Jumat, 11 Maret 2016

Dilalah Nash

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Fiqh Islami sebagai ilmu yang mempunyai kelebihan dari segi landasan atau pijakan dalam mengambil sebuah hukum, luasnya sumber hukum, memerlukan kepada kaidah umum dalam memahaminya, yang sesuai dengan akal sehat sehingga memunculakan sebuah produk hukum yang tepat.[1]
Dalam hal ini ushul fiqh sebagai dasar pengambilan sebuah hukum islam, yang mana mempelajari hukum islam secara menyeluruh, di mulai dari pembahasan pengertian hukum, sumber-sumber hukum, cara pengambilan hukum, pertentangan dan solusi dalam perbedaan pandangan tentang pengambilan sebuah hukum dari sumbern hukum.
Pembahasan yang pertama mengenai pengambilan hukum adalah bagaimana mengambil makna dari sebuah lafadz. Dimana lafadz yang terdapat pada al-Qur`an tidak semua dapat dipahami apa adanya, dan harus mengetahui bagaiman cara istidlal dari ayat tersebut. Pentingnya belajar cara istidlal dari lafadz ini dikarenakan Allah tidak mungkin menurunkan teks al-Qur’an dengan sia-sia yang tidak bisa dipahami, atau dalam kitab al-mahshul disebutkan bahwa Allah tidak mungkin berkata sesuatu yang tidak bermakna.[2] Maka memahami bahasa melalui pemahan lafadz untuk menuju kepada suatu hukum adalah sangat penting.
Pembahasan kita saat ini adalah merupakan bahasan ke-empat dari bagian pembahasan tentang lafadz. Dimana satu pembahasan tidak lepas dengan pemahaman lain. Karena dalam satu ayat terdapat beberapa lafadz dan dapat di uraikan kepada beberapa kelompok pembagian lafadz. Sebagai contoh:
فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
Dimana dalam ayat ini “mâ” adalah lafadz âmm, sedangkan lafadz “matsna wa tsulatsa wa ruba’” dalah lafadz khas. Dan juga lafadz “fankihu” adalah termasuk ‘amr yang berfungsi ibahah. Dari segi dhahir makna adalah pembolehan menikah, dari segi nash adalah pembolehan nikah poligami. Dan dari segi mafhum mukholafah dapat dipahami bahwa nikah dengan istri lebih dari empat tidak boleh.
Maka pembahasan lafadz dalam ushul fiqh sangat penting, karena berpengaruh kepada perbedaan hasil hukum yang berbeda. Sebagai contoh dalam pembahasan kita kali ini adalah pembagian lafadz menurut bagaimana lafadz tersebut menunjukan makna. Dimana terdapat perbedaan pendapat antara Hanafiah dan Jumhur Mutakallimin yang di motori oleh Syafi’i. Dalam hal ini Hanafiah membagi dilalah lafadz menjadi empat (ibarah nash, isyarah nash, dilalah nash dan iqtida` nash) sedangkan Jumhur membagi menjadi dua (mantuq dan mafhum). Perbedaan ini sebagian menganggap hanya khilaf lafdzi yang tidak berpengaruh dalam hukum dan ada juga yang menganggap ini adalah khilaf maknawi yang sangat prinsipil dalam pembahasan ushul fiqh.[3]

B.            Rumusan Masalah
Dari pemaparan diatas maka kiranya perlu dibahas dalam hal ini beberapa pembahasan dalam pembagian dilalah lafadz:
  1. Pembagian dilalah lafadz dari segi bagaimana penggunaanya dalam mencapai sebuah makna, baik menurut Hanafiyah atau Jumhur.
