintegratif. Oleh karena itu, sebelum kita berupaya mengaplikasikan berbagai perspektif sosiologis untuk mengungkapkan fenomena keberagamaan yang lebih luas dan kompleks, secara sepintas kita perlu untuk melihat kembali bagaiamana para sosiolog menggambarkan fungsi ganda agama ini. Dari sini setidaknya kita akan mendapatkan gambaran bagaimana konsekuensi sosial yang muncul dari serangkaian ritual dan praktek keagamaan dilihat dari perspektif sosiologis.

C. Fungsi Pendekatan Ilmu Sosial
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosial. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
Maksud pendekatan ilmu sosial ini adalah implementasi ajaran Islam oleh manusia dalam kehidupannya, pendekatan ini mencoba memahami keagamaan seseorang pada suatu masyarakat. Fenomena-fenomena keislaman yang bersifat lahir diteliti dengan menggunakan ilmu sosial seperti sosialogi, antrapologi dan lain sebagainya. Pendekatan sosial ini seperti apa perilaku keagamaan seseorang di dalam masyarakat apakah perilakunya singkron dengan ajaran agamanya aiau tidak. Pendekatan ilmu sosial ini digunakan untuk memahami keberagamaan seseorang dalam suatu masyarakat.
Sosiologi sebagai salah satu ilmu sosial, mempunyai peranan yang sangat penting dalam memahami Agama Islam, karena didalamnya kita akan dapat memahami fenomena sosial yang berkenaan dengan ibadah dan muamalat. Hal ini dapat dipahami karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini, selanjutnya mendorong agamawan memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat  memahami agamanya. Dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif. Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan. Sebagai berikut. [6]:
Pertama : dalam al-Qur’an atau kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
Kedua : bahwa ditekankannya masalah muamalah atau sosial dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (bukan ditinggalkan) melainkan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga : Bahwa Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari ibadah yang bersifat perseorangan .
Keempat : dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Kelima : dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
Berdasarkan pemahaman kelima alasan diatas, maka melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.



D.   Konsekuensi Agama Dalam Masyarakat
            Keberadaan Agama dalam masyarakat menimbulkan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi semua anggota masyakat. Dari sebuah konsekuensi tersebut dapat sebagian dapat dikategorikan sebagai konsekuensi positif dan bisa juga negatif. Sebagai berikut:
1.   Konsolidasi Dan Interseksi[7]
Konsolidasi adalah suatu proses atau upaya penggabungan antara dua kelompok atau lebih yang memiliki berbagai perbedaan dan berupaya menyelesaikan perbedaan dan pertentangan tersebut melalui berbagai macam diskusi dan pertemuan-pertemuan guna menemukan titik temu yang disepakati oleh semua pihak yang bertikai. Upaya yang dilakukan disadari dan direncanakan gana menyelesaikan permasalahan yang ada diantara mereka yang bertengkar.
Interseksi adalah suatu penggabungan berbagai perbedaan tidak harus diawali dengan permasalahan dan terjadi dengan sendirinya, misalnya campuran antara berbagai budaya dan kepercayaan. Hasil yang diperoleh adalah perpaduan antara dua atau lebih kebudayaan, sehingga kedua kebudayaan tersebut berbaur atau bercampur satu dengan lainnya .
Misalnya Selamatan dalam masyarakat Jawa, adalah interseksi dari kepercayaan animisme dinamisme dengan agama Hindu dan Budha dan juga agama Islam. Di dalam ajaran Islam tidak ada sesaji dan juga kepercayaan tentang roh nenek moyang, tetapi dalam pelaksanaan selamatan masyarakat pedesaan Jawa menggunakan doa secara agama Islam. Kenyataan ini sering disebut sebagai bentuk sinkritisme agama atau system kepercayaan yang ada. Meminjam istilah yang digunakan Abd A’la saat ini dibutuhkan suatu sistem “pendidikan agama yang mencerahkan”. Pelbagai segi dari sistem pendidikan agama ini mesti dibenahi, mulai dari masalah content, metodologi, serta kemendalaman penyerapan sisi kognitif, afektif, dan konatif. Tentu saja agenda ini bukan suatu kerja enteng yang dapat diselesaikan dalam waktu semalam. Keterlibatan dan kepedulian semua pihak untuk memberikan suatu teladan pewarisan nilai yang inklusif dan humanistik amatlah dibutuhkan, mulai dari tingkat keluarga, hingga pemuka agama.
Interseksi berjalan secara damai dan melalui waktu yang panjang dan dengan mempertimbangkan keuntungan dan fungsi bagi masyarakat yang bersangkutan; oleh karena itu interseksi ini akan bersifat dinamis menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

2.  Deferensiasi Sosial
Deferensiasi sosial sebagai gejalayang universal dalam kehidupan masyarakat dan membedakan masyarakat secara horizontal, tentu akan membawa dampak dan pengaruh pada kehidupan bersama. Pembedaan secara horizontal ini tetap akan membawa konsekuensi bagi kelompok-kelompok sosial yang ada. Ikuti penjelasan dampak derensiasi sosial dalam masyarakat.
a)      Fanatisme
Pengelompokan masyarakat berdasarkan demensi horizontal ini memiliki dampak pada fanatisme kelompok yang bersangkutan,. Anggota kelompok memiliki ikatan yang kuat dengan kelompoknya dan sekaligus membedakan dirinya dengan kelompok lain. Misalnya deferensiasi berdasarkan agama, akan menmimbulkan fanatisme bagi setiap pemeluk agama yang bersangkutan dan mereka sekaligus membedakan diri dengan kelompok beragama lainya.
Batas-batas kelompoknya lebih jelas dan batas kelompok yang lain juga jelas oleh karena itu fanatisme dapat tumbuh dan berkembang sebagai dampak dari deferensiasi sosial.
b)      Solidaritas
Solidaritas atau ikatan kebersamaan dapat juga terjadi akibat deferensiasi sosial yang ada. Solidaritas tumbuh dan berkembang diantara mereka. Deferensiasi karena suku bangsa atau etnik akan membuat ikatan mereka se etnik jauh lebih kuat dibandingkan dengan ikatan mereka diluar etnik. Lebih-lebih bila mereka berada diluar etniknya sebagai pendatang pada etnik yang berbeda, maka solidaritas diantara mereka akan tumbuh dan berkembang sehingga rasa solidaritas diantara mereka semakin tinggi.
Mereka merasa satu bagian dari bagian yang besar dan mereka selalu menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari mereka yang besar tersebut.
Dalam kaitanya bahwa Agama sebagi perajut solidaritas pengikutnya, banyak juga terjadi pada sebagian pemeluk agama yang menjadikan ajaran agama sebagai legitimasi sebuah solidaritas atas kelompok tertentu yang berseberangan, yang terkadang dengan mudah mengatakan sebuah gerakan dengan penyebutan “jihad” atau “perang sabil”, sehingga sekilas nampak disini Agama bukan lagi sebagai perajut solidaritas sosial.
Tetapi kalau kita amati lebih detail, yang ditemukan dalam kasus-kasus tersebut bukanlah agama sebagai ajaran, tetapi hanya kecenderungan beragama masyarakat penganut agama yang sama. Yang tidak berfungsi di sini adalah keberagamaan masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya, “Apakah Agama memungkinkan berpeluang sebagai perajut solidaritas dan pemersatu ummat? Kapan?”. Tampaknya Agama akan tetap menjadi pemersatu jika; pertama, kalau ditujikan kepada sesama aliran, sekte, madzhab dan prespektif, atau kalau ditujukan kedalam (inward looking), namun berbeda jika sebaliknya. Kedua, jika dihayati dengan jujur, ihlas, objektif, yaitu dengan memberdayakan hati nurani. Perberdayaan hati nurani dengan mengintensifkan dialog dengan diri sendiri, introspeksi kedalam, perenungan dan minta petunjuk Allah.[8]  
c)      Toleransi
Pemahaman akan perbedaan yang horizontal diantara kelompok sosial yang digolongkan berdasarkan deferensiasi sosial akan menumbuhkan toleransi diantara mereka.
Mereka mengetahui perbedaan dan batas-batas sosial diantara mereka. Batas kelompok mereka mereka pahami; kesadaran akan kelompoknya juga mereka merasakan. Sisi lain mereka mengetahui batas-batas dari kelompok deferensiasi sosial lainya. Pemahaman tentang dirinya dan pemahaman terhadap diri orang lain akan menyebabkan tumbuhnya toleransi diantara mereka. Mereka menghargai apa yang ada pada kelompok lain dan kelompok lain memahami dan menyadari perbedaan yang ada dalam kelomponya.
Kesadaran akan batas dan perbedaan antara kelompok yang berbeda ini merupakan kesadaran sosial yang menumbuhkan rasa mau menghargai perbedaan sebagai wujud toleransi sosial yang ada

3. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial berdasarkan demensi vertikal akan memiliki pengaruh terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat. Dampak stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai berikut:
a)      Eklusivitas
Stratifikasi sosial yang membentuk lapisan-lapisan sosial juga merupakan sub-culture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan gtertentu menunjukan eklusivitasnya masing-masing. Eklusivitas dapat berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain.
Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing anggotanya dapat dibedakan; sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas sosial mana seseorang berasal.Eklusivitas yang ada sering membatasi pergaulan diantara kelas sosial tertentu, mereka enggan bergaul dengan kelas sosial dibawahnya atau membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang sama dengan kelas mereka.
b)      Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri dapat terjadi dalam stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat. Mereka yang berada dalam stratifikasi sosial atas akan menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah dan kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada stratifikasi sosial rendah.
Pola perilaku kelas sosial atas, dianggap lebih berbudaya dibandingkan dengan kelas sosial di bawahnya. Sebaliknya kelas sosial bawah akan memandang mereka sebagai orang boros dan konsumtif dan menganggap apa yang mereka lakukan kurang manusiawi dan tidak memiliki kesadaran dan solidaritas terhadap mereka yang menderita. Pemujaan terhadap kelas sosialnya masing-masing adalah wujud dari etnosentrisme.
c)   Konflik Sosial
Perbedaan yang ada diantara kelas sosial dapt menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial maupun iri hati. Jika kesenjangan karena perbedaan tersebut tajam tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik sosial antara kelas sosial satu dengan kelas sosial yang lain.
Misalnya demonstrasi masyarakat untuk penutupan kegiatan jamaah kristen disuatu desa yang mayoritas Islam seperti yang terjadi beberapa bulan yang lalu di Bekasi, juga usaha umat Kristen untuk menghancurkan Masjid-masjid yang terjadi di Ambon dan Maluku.

E.  Islam, Muslim dan Budaya Lokal
            Pendekatan Islam dari sudut pandang sosiologi kiranya kurang sempurna jika kita tidak memperhatiakan hal ini, dimana pemisahan antara muslim sebagai pemeluk sebuah agama (Islam), dan Islam sebagai sebuah ajaran yang tidak ada kesalahan didalamnya, serta budaya lokal sebagai hasil pemikiran manusia yang terkadang dapat tercampur dengan sebuah ajaran Islam.
            Pengertian semacam ini kiranya perlu dibahas karena jika mencampuradukan itu semua akan menemukan kerancauan dalam sebuah hasil yang diperoleh dengan pendekatan sosiologi.
            Islam sebagai agama yang hasil pemikiran Tuhan (bukan hasil pemikiran manusia) sifatnya sakral yang harus dianggap selalu benar, karena ajaran manapun akan menganggap demikian, dan juga ajaran yang dibawa adalah ajaran suci yang membawa manusia kepada kebahagian dunia yang didalamnya juga masyarakat dan juga akhirat.
            Muslim adalah pemeluk agama Islam yang berusaha menjalankan dengan baik ajaran Islam, seorang muslim berbeda mendalami sebuah ajaran yang utuh, juga dalam memahami ajaran yang tertuliskan dalam teks-teks agama. Maka dari itu perilaku seorang muslim akan berbeda dari satu orang dengan yang lain sebagai interprestasi sebuah agama.
            Budaya lokal sebagai sebagai pandangan hidup, nilai-nilai filosofis, aturan dan tata kehidupan masyarakat, yang telah disepakati oleh masyarakat sebagai suatu sistem guna menjaga kelangsungan hidup mereka. Ajaran yang diambil adalah berlandarkan dari gejala alam dan kehidupan. Dan ini juga bisa jadi telah dipengaruhi oleh ajaran agama yang lebih dahulu dari Islam, dimana misalnya yang terjadi di Indonesia, bagaimana ajaran Hindu dan Budha yang telah berkembang pesat dan diterima masyarakat dengan mementingkan daya dan alam spiritualnya dengan ajaranya yang sopan santun dan sebagainya, yang tentunya sedikit banyak telah mempunyai peran dalam membentuk suatu masyarakat.
            Lalu bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya lokal?. Islam adalah agama yang universal yang menyangkut semua sisi kehidupan manisia (a complate system of civilization) tentunya akan berinteraksi banyak dengan budaya lokal yang ada.
            Islam datang dengan segenap prinsip-prinsip akidah, ibadah, akhlaq, dan hukum sebagai pilar yang harus dijalankan oleh pemeluknya[9]. Tetapi bukan berarti penggantian secara total akan budaya lokal, akan tetapi lebih kepada penanaman nilai-nilai Islam pada sebuah budaya lokal, dengan memilih budaya mana yang sejalan dengan prinsip Islam, serta meninggalkan yang bertentangan denganya, atau yang lebih terkenal dengan semboyan “al-muhafadzotu ala qadimi a- sholih wa al-akhdlu bi al-jadidi al-aslah”. Hal ini dapat kita dapatkan dalam kitab-kitab fikih klasik dalam memberikan contoh tentang hal ini, dimana budaya menjamu seorang tamu adalah kebiasaan orang jahiliyah, tetapi tetap dilestarikan pada masa Islam.[10]
            Dalam kelanjutan interaksi yang panjang antara Islam dan budaya lokal sehingga dapat dikatakan bahwa keduanya tak bisa dipisahkan satu sama lain, hal ini juga menyebabkan ketidak sejalanan sebagian muslim dalam memandang bagaimana penilaian absah dan tidaknya suatu kultur yang khas Indonesia. Tetapi meskipun begitu telah menjadi keinsyafan banyak ahli, bahwa agama dan budaya meskipun tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan. Agama an sich besifat mutlak, tidak dapat berubah menurut perubahan zaman dan tempat. Dengan kata lain budaya adalah sebagai sub-ordinat dari agama, karena berapa banyak budaya yang berdasarkan agama, tetapi tidak pernah terjadi agama berdasrkan budaya. Hal ini karena sifat agama yang absolut, berlaku setiap ruang dan waktu, sedangkan budaya adalah relatif dan terbatasi oleh ruang dan waktu.[11]