  2. Penjelasan tentang pembagian Hanafiyah dan Jumhur atas dilalah lafadz serta kehujjahan dari setiap bagian.
  3. Historical Beground Syafi’i dan Hanafi dalam menentukan hukum
  4. Titik temu pemikiran Hanafiyah dan Jumhur dalam beberapa sub-bagian dari pembahasan ini.
  5. Contoh pemakaian kaidah ushul fiqh dalam permasalahan kontemporer sebagai terapan dari materi yang ada. 


BAB I
PEMBAHASAN
Turuqu dilâlah al-alfâdz (metode penunjukan makna lafadz)

A.      Pengertian Dilalah
Arti dilalah (الدلالة)  secara umum adalah “memahami sesuatu atas sesuatu”.[4] Dalam kitabnya Wahbah Zuhaili mengutip dari Isnawi juga mendefinikan dilalah sebagai berikut: مَعْنَى عَارِضٌ بِالقِيَاسِ إِلَى غَيْرِهِ “makna yang muncul dengan cara mengkiaskan kepada yang lain”[5]. Maka dapat dipahami  bahwa memahami sesuatu mengharuskan memahami sesuatu.
Kata sesuatu yang pertama adalah madlûl (yang di tunjuk), dan dalam hubungnya dengan hukum yang di sebut madlul itu adalah hukum itu sendiri. Sedangkan kata “sesuatu” yang kedua adalah dalîl (yang menjadi petunjuk), dan dalam hubungnya dengan hukum yang disebut dalil disini adalah dalîl hukum.
Dalam sebuah kalimat “asap menunjukan api”, maka kata api disebut sebagai madlul sedangkan “asap” yang menunjukan adanya api adalah dalil.
Pembahasan tentang dilalah ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berfikir. Untuk memahami sesuatu tidak harus melihat atau mengamati sesuatu itu sendiri secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berfikir menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berfikir secara dilalah.
Para Ulama membagi dilalah menjadi dilalah wadh’iyah (sesuai makna  pertamanya yang dikehendaki) dan dilalah ‘aqliyah (sesuai makna yang relevan menurut akal), dan dilalah wadh’iyah dibagi menjadi dua; dilalah lafdziyah dan dilalah ghairu lafdziyah.[6] Hal ini sebagai berikut:
  1. Dilalah lafdziyah (الدِلَالَة اللَّفْظِيّة) yaitu dilâlah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafadz, suara atau kata.
Penunjukan lafadz, suara atau kata kepada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a.       Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjukan kepad maksud tertentu yang dapat dimengerti oleh setiap orang di seluruh alam ini. Contoh; suara rintihan yang menunjukan orang yang sedang kesakitan.
b.      Melalui akal. Contohnya suara kendaraan didepan rumah, dapat dicerna secara akal bahwa banyak kendaraan yang lewat didepan rumah.
c.       Melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu. Atau di sebut sebagai “dilalah lafdziyyah wadh’iyyah” (الدِلَالَة اللَفْظِيَة الوَضْعِيّة) Sebagai contoh jika kita mengatakan “binatang yang mengeong” dapat dipahami bahwa itu adalah kucing.
Dilalah yang ketiga ini yang paling banyak di bicarakan dalam ushul fiqh. Para ahli membagi dilalah lafdziyyah wadh’iyyah menjadi tiga: muthôbiqiyyah, tadhâmuniyah, Iltizâmiyah.
  1. Dilalah ghairu lafdziyah (الدِلَالَة غَيْرُ لَفْظِيّة)
Yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk  suara, bukan lafadz, dan bukan pula dalam kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuara” dapat pula memberikan petunjuk atas sesuatu. Seperti raut muka seseorang yang bisa di pahami akan adanya sesuatu. Dan hal ini dapat di pahami melalui tiga hal; pertama, melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh banyak orang. Kedua, Melalui akal. Ketiga, melaui kebiasaan dalam menggunkan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu.[7]
Bentuk dilalah yang luas penggunaanya adalah dilalah lafdziyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Sedangkan dilalah ghairu lafdziyah sedikit penggunaanya karena masih menjadi perdebatan diantara apara ulama’ Ushul Fiqh. Berikut ini pembagian dilalah menurut Ulama’ Hanafiyah dan Syafi’iyah.
B.            Pembagian Hanafiah atas metode dilalah (penunjukan) lafadz;
Hanafiah membagi metode pengertian lafadz atas sebuah makna di bagi menjadi empat macam; Ibarah Nash, Isyarah Nash, Dalalah Nash, dan Iqtida’u nash.
Yang dimaksud dengan nash disini adalah, lafadz yang dipahami darinya makna, baik secara dzahir, nash, mufassar atau muhkam.
  1. Dilalah Ibarah  (دلالة العبارة)atau Ibarah Nash (عبارة النص)
Menurut Abu Zahrah Dilalah Ibarah adalah:
المَعْنَى المَفْهُومُ مِنَ اللفْظِ سَوَاءٌ كَانَ نَصّا أَو ظَاهِرًا
“makna yang dapat di pahami dari apa yang disebut dalam lafadz, baik dalam bentuk nash maupun dzahir”
Penulis kitab at-Tahrir mendefinisikan sebagai berikut:[8]
(دلالته) أي اللفظ (على المعنى) حال كونه مقصودا أصليا ولو لازما وهو المعترعندهم فى النص أو غيرِ أصليِّ
“Penunjukan lafadz atas makna dalam keadaan sesuai dengan yang di maksud secara asli, meskipun dalam bentuk lazim (lafadz inilah yang diperhitungkan oleh ulama ushul dalam nash) atau bukan dalam bentuk asli”
Dalam bukunya Wahbah Zuhaili mendefinisikan Ibarah nash sebagai berikut:
دلالة الكلام على المعنى المقصود منه إما إصالة أو تبعا
penunjukan perkataan (kalam) atas makna yang dimaksud darinya baik secara asli (isolah) maupun pengikut (taba’).
Hal ini karena pada dasarnya kalimat itu dapat dipahami langsung atau yang di sebut isolah dan ada juga yang dipahami secara mengikut (taba’) atau tidak secara asli, dalam bukunya Amir Syarifuddin menjelaskan juga bahwa makna isolah bisa juga di sebut sebagai nash dan makna taba’ disebut juga dzohir.  Baik yang asli maupun tidak ini yang di namakan ibarah nash.
Sebagai contohnya: firman Allah SWT " وَأَحَلّ اللهُ البَيْعَ وَحَرّمَ الرِّبَا "  menunjukkan dengan lafadznya dan ibarahnya atas dua makna: pertama; pembedaan antara riba dan jualbeli, kedua; pengharaman riba dan penghalan jualbeli. Dua makna itu terkandung dari perantara ucapan (siyaq kalam) dalam ayat tersebut, dimana makna awal itu makna asli karena sebagai jawaban atas ayat sebelumnya " إِنّمَا البَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا "  dan makna kedua adalah makna pengikut untuk mencapai makna yang dimaksud dari makna asli.
Sebagai contoh lain juga  " فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَى وَرُبَاعَ " dimana ayat ini mempunyai dua makna, pertama; pembolehan nikah, kedua; pembatasan jumlah istri sebanyak 4 orang maksimal. Dimana arti yang pertama (kebolehan untuk nikah) adalah pengikut, dan makna yang kedua adalah makna asli karena sebagai jawaban atas ayat sebelumnya yang mana poligami sebagai jawaban atas orang yang medapatkan wasiat atas anak yatim dan takut akan mendzolimi mereka dan memakan harta mereka.
Pengertian dengan jalan Ibarah nash menunjukkan hukum secara pasti (qath’i) jika tanpa ada penghalang (‘awarid) luar yang mempengaruhi terhadap ayat, dan jika terdapat takhsis maka ayat tersebut akan menunjukan makna dhanni bukan pasti (qath’i).
  1. Dilalah Isyarah (دلالة الإشارة) atau Isyarah Nash (إشارة النص)
Menurut Abu Zuhrah :
مايدل عليه اللفظ بغير عبارة
“apa yang ditunjukan oleh lafadz bukan melalui ibaratnya”
Menurut Ulama Hanafi dalam at-Tahrir memberikan definisi sebgai berikut:
(دلالته) أي اللفظ على مالم يَقصُدْ به أصلا
“Lafadz yang dilalahnya terhadap sesuatu  tidak dimaksud untuk itu menurut asalnya”
Dalam bukunya Wahbah Zuhaili mendefiniskan sebagai:[9]
دلالة الكلام على معنى غير مقصود إصالة ولا تبعا, ولكنه لازم للمعنى الذي سيق الكلام لإفادته
Penunjukan sebuah perkataan terhadap makna yang dimaksud darinya tidak secara asli (isolah) maupun pengikut (taba’), tetapi makna itu lazim untuk makna yang dipahami dari siyaq kalam untuk makna yang dinginkan.