BAB III
KESIMPULAN

Suatu hal yang perlu dicatat, bahwa suatu hasil penelitian bidang sosiologi agama bisa saja berbeda dengan agama yang terdapat dalam doktrin kitab suci. Sosiologi agama bukan mengkaji benar atau salahnya suatu ajaran agama, tetapi yang dikaji adalah bagaimana agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya.
Dalam kaitan ini, dapat terjadi apa yang ada dalam doktrin kitab suci berbeda dengan apa yang ada dalam kenyataan empirik. Para sosiolog membuat kesimpulan tentang agama dari apa yang terdapat dalam masyarakat. Jika suatu pemeluk agama terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, kesehatan, kebersihan, dan lain sebagainya, kaum sosiolog terkadang menyimpulkn bahwa agama dimaksud merupakan agama untuk orang-orang yang terbelakang. Kesimpulan ini mungkin akan mengagetkan kaum tekstual yang melihat agama sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci yang memang diakui ideal.
Namun kesimpulan yang terkadang terasa kurang sejalan dengan ajaran yang ada, mengharuskan kita menggunakan pendekatan yang lebih dekat agar terjadi kesingkronan antara realita sosial masyarakat dengan Agama yang bersangkutan.
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan sosiologi merupakan ilmu baru dalam pendekatan Agama, yang hal ini juga telah diakui oleh berbagai agamawan dan ilmuan. Namun pendekatan semacam ini menyisakan sebuah masalah yang berkenaan dengan subjektifitas peneliti sangat mewarnai sebuah hasil penelitian. Dimana latar belakang seorang peneliti terkadang sudah memberikan stigma terlebih dahulu tentang objek penelitian sebelum dimulainya sebuah penelian, sehingga mindset tentang objek terkadang lebih mendominasi alur penelitian tentang sosiologi agama tertentu, yang menyebabkan hasil dari penelitian kurang maksimal.
            Wallahu A’lamu bissowab.







DAFTAR PUSTAKA

Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam, penerjemah: Setiawan Budi Utomo, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, thn. 1996
Mastuhu, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Yayasan Nuansa Cendikia, Bandung, thn. 2001
Abdurrahman Mas’ud, Pengantar Sosiologi Islam, JP Books, Surabaya, thn. 2008
Bustanuddin Agus, Islam dan Pembangunan (serial Esai Sosiologi Agama 1), , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Nurcholis Majid, Islam Agama Kemanusiaan, Paramadina, Jakarta, thn. 2003
http://kanzfarras.blog.com/2009/08/30/pendekatan-sosiologis-dalam-memahami-agama/
http://makalahkuliahjurusanpai.blogspot.com/2011/04/pendekatan-sosiologi-dalam-studi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_Sosiologi



[1] Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam, penerjemah: Setiawan Budi Utomo, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, thn. 1996, hal. 195-202  
[2]  http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_Sosiologi

[3]  Mastuhu, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Yayasan Nuansa Cendikia, Bandung, th. 2001, hal. 109
[4] Abdurrahman Mas’ud, Pengantar Sosiologi Islam, JP Books, Surabaya, 2008, hal. 115-116

[5] http://kanzfarras.blog.com/2009/08/30/pendekatan-sosiologis-dalam-memahami-agama/


[6]http://makalahkuliahjurusanpai.blogspot.com/2011/04/pendekatan-sosiologi-dalam-studi.html

[7]  http://kanzfarras.blog.com/2009/08/30/pendekatan-sosiologis-dalam-memahami-agama/


[8]  Bustanuddin Agus, Islam dan Pembangunan (serial Esai Sosiologi Agama 1), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, thn. 2007, hal.32-35
[9] Yusuf Qardhawy, Pengantar Kajian Islam, penerjemah: Setiawan Budi Utomo, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, thn. 1997, hal. 9-10
[10] Bustanuddin Agus, Islam dan Pembangunan (serial Esai Sosiologi Agama 1), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, thn. 2007, hal 151-168
[11] Nurcholis Majid, Islam Agama Kemanusiaan, Paramadina, Jakarta, 2003, hal 36

Epistemologi Islam

BAB I

PENDAHULUAN

Pada dasarnya pembagian kajian filsafat ilmu tidak akan terlepas dari tiga bahasan pokok; ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga bahasan ini mempunyai titik pandang yang berbeda dalam menjelaskan tentang ilmu. Ontologi berfungsi sebagai penjelas hakikat ilmu itu sendiri, sedangkan epistemologi membahas bangunan yang disandarkan kepadanya suatu ilmu atau dengan kata lain bagaimana cara memperoleh ilmu itu dan sebagainya, sedangakan aksiologi menjalaskan manfaat dari ilmu itu dibuat.
Dalam makalah ini penulis lebih berkonsentrasi pada bahasan kedua, yaitu tentang epistemologi, yaitu sebuah cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika epistemologi adalah terjadinya pengetahuan, teori kebanaran, metode-metode ilmiah, dan aliran-aliran teori pengetahuan.[1]
Dalam kaitanya dengan epistemologi Islam, kiranya bahasan epistemologi telah banyak dibahas oleh ulama’ terdahulu seperti; syuhrawardi, al adawi, al farabi, al ghazali, al kindi, al maturidi, mu’tazilah dsb.[2] Tetapi bahsan yang dahulu masih bersifat acak atau belum teratur atau sistematik, sampai pada masa 70-an, seorang pemikir berkebangsaan Maroko yang bernama Abid al-Jabiri dalam kitabnya naqd ‘aql al-arabi menjelaskan teori baru tentang epistemologi Islam yang secara umum di bagi menjadi tiga pokok bahasan, yaitu bayani, irfani dan burhani.

Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan atau kegunaan dari pembuatan makalah ini antara lain adalah :
1.                  Mengetahui lebih jauh mengenai apa itu epistemologi.
2.                  Mengenal lebih dekat siapa sebenarnya Abid Al-Jabiri.
3.                  Mengetahui tiga macam epistemologi ilmu yang diawarkan oleh Abid Al-Jabiri, yakni Bayani, Burhani, dan Irfani.
4.                  Menilik beberapa kritik tentang pemikiran Al-Jabiri dari beberapa kalangan pemikir islam.
5.                  Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Integrasi Islam dan sain

C.    Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas rumusan masalah atau pertanyaan yang akanmuncul kemudian adalah :
1.                  Siapakah Abid Al-Jabiri?
2.                  Apa pengertian dari tiga macam epistemologi ilmu Abid Al-Jabiri, yakni Bayani, Burhani, dan Irfani.
3.                  Manfaat apa yang dapat diambil dari konsep epistemologi Islam menurut Abid-Al-Jabiri?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas setidaknya dapat kita temukan dalam makalah singkat ini.



















BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi

Istilah epistemologi dalam bahasa Inggris dikenal dengan “Theory of Knowledge”. Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti teori dan logos yang berarti pengetahuan. Dalam rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan “salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan”. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan mengenai pengetahuan. Istilah epistemologi pertama kali muncul dan digunakan oleh J. F. Ferrier pada tahun 1854
Dalam bahasa Arab epistemologi diartikan sebagai “nadzariyah ma’rifah” yang mana ada perbedaan antara kata al-ma’rifah dengan al-‘ilm, dimana proses yang yang terjadi jika pada ma’rifah tanpa harus melalui proses pencarian, berbeda dengan ma’rifah yang masuk didalamnya segala sesutu yang diketahui baik secara sadar atau tidak sadar.
Pada dasarnya ada perbedaan pengertian tentang Epistemologi antara Prancis dan Anglosakson (inggris dan Amerika), dimana Epistemologi dalam pandangan Anglosakson bahwa epistemologi sama halnya dengan teori pengetahuan sendiri yang mana sebagi kelanjutan pengetahuan mereka tentang teori pengetahuan pada masa dahulu, sehingga pada akhirnya mereka memunculakan istilah baru dengan nama Cagnitrisme yang berarti teori pencapaian atas dasar pikiran (نظرية الإدراك الذهني ) yang berdasarkan atas pengetahuan, logika dan latihan-latihan. Sedangkan Epistemologi menurut Perancis, bahwa epistemologi mempunyai makna khusus dimana proses pendapatan pengetahuan berkaitan erat dengan sejarah. Dan untuk pengertian yang kedua inilah al-Jabiri memakainya, yaitu dengan pendekatan sejarah.[3]
Pendapat pyrho tentang epistemology, pyrho adalah seorang yang mengungkapkan tentang keraguanya terhadap epistemology, ia berpendapat berkata “tidak mungkin dapat mengetahui sesuatu dengan pasti, ‘ragu-ragu’ dan ‘saya tidak tahu’ adalah ketentuan dan nasib manusia.” Argumenya menyatkan bahwa dengan hanya berbekal pada panca indra manusia tidak akan mencapai kepada kebenaran, karena menurutnya berapa kesalahan yang di lakukan panca indra dalam menggunakan fungsinya, tentu semua orang pernah merasakan kesalahan panca indra yang tidak terhitung jumlahnya, yang selanjutnya beasumsi bahwa tidak mungkin dengan alat yang tidak jelas kebenaranya dijadikan sandaran atau pegangan dalam memahami epistemologi. Hal ini juga terjadi pada akal imbuhnya, berapa banyak para ilmuan yang melakukan kesalahan dengan menggunakan akalnya. Sedangkan dalam dalam diri manusia hanya terdapat dua alat tersebut yaitu indera dan rasio yang kedua sering terjadi kesalahan. Maka dari itu dia keduanya tidak dapat di jadikan sebagai alat mencari epistemologi[4]
B.  Sekilas Biografi Muhammad 'Abid al-jabiri
Muhammad ‘Abid al-Jabiri adalah penulis prolifik asal Maroko. Ia merupakan seorang pemikir Muslim kontemporer yang kreatif, sangat kritis dan sekaligus provokatif. Dikalangan pemikir Arab Jabiri memang dikenal sebagai seorang filosof kontemporer Arab yang memiliki ide-ide brilliant.
Dilahirkan di Figuig, sebelah Selatan Maroko pada tahun 1936. Ia menyelesaikan pendidikan ibtidaiyahnya di madrasah hurrah wataniyyah, sekolah agama swasta yang didirikan sebuah gerakan kemerdekaan ketika itu. Pendidikan menengahnya dia tempuh dari 1951-1953 di Casabalanca dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka. Sejak dari awal Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya dia mulai pada tahun 1958 di Universitas Damaskus, Syiria. Jabiri tidak lama bertahan di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke Universtas Rabat yang baru saja didirikan, dinegara asalnya. Dia menyelesaikan program masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh ‘inda Ibn Khaldun (Filsafat Sejarah Ibn Khaldun), dibawah bimbingan N. Aziz Lahbabi (w. 1992), juga seorang pemikir Arab Maghrib yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter. Dia meraih gelar Doktor Falsafah pada tahun 1970 dibawah bimbingan Najib Baladi. Disertasi Doktronya juga berkisar seputar pemikiran Ibn Khaldun dan telah diterbitkan dengan judul Fikr Ibn Khaldun: Al-‘Asabiyyah wa al-Dawlah: Ma’alim nazariyyah khalduniyyah fi al-tarikh al-islami. Jabiri muda merupakan seorang aktifis politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (USFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro politik USFP.
Disamping aktif dalam politik, Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan nasional. Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-‘Omari dan Ahmed Sattati menerbitkan dua buku teks, pertama tentang pemikiran Islam dan kedua mengenai filsafat, untuk mahasiswa S1.[5]

C.  Epistemologi Islam Menurut Abied al Jabiri

Muhammad Abid Al Jabiri, mengemukakan pendapatnya dalam rangka membidik pola pemikiran orang arab dalam bukunya; Bunyah al-Aql al-Arabi, (beirut, Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993) sebagai agenda besarnya dalam naqd aql al-Arabi (kritik nalar arab). Disini sebenarnya al-Jabiri fokus pada pembicaraan nalar arab, bukan nalar Islam, namun karena Islam sebagai bagian dari tradisi arab maka pembicaraan tentang Islam sebagai sebuah keniscayaan.
Pemikiran al-Jabiri ini kemudian menjadi siraman segar bagi sebagian pemerhati pemikiran agama. Tetapi perlu di ketahui dalam kaitanya dengan pemikiran al-Jabiri ini hanya terbatas pada agenda besarnya yaitu ‘kritik’ nalar arab, maka wajar jika timbul anggapan bahwa tulisan yang di tuangkan bersifat provokatif. 
Pembahasan al-Jabiri dalam hal epistemologi Islam di bagi menjadi tiga pokok bahasan yaitu bayani, irfani dan burhani. Yang dari ketiga kerangka pemikiran tersebut terdapat beberapa corak perbedaan yang mendasar baik dari sumber, metode, approuch, teoretical frame work, fungsi dan peran akal, tipe argumen, tolak ukur validitas  keilmuan, prinsisp-prinsip dasar, kelompok ilmu pendukung, dan hubungan subjek dan objek. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut[6]:



1.  Bayani

Ba-ya-na menurut Ibn Mandzur  kamus lisan al-arab terdapat beberapa arti 1. al-waslu (menyambung) yaitu ketika berharakat dhammah (بَيْنُ) . 2. al-faslu (memisah) al-bu’du (jauh), alfurqah (berpisah) yaitu ketika berharakat fathah (بَيْنَ) . 3. ad-dzuhur wal wudhuh 4. al-fashohah wal wa-alqudrah ala tablig wal iqna’ (kemampuan menyampaikan pemahamannya ke orang lain) 5. al-insan hayawan mubin (manusia adalah hewan yang bisa menerangkan). Dari beberapa arti bahasa dapat di simpulkan bahwa kata ba-ya-na jika dimaknai sebagai teori menunjukkan fasl wa idzhar (pemisah dan penampak), sedangkan dari segi pandangan dapat di artikan sebagai al-infishal wa dzuhur (berpisah dan tampak). Secara umum, Jabiri menjelaskan bahwa pembahasan bayaniyah terbagi menjadi dua: pertama; aturan-aturan penafsiran wacana (Qawanin tafsiri khitab), yang kedua; syarat-syarat memproduksi wacana (syurutu intaji al-khitab).[7] Kata bayan disini bukan lagi bermakna menjelaskan sebagaimana arti yang leterleg, tetapi sudah menjadi suatu makna definif keilmuan baru yang di ciptakan Jabibi.
Sebenarnya prosesi bayani dalam Islam sudah dipraktekkan oleh ulama dahulu sebelum menjadi sebuah sistem berfikir yang sendiri, berkembangnya makna bayani menjadi satu epistemologi keilmuan baru ini dibarengi dengan perkembangan tradisi Arab, yaitu dari budaya lisan dan riwayat menuju budaya tulis dan nalar. Atau dengan kata lain menurut Jabiri dari al-La’i (ketidak sadaran) meuju al-Wa’i (kondisi sadar), sederhanaya dari budaya yang bersifat awam menuju budaya yang besifat ilmiyah.
Dalam kajian ini Jabiri “menyalahkan” Syafi’i (w. 204) yang telah membuat kaidah-kaidah baku dalam penafsiran teks-teks agama, khususnya proses qiyas yang di jadikan sumber penalaran yang sah dalam agama untuk menanggapi segala persolan yang muncul dalam dimensi agama. Maka dalam konteks ini teks dijadikan acuan utama dalam memahami agama secara menyeluruh. Syafi’i meletakkan al-ushul al-bayaniyah sebagai faktor penting dalam penafsiran wacana. Maka menurutnya berfikir dalam Islam harus di ‘kurung’ dalam nash (teks).
Kemudian Syafi’i menerangkan tingkatan bayan khususnya bayan terhadap Al-Qur’an menjadi lima tingkatan; 1) bayan yang tidak membutuhkan penjelasan. 2) bayan yang dalam beberapa bagianya membutuhkan penjelasan dari Sunnah. 3) bayan yang secara keseluruhan membutuhkan penjelasan dari Sunnah. 4) bayan sunnah, yaitu yang tidak terdapat penjelasanya dari Qur’an maupun Sunnah. 5) bayan Ijtihad, yaitu menggunakan metode Qiyas sebagai metode ijtihad dalam hukum. Dari sini Syafi’i merumuskan empat landasan dasar agama; al-Qur’an, as-Sunnah, al-Qiyas, al-Ijtihad (ijma’).
Dari sini kemudian munculah tanggapan dari al-Jahidz[8] yang menganggap metode Syafi’i hanya sebatas pemahaman teks bukan bukan pada tingkatan membuat orang paham, atau belum menyentuh unsur makna (hanya mengedepankan lafadz belum pada makna) karena unsur pendengar di hiraukan menurutnya. Lain dari itu muncul juga Ibnu Wahab yang memberikan tambahan pemahaman bayan dengan merumuskan tingkatan kepastian atau penunjukan mulai dari pemahaman sesuatu dari sisi materi pernyataanya (bayan bil i’tibar), dari sisi bathin (bayan bil qalb), dari redaksi lisan (bayan bi al-‘abarat), dari dari redaksi tulis (bayan bi al-kitab).
Struktur berfikir seperti ini yang menurut rekonstruksinya menguasai gerak budaya bangsa Arab-Islam di bangun berdasarkan teks (nash), Ijma’ dan Ijtihad. Representasi dari metode ini banyak di pakai dalam bidang ilmu fiqh, kalam, nahwu dan balaghah, hal ini di dasarkan pada persamaan karakter masing-masing disiplin baik hal metodologi maupun pendekatan lainya dalam menggali pengetahuan. Dimana  pendekatan bahasa sangat penting dalam metode ini yaitu dengan kerangaka teori kebahasaan seperti al-asl-wal-far’u, Istinbatiyah, qiyas illah, qiyas dalalah, al-‘amm-al-khass, dan sebagainya.
Dari penjelasan bayani diatas bisa diphami bahwa pengukuhan teks menjadi suatu hal yang ‘mesti’ di lakukan oleh seorang mujtahid, posisi teks sangat dijunjung tinggi sehingga memunculkan sebuah statemen bahwa jika sesuatu hal tidak sesuai dengan teks dianggap salah, atau dengan kata lain jika seseorang memberikan pendapat tanpa menggunakan teks yang pasti, atau analogi terhadap teks (nash) maka dapat disebut telah menetapkan hukum melalui hawa nafsu (al-hukm bi al-tasyahhi), dan karenanya lebih dekat dengan dosa. karena dalam prinsipnya “segala peristiwa yang menimpa seorang penganut agama Allah, niscaya didalam kitab Allah terdapat dalil sebagai jalan petunjuk”.
Selain itu juga Jabiri menyuguhkan membagi prinsip dasar nalar arab menjadi tiga[9]; pertama, prinsip infishal (berpisah), prinsip ini beranggapan bahwa alam semesta dan seisinya ini  masing-masing berdiri sendiri dan tidak berkaitan satu sama yang lainya, hal ini di pahami dari pemahaman Tuhan dan manusia yang dipahami terpisah oleh orang Arab menurut Jabiri, yang selanjutnya juga menimbulkan pemisahan antara ilmu agama dan non agama.
Kedua, prinsip at-tajwiz (keserba bolehan); prinsip yang kurang memperhatikan sebab akibat, kejadian lazim dan tidak lazim diartikan secara sama, dan tidak tertarik untuk mencari jawabanya, maka dari itu dalam islam ada sebuah prinsip “bila kaifa” ketika mendapatkan kebuntuan dalam maslah ketuhanan.
Ketiga, prinsip Muqarabah; yaitu suatu penalaran yang berdasarkan kedekatan dan keserupaan, yang kurang memberi peluang pada ilmu lain dalam berkembang, sebagimana Syafi’I membuat metode qiyas sebagai metode yang tidak bisa lepas dari al-asl untuk mendapatkan al-far’u    

Sketsa Epistemology Bayani

STRUKTUR
FUNDAMENTAL
EPISTEMOLOGI BAYANI
Sumber
-    Nash, Teks, Wahyu (Otoritas teks) Al-akbar
-    al-Ijma’
-    al-ilm at-tauqifi
Metode (proses dan Prosedur)
-    Ijtihadiyah
-    Istinbatiyah
-    Istintajiyah
-    Istidlaliyah
-    Qiyas-qiyas (Qiyas al-ghoib ‘ala al-syahid)
Approuch
-    Lughowiyah (bahasa)
-    Dalalah Lughowiyah
Teoritical Framework
-    Al-Asl wal far’u
-    Istinbatiyah
-    Qiyas illah
-    Qiyas dalalah
-    Al-Makna al-Amm/al-Khas/Mustarak, Haqiqah, Majas, Muhkam, Mufassar.
Fungsi dan Peran Akal
-    Akal sebagai pengekang/pengatur hawa nafsu,
-    Taqlidi (pengukuhan kebenaran/otoritas teks).
Type of Argument
-    Dealiktik (jadaliyah); al-Uqul al-muatafisah.
Tolak Ukur Validitas Keilmuan
-    Keserupaan/kedekatan anatara Teks dengan realitas
Prinsip-prinsip Dasar
-    Infishal
-    Tajwis
-    Muqarabah.
Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung
-    Kalam
-    Fikih
-    Nahwu
-    Balaghah.
Hubungan Subjek dan Objek
-    Subjektif (Theistic atau Fideistic Subjectivisme)

2. Irfani
Al-Irfan berasal dari kalimat ‘arafa berarti al-ma’rifah atau al-‘ilm (pengetahuan) atau dalam Lisan Arab (al-Irfan; al-‘ilm, arafahu ya’rifuhu ‘irfatan wa irfanan wa ma’rifatan). Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Istilah ini belum menyebar luas pada kalangan sufi kecuali pada dekade akhir, karena dikalangan sufi pada masa dahulu sebuah ma’rifah dapat diperoleh lantaran indera atau dengan akal, atau dengan keduanya, tetapi kadang juga dengan kasyf. Maka dari itu Dzannun menyebutkan tingaktan ma’rifat menjadi tiga, pertama; ma’rifatu al-tauhid (yang dapat diketahui oleh semua mu’min), kedua; ma’rifatu al-hujjah wa-al bayan (yang dapat diketahui oleh para ahli atau orang-orang pintar, ketiga; ma’rifatu al-sifah al-wahdaniyah (hanya di ketahui oleh ahli wilayatillah al-mukhlisin yang melihat dengan hati).
Qusyairi[10] berpendapat bahwa tingkatan ma’rifah dalam mengartikan kata “yakin” yang diikuti setelahnya kata “haqq, ain, atau ‘ilm”[11], bahwa ilm al-yakin hanya dipakai oleh ahli burhan, sedangkan ain al-yakin dipakai oleh ahli bayan, sedangkan yang terkahir yaitu haqq yakin di capai oleh ahli irfan.[12]
Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian. Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya.
Menurut konsep Irfani, Tuhan di pahami sebagai konsep yang berbeda dengan alam, sehingga tidak mungkin mengetahui tuhan dengan sarana bukti empiris-rasional. Satu-satunya sarana yang dapat digunakan untuk mengetahui hakekat tuhan adalah jiwa (nas), sebab ia merupakan bagian dari tuhan yang terpancar dari alam keabadian dan terpasung ke alam dunia. Ia akan kembali kepada-Nya jika sudah bersih dan terbebas dari keterkungkungan alam dunia.
Maka experience (pengalaman) seseorang di sini sebagi sumber pokok pengetahun konsep ini,  Pengalaman hidup merupakan sumber yang tak ternilai harganya, karna untuk mengetahui Dzat yang Maha Suci dan Maha Segalanya tidak usah menunggu turunya teks tetapi akan hadir dalam jiwa seseorang yang bersih, atau dengan kata lain tanpa harus dibarengi oleh pengungakapan lewat bahasa atau logika.[13]
Adapun pendekatan yang digunakan oleh kalangan ini adalah intuisi, ilham, qalb, dhamir dan sebagainya. Yang pada akhirnya pendekatan semacam ini banyak dikembangkan atau bahkan diinstitusionalisasikan oleh para pengikut tarekat dengan wirid-wirid dan syahdat yang mengiringinya. Para Irfani dalm menggali ilmunya bisanya banyak menggunakan metode dzauqiah, al-riyadhah, al-mujahadah, al-laduniyah atau yang lainya yang merupakan istilah khusus kaum sufi.
Pola pikir kaum Irfani adalah berangkat dari bathin menuju dhahir,  karena bathin menurut mereka adalah hakikat, sedangakan dzahir hanya sebatas pelindung dan penyinar, maka dari itu ketika memaknai al-Qur’an adalah dengan bathin bukan dengan dzahir karena dzahir sifatnya hanya sebagi penguat saja, maka akan muncul sebuah ta’wil Qur’an yang bersumber dari kejernihan jiwa dalam memahami Qur’an sebagai buah pikiran yang disyaratkan oleh Qur’an.
Telah di kenal dalam kalangan sufi istilah sathahat yaitu sebuah ungkapan atau pikiran yang berlawanan yang dirasakan atau ditemukan dalam hati yang secara tidak terduga-duga yang tidak tunduk pada suatu aturan. Maka tidak heran jika seorang sufi kadang merasa menyatu dengan Tuhan yang mereka ungkapkan dengan perkataan dengan menggunakan dlamir ana, huwa, atau anta dalam menyebut kata ganti Tuhan. Seperti Al-Bustomi dengan ungkapanya “maha suci aku”, tau al-Hallaj dengan ungkapanya “saya adalah tuhan yang maha benar”. Disini para sufi mengendahkan kaidah-kaidah rasional atau kaidah yang telah dijelaskan oleh teks.
Dalam rangka menggunakan bathin sebagai tolak ukur utama dalam kalangan Irfani, maka hal ini juga berimbas hingga pada pengistinbathan teks-teks agama yang mereka landasi dengan jiwa atau bathin sebelum merujuk kepada teks, yang akhirnya melahirkan tasfir isyari sebagi buah pikiran mereka, yang kesemua itu berdasarkan pengalaman pribadi yang dihsilkan dari riyadhah atau mujahadah untuk mendapatkan sebuah hakikat dari teks yang ada. Maka munculah sebuah al-i’tibar al-bathin sebagai metodologi berfikir golongan ini, atau disebut qiyas irfani. Sebagai contoh dalam mentafsirkan ayat Qur’an surat al-Rahman ayat 19-22 (marajal bahraini yaltaqiayan, bainahuma barzakhun la yabghiyan, fabiayyi ala i rabbikuma tukadzban, yakhruju minhuma lu’lu’u wal marjan). Menurut kaum sufi Syiah kata bahraini dalam ayat dia atas adalah Ali dan Fatimah, sedangkan barzakh adalah Muhammad, sedangkan lu’lu’ dan marjan   adalah Hasan dan Husain. Disini sufi Syiah membuat Qiyas tentang kedekatan keluarga Rasul dimana dalam qiyas (menurut mereka) bahwa keluarga Rasul itu adalah asal (al-aslu) sedangakan ayat alqur’an adalah cabang (far’u)
Sebagai cacatan penting tentang Irfani bahwa dalam pola pikir mereka yang menghilangkan batas-batas atau sekat-sekat alam untuk menumbuhkan nalar hati dan rasa demi pencapaian hakikat, menimbulakan suatu pemikiran yang universal tentang Tuhan, atau dengan kata lain pola spiritual mereka menjadi plural lintas ras, agama, etnik dan budaya, yang dapat menimbulkan rasa empati, simpati dan serta berpegang teguh pada prinsip universal.
Sketsa Epistemology Irfani
STRUKTUR
FUNDAMENTAL
EPISTEMOLOGI IRFANI
Sumber
-   Experince
-   Ar-Ru’yah al-Mubasyirah
-   Preverbal
Metode (proses dan Prosedur)
-   Al-Dzauqiyah,
-   Al-Riyadhah; al-Mujadalah, al-Kasyfiyah, al-Istisyraqiyah,
-   al-laduniyah; penghayatan bathin.
Approuch
-   Intuitif; Dzauq,
-   Al-laduniyah
Teoritical Framework
-   Dzahir-Bathin
-   Tanzil-Ta`wil
-   Nubuwwah-Wilayah
-   Haqiqi-Majazi
Fungsi dan Peran Akal
-   Partisipatif
-   Al-Hads wa Al-Wijdan
-   Bila washitoh; bila hijab
Type of Argument
-   ‘Athifiyah-Wijdaniyah
-   Spirituality
Tolak Ukur Validitas Keilmuan
-   Universal Resiprocity
-   Empati
-   Simpati
-   Understanding others
Prinsip-prinsip Dasar
-   Al-Ma’rifah
-   Al-Ittihad / Al-Fana`
-   Al-Hulul
Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung
-   Al-Mutaswwifin
-   Ashab al-Irfan
-   Hermes/’Arifun
Hubungan Subjek dan Objek
-   Intersubjektif
-   Wihdat al-Wujud
-   Ittihad al-Arif wal al-Ma’ruf