Dimana perbedaanya dengan dalalah ibarah adalah bahwa dalalah ibarah dapat mendapatkan makna langsung dari siyaq kalam dalam ayat tetapi isyarah nash tidak nampak dalam siyaq kalam tetapi lazim muncul dari perkataan (kalam) tersebut, dan dalalah isyarah nash bisa jadi jelas (dhohir) yang dapat dipahami dengan sedikit perenungan dan ada juga tersembunyi (khafy) yang membutuhkan perenungan lebih dalam.
Setiap lafadz menurut ibarat nash nya memberikan petunjuk kepada maksud tertentu sesuai dengan apa yang dituju oleh lafadz itu. Para Ulama’ ushul dapat menangkap lafadz yang demikian untuk memberi petunjuk kepada makna lain. Terkadang makna tersebut dapat memberikan lebih dari satu makna yang ditunjukan oleh ibaratnya.
Sebagai contoh;
وَعَلَى المَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالمَعْرُوْفِ
Ibarat lafadz dalam ayat ini menunjukan keawjiban ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian untuk istrinya atau jandanya pada masa iddah. Tetapi dalam ayat ini jika di perhatikan secara mendalam bahwa kata " المَوْلُوْدُ لَهُ " yang berarti ayah bukan menggunakan kata " أَبٌ " tentunya mempunyai makna yang terkandung di dalamnya, maka para ulama dapat menyimpulkan bahwa kalimat tersebut terdiri dari dua kata yaitu " المَوْلُوْدُ " yang berarti anak dan kata " لَهُ " yang berarti kepunyaanya (ayah), maka dapat di simpulkan bahwa anak adalah kepemilikan ayah, atau dapat di ambil kesimpulan bahwa anak akan dinisbatkan nasabnya kepada ayah dengan memahami ayat ini. Maka jelas di sini penunjukan makna penisbatan nasab kepada ayah bukan langsung dari nafadz tetapi butuh melakukan perenungan sedikit terhadap ayat tersebut sehingga mendapatkan makna lain dari makna yang langsung dari ayat tersebut.
Tetapi jika terjadi pertentangan antara dilalah ibarah dan dilalah isyarah, maka lebih di dahulukan hukum yang menggunakan ibarah daripada hukum yang ditetapkan dengan isyarah, memkipun keduanya berlandaskan nash. Maka juga bisa di sebut bahwa isyarah layaknya kinayah( كناية)  dari sebuah tashrish  (تصريح)atau musykil (مشكل) dari wadhih (واضح)
Sebagai contoh: dalam ayat Qisas (QS: Al-Baqarah 178)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita[10].
Dan kaitanya dengan ayat 93 Surah An-Nisa`
`tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkŽÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJŠÏàtã    
Artinya: Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Bahwa nash pertama dengan dilalah ibarah yang jelas menunjukan atas wajibnya qisas bagi pembunuh yang sengaja, dan nash yang kedua bahwa dengan dilalah isyarah bahwa tidak diwajibkan qisas atasnya, yaitu dengan siksa yang kekal di akhirat, dan balasanya adalah di akhirat, maka dapat dipahami bahwa tidak ada lagi balasan baginya di dunia. Maka dalam hal ini harus didahulukan yang dilalah ibarah dari pada dilalah isyarah.