3. Burhani
Dalam bahasa Arab al-burhan berarti argumen yang jelas (al-hujjah al fashilah al bayyinah). Bahasa latinnya berarti demonstration yang berarti al-isyarah (isyarat/tanda), al-washf (sifat), al-bayan (penjelasan), al-idzhar (menampakan). Secara umum ia berarti pembuktian untuk membenarkan sesuatu. Dilihat dari arti bahasanya dapat dipahami bahwasannya sistem pengetahuan burhani adalah sebuah sistem pengetahuan yang berdasarkan akal semata tanpa bersandar pada teks suci. Sumber pengetahuannya adalah realitas (alwaqi’), baik alam, sosial humanitas atau keagamaan. Peran akal sangat dominan dan menentukan karena fungsinya selalu diarahkan untuk mencari sebab akibat atau melakukan analisis dan menguji terus menerus kesimpulan sementara dan teori yang dirumuskan melalui premis logika-logika keilmuan.
Maka jika kita telah paham tentang pembahasan sebelumnya yaitu bayani yang mana merujuk kepada teks itu adalah hal yang mesti dilakukan dalam pengambilan sebuah hukum, maka berbeda denagn teori Burhani yang mana peran akal sangat penting, dimana sebuah ilmu tidak bisa dibenarkan jika tidak melalui proses ujicoba secara logis dan nalar akal yang objektif.
Dalam memandang proses keilmuan, metode ini menempatkan “makna” sebagai suatu yang otorotatif, sedangkan “bahasa” sebagai penegasan atau ekspresinya saja. Hal ini nenurut Jabiri sejalan dengan pemikiran al-Farabi yang menjelaskan makna lebih dahulu datangnya daripada kata,  Maka dari sini dapat di ambil kesimpulan bahwa nalar burhan bermula dari proses abtraksi akal sehingga memunculkan makna, sedangkan makna sendiri butuh aktualisai agar dapat dimengerti dan pahami yang memerlukan sebuah kata-kata.
Dalam burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada.[14]




Sketsa Epistemology Burhani
STRUKTUR
FUNDAMENTAL
EPISTEMOLOGI BURHANI

Sumber
-   Realitas/al-Waqi’ (alam, social, Humanitas)
-   Al-‘Ilm al-Husuli
Metode (proses dan Prosedur)
-   Abstraksi (al-maujudah al-bari’ah min al-maddah)
-   Bahtsiyyah, Tahliliyah, Tarkibiyah, Naqdiyah
Approuch
-   Filosofik
-   Saintifik
Teoritical Framework
-   Tashawwur-Attasdiq; al-Hadd
-   Al-Burhan
-   Premis-Premis Logika
-   Silogisme
-   Kullu-Juz’I; Jauhar-‘Ardl
Fungsi dan Peran Akal
-   Heuristik
-    Analistik
-   Kritis
Type of Argument
-   Idraku sabab wa al-musabbab
-   Al-‘Aql al-kauni
-   Demonstratif (Eksploratif; Verifikatif; Eksplanatif)
Tolak Ukur Validitas Keilmuan
-   Korespondensi (hubungan akal dengan realita)
-   Koherensi (Konsistensi Logik)
-   Pragmatik (Falibility of  knowledge)
Prinsip-prinsip Dasar
-   Idrak as-Sabab
-   Al-Hatmiyyah
-   Al-Mutabaqah baina al-‘aql wa nidham al-tabiah.
Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung
-   Falasifah
-   Ilmuwan (Alam, Sosial, Humanitas)
Hubungan Subjek dan Objek
-   Objektive (an-Nadrah al-Maudhiyah)
-   Objecktive Rasionalism (terpisah antara subjek dan objek)

D.  Cacatan epistemologi Islam bagi al-Jabiri

  1. Dalam rangka menyatakan kemandekan pemikiran Islam saat ini, menurutnya bahwa sejarah kita hari ini adalah sejarah masa lalu, sehingga solusi yang di tawarkanpun hanya solusi masa lalu, padahal, problema yang kita hadapi hari ini secara subsuntial sudah berubah dari problema masyarakat lalu.
  2. Intuisi memegang peran penting dalam menggapai kebenaran dan memperoleh ilmu. Akal pada saat ini (dengan sistem yang terkekang) menjadi pensiun (al-‘aql al-mustaqil)
  3. Tipologi sistem yang ia inginkan tidak harus hanya berpegang pada teks semata, juga tidak pada intuisi, tapi juga pada metode akalnya Ibn rushd dan eksperimen-nya Ibn Khaldun. karena inilah yang membuat barat maju seperti sekarang ini.