Dilalah isyarah seperti dilalah ibarah yang menunjukan hukum qath’i  kecuali ada yang menghalangi dari makna yang qath’i kepada yang dzanni, seperti dengan ijma’ ulama’ pada penetapan status anak dalam hal budak atau merdeka yang mengikuti ibu yang bertentangan dengan ibarah nash yang menunjukan bahwa anak adalah mengikuti ayah dalam nasab  " وَعَلَى المَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالمَعْرُوْفِ "
  1. Dilalah dilalah(دلالة الدلالة)  atau dilalah nash     (دلالة النص)    
Menurut Abu Zuhrah:
 دلالة اللفظ على ثبوت حكم ماذكر لما سُكِتَ عنه لفهم المناط بمجرد فهم اللغة
“Dilalah lafadz yang disebutkan dalam penetapan hukum yang disebutkan atas apa yang tersembunyi dari hukum tersebut untuk memahami maksud isi hukum berdasarkan pemahaman dari segi bahasa”
Dalam bukunya Wahbah Zuahaili mendefinisikan sebagai:
دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه, للا شتراكهما فى علة الحكم التي يمكن فهمها عن طريق اللغة, من غير حاجة إلي الإجتهاد الشرعي
Penunjukan lafdz atas ketetapan hukum yang terucap untuk yang tidak terucap atas lafadz tersebut, karena ada keserasian dalam alasan hukum yang memungkinkan pemahamanya dari segi bahasa tanpa membutuhkan kepada ijtihad syar’i.
Dalam hal ini baik hukum yang tidak nampak (المسكوت) tersebut sama (مساوى) dengan yang manshush ataupun lebih tinggi (أولى) dalam hukumnya.
Dalam hal ini menurut Syafi’i disebut sebagai qiyas jaly, atau disebut juga sebagai mafhum muwafaqah.
Contoh dari yang lebih tinggi hukumnya (أولى) :
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا
Dalam ayat ini menjelaskan akan larangan berkata “ah” pada orangtua, karena didalamnya menyakiti kedua orang tua. Dengan jalan dalalah nash dapat dipahami juga bahwa mengumpat, mengurung, tidak memberinya makanan juga termasuk dalam tersebut, karena perbuatan tersebut lebih menyakitkan daripada hanya berkata “ah”. Hal ini di karenakan kesamaan alasan pelarangan perbuatan tersebut.
Perbedaan antara Hanafi dan Syafi’i dala hal tersebut bahwa hukum tersebut tetap dengan nash, karena pengethuan akan alasan pelaranganya langsung dari nash yang setiap orang yang paham akan bahasa akan memahaminya. Tetapi menurut Syafi’i, bahwa hukum tersebut diketahui melalui ijtihad dan qiyas, bukan langsung dipahami dari nash mengunakan kemampuan bahasa saja. Dan untuk diketahui bahwa qiyas adalah dilakukan bagi hukum yang tidak ada nash langsung dari al-Qur’an atau Sunnah.
Contoh dilalah nash musawi:
إِنّ الذِ يْنَ يَأكُلُوْنَ أَمْوَالَ اليَتَامَى ظُلْمًا إِنّمَا يَأكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Ayat ini menunjukan dengan Ibarahnya tentang keharaman memakan harta anak yatim secara dzalim, dipahami juga secara dilalah nash bahwa menghancurkan, membakar, menyianyiakan harta anak yatim, adalah sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, karena didalamnya juga ada penghilangan harta anak yatim yang dapat dipahami secara bahasa.      
  1. Dilalah Iqtidha’ (دلالة الإقتضاء)  atau Iqtidha’ Nash (إقتضاء النص)
Abu Zahrah memberikan definisi sebagai berikut:
دلالة اللفظ على كل أمر لا يستقيم المعنى إلا بتقديره
“Penunjuka lafadz kepada setiap sesuatu yang tidak selaras artinya kecuali dengan perkiraanya (taqdîrihi)”
Menurut Wahbah Zuhaili dalam bukunya menyebutkan:
دلالة الكلام على مسكوت عنه, يتوقف صدق الكلام أو صحته شرعا على تقديره
“Petunjuk perkataan atas yang terdiamkan olehnya (al-maskut ‘anhu), bergantung pada kejujuran perkataan atau kebenarannya secara syar’i atas perkiraanya (taqdîrihi)”
Dalam hal ini bahwa sighoh nash tidak menunjukan atas hukum tersebut, tetapi dengan kejujuran dan kebenaran akal dan syara’ membenarkan akan hukum tersebut dengan jalan perkiraan atasnya. Ini yang di namakan dengan dilalah iqtidha’ yang berarti al-istid’a` (memanggil) dan tholab (permintaan). Maka makna yang menunjukan kepada sebuah hukum yang terkandung dalam ungkapan (ayat) tersebut memamnggil dan meminta akan kejujuran dan kebenaran dari sebuah ungkapan tersebut.