E.  Kritik terhadap pemikiran al-Jabiri

1.                  Untuk membuktikan dan mempertahanakan rasionalitas mazhab ala Arab Maghribi, dimana dia menjadi bagian daripadanya, Jabiri sering melakukan pemilahan atas turats-turats yang hanya mendukung pendapatnya saja. Misalnya dia hanya berpegang kepada empat buku teks dari Syiah untuk membuktikan keterpengaruhan dengan budaya asing pemikiran ini. Sementara untuk membuktikan hal yang sama dari kelompok sunni dia hanya memilih yang punya kecendrungan salafi ash’ariyyah seperti Maqalat Islamiyyin-nya Imam al-Ash’ari, al-Farq bayn Firaq-nya ‘Abdul Qahar, Mihayah al-Aqdam-nya Shahrastani, al-Masail fi al-Khilaf bayn al-Basriyyin wa al-Baghdadiyin-nya Ibn Rushd al-Naysaburi, dan al-Fatawa-nya Ibn Taimiyyah.
2.                  Apa yang lebih fatal lagi adalah bahwa Jabiri disebut Tarabisi[15], telah melakukan praktik plagiat,  karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya,  meskipun secara jelas ide itu berasal dari orang lain. Jabiri, kata Tarabisi, sering memplintir tulisan orang lain -- secara sadar atau tidak --  sesuai dengan keinginannya. Kajiannya tidak orisinil. Oleh sebab inilah, banyak penulis seperti ‘Ali Harb yang menilai bahwa kajian turats Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab centrism.[16]
3.                  Jabiri berkesimpulan bahwa fondasi dasar Akal Arab itu bukan bermula pada periode Rasulullah dan zaman khalifah al-Rashidun, tapi pada masa-masa selanjutnya. Dan Jabiri percaya sekali bahwa filsafat didunia Islam hanya untuk tujuan politik sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan[17]
4.                  Menurut Jabiri,  setiap konstruk epistemologi adalah berdiri sendiri dan menghasilkan ilmu spesifik pula. Epistemologi Bayani, misalnya, telah menghasilkan fiqh, usul fiqh, tafsir, dan kalam, sementara Irfani melahirkan tasawwuf, dan Burhani menelurkan filsafat. Dengan pola pikir seperti itu, sebenarnya Jabiri telah bersikap parsial (tajzi’iyyah), padahal dia menyatakan, bahwa Fiqh, Ushul Fiqh, Tafsir, Nahwu, Balaghah adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Artinya,  seorang ahli fiqh bisa berpikir dalam kerangka bayani, irfani, dan burhani.
5.                  Prof. Nuruddin al-Ghadir pada prinsipnya kajian-kajiannya dalam turats bukan untuk merekonstruksi turats, tapi malah menghancurkannya.








BAB III

PENUTUP

Setelah belajar banyak dari pemikiran al-Jabiri baik dari segi positif yang menjadikan kita sadar akan ketertinggalan pemikiran kita jika dibandingkan dengan perkembangan pemikiran barat, atau dari segi negatifnya yang akhirnya berimbas dari banyaknya kritik padanya yang seakan ia hanya ingin melegalkan pemikiranya dengan mejadikan teks-teks turast sebagai landasanya secara pilah-pilih.
Tetapi setidaknya kita lebih mengenal serta memahami pola pikir masyarakat muslim saat ini yang beragam dalam sebagai kelanjutan pemikiran masa lalu dalam memahami agama, dimana terkadang kita melihat seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhanya dengan berbagai macam pendekatan, yang nantinya kita bisa lebih bersikap arif dalam bersikap, dan lebih lues dalam menyikapinya, karena kita telah paham jalan dan pola pikir mereka, sehingga untuk memberikan nasihat dan masukan padanya jika ada yang janggal lebih mengena.
Dari secercah pemikiran yang dirasa kontrofersial oleh sebagian ulama ini semoga bisa memberikan siraman segar bagi bibit-bibit pemikiran islam yang lebih baik.

Wallahu a’lam bisshowab













DAFTAR PUSTAKA

Murtadha Muthahhari, Mengenal epistemologi, penerjemah; Muhammad Jawad Bafaqih, Lentera Basritama, Jakarta, thn. 1989
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005
Abid al-Jabiri, Bunyah al-aql al-arabi, Markaz Dirasat Wihdah Arabiyah,  Beirut. thn 2009
Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta, 2008
http://numesir.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8:george-tharabisyi-kritikus-ulung-kritik-nalar-arab-al-jabiri&catid=8:tokoh&Itemid=7
http://www.ahlolbayt.net/old/fekr/003.htm
http://www.eiiit.org/resources/eiiit/eiiit/eiiit_article_read.asp?articleID=575&catID=26&adad=33
         http://www.marefa.org/index.php/محمد_عابد_الجابري





[1] Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar,(Jakarta : Rineka Cipta,2008),hlm. 138
[2] http://www.eiiit.org/resources/eiiit/eiiit/eiiit_article_read.asp?articleID=575&catID=26&adad=33
[3]   http://www.ahlolbayt.net/old/fekr/003.htm         
[4]    Murtadha Muthahhari, Mengenal epistemologi, penerjemah; Muhammad Jawad Bafaqih, Lentera Basritama, Jakarta, 1989, hal 24
[5] http://www.marefa.org/index.php/محمد_عابد_الجابري
[6]  Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005, Hal 163
[7] Abid al-Jabiri, Bunyah al-aql al-arabi, Markaz Dirasat Dihdah Arabiyah,  Beirut. thn 2009, Hal. 16-20
[8] Untuk menetapkan makna perlu ditetapkan syarat-syarat dalam mengambil kesimpulan; 1) bayan dengan mensyaratkan kefasihan ucapan sebagai penentu makna; 2) bayan sebagai seleksi huruf dan lafadz; 3) bayan dengan makna terbuka, dalam hal makna dapat diungkapkan dari salah satu lima bentuk penjelasan, yaitu lafadz, isyarat, tulisan, keyakinan, dan keadaan. 4) bayan dengan syarat keindahan. 
[9] Jabiri, Ibid, hal 239-248
[10] Abdul Karim bin Hawazan al-Qusyairi
[11] seperti pada ayat (inna hadza lahuwal haqqu al-yakin; QS:Waqiah 95) yang selanjutnya kata “yakin” diikuti oleh kata “’ilm” seperti dalam ayat (kalla lau ta’lamuna ‘ilma al-yakin; QS: at-Takatsur 5). Sealajutnya kata “yakin” diikuti oleh kata “ain” seperti dalam ayat (tsumma latarawunnaha ainal yakin; QS; at-Takatsur 6).
[12] Abied al-Jabiri, op.cit. hal.251-252
[13] Mohammad Muslih, op.cit,  hal 180-181
[14]  Mohammad Muslih, Ibid, hal 190-195
[15] George Tharabisyi adalah seorang pemikir, penulis, penerjemah, dan sekaligus kritikus ternama dalam cakrawala pemikiran Arab-Islam kontemporer. Dilahirkan di sebuah keluarga Kristen di Syiria pada tahun 1939 dan tumbuh dewasa di Lebanon, Syiria. Sertifikat dalam Bahasa Arab ia peroleh dari Universitas Damaskus. Dalam perjalanan hidupnya, selaian pernah menjabat sebagai direktur di salah satu stasiun radio di Damaskus (1963-1964), ia juga pernah menjabat sebagai ketua majalah Dirâsât ‘Arabiyah di Lebanon. Tapi karena di sana perang saudara meletus kala itu, ia pun meninggalkan Lebanon dan memutuskan untuk menetap di Prancis. Di sanalah George Tharabisyi tetap eksis dan produktif menelurkan karya-karya ilmiahnya. Selain produktif mengkritik kritik nalar Arab al-Jabiri, ia juga banyak menerjemahkan buku-buku berkualitas.
[16]http://numesir.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8:george-tharabisyi-kritikus-ulung-kritik-nalar-arab-al-jabiri&catid=8:tokoh&Itemid=7
[17] Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas (seorang cendekiawan dan filsuf muslim dari Malaysia) bahwa kedatangan al-Qur’an merupakan sebuah revolusi besar-besaran dalam pemikiran masyarakat ketika itu. Ia bukan saja merubah sistem dan struktur masyarakat Jahiliyyah tapi yang terpenting adalah mentransformasikan worldview yang dianut ketika itu, dari yang bersifat wordly oriented kepada divinely oriented. Proses inilah yang disebut al-Attas sebagai Islamisasi.