Perkiraan (taqdîr) dapat dibagi menjadi tiga:
  1. Sesuatu yang wajib di-taqdîr-kan (diperkirakan) karena kebenaran (sidq) perkataan, seperti firman Allah;
" رُفِعَ عَنْ أُمّتِى الخَطَأ وَالنِسْيَانُ وَمَاسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ "
Dengan makna ibarahnya dipahami dimaafkan perbuatan yang terjadi karena kesalahan atau kelupaan atau dalam keadaan pemaksaan setelah terjadinya. Tetapi ini berlawanan dengan fakta dalam umat, karena mengharapkan akan adanya makna perkiraan dari perkataan tadi yaitu memaafkan dosa atau hukumnya agar dapat sesuai dengan fakta kenyataan. Jadi dapat di pahami bahwa dimaafkan dosa dari kesalahan dan kelupaan dan pemaksaan dalam berbuat keharaman.
Contoh lain: “innama al-a’mal bin niyyat” dimana selanjutnya akan bermakna sesungguhnya ‘pahala’ sebuah pekerjaan tergantung dengan niat.
  1. Sesuatu yang wajib di-taqdîr-kan (diperkirakan) karena ke-shohihan (sah) perkataan secara akal. Seperti firman Allah;
" وَاسْئَلِ القَرْيَةَ التِي كُنّا فِيْهَا "
            Dalam ayat ini akal tidak akan menerima jika diartikan secara langsung untuk bertanya kepada desa. tetapi yang dimaksud dalam ayat secara akal adalah bertanya kepada penduduk desa tersebut, karena akal akan berlawanan jika di artikan dengan bertanya kepada desa dan sesuatu yang mustahil, maka diperlukan perkiraan makna yang tepat bagi ayat tersebut.
  1. Sesuatu yang wajib di-taqdîr-kan (diperkirakan) bagi ke-shohihan (sah) sebuah perkataan secara syar’i. Sebagaimana firman Allah:
فَاتّبَاعٌ بِالمَعْرُوْفِ وَأدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَان
Artinya: maka ikutilah apa yang patut dan bayarkanlah kepadanya secara baik
Ayat ini ada hubunganya dengan ayat sebelumnya:
وَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ
Artinya: barangsiapa yang di maafkan baginya dari saudara sesuatu
Dimana dalam ayat tersebut tidak dinyatakan apa yang harus diberikan secara patut bagi yang telah dimaafkan oleh saudaranya atas sesuatu. Sedangkan ayat sebelumnya adalah menjelaskan kewajiban sebuah qisas. Maka untuk sahnya ayat tersebut haruslah dimunculkan sebuah kata, dalam hal ini adalah diyat. Maka ayat tersebut akan berarti sebagai berikut: “orang yang diberi maaf kepadanya atas pelaksanaan sesuatu (qisas) maka ikutilah yang demikian secara patut dan berikanlah diyat kepadanya secara baik”.
Di tinjau dari segi bentuk yang harus di-taqdîr-kan (diperkirakan) untuk kebenaran atau kesahan suatu lafadz secara syar’i (hukum) dibagi menjadi dua:
  1. Yang ditaqdirkan itu adalah sebuah kata. Seperti kata ‘sah’ yang harus di munculkan dalam sabda Rasul berikut:
لَاصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ
Artinya: tiadalah sholat bagi orang yang tidak membaca surat al-fatihah dalam sholat
Secara bahasa diartikan “tiadalah sholat”, tetapi hal ini adalah mustahil untuk meniadakan sholat yang telah terlaksana, maka harus dimunculkan kata ‘sah’ dalam hal ini, sehingga hadits tersebut dapat berarti; tiada sah sholat seseorang yang tidak membaca al-fatihah dala sholat.
  1. Yang ditaqdirkan itu adalah suatu peristiwa hukum. Sebagai contoh si A mengatakan kepada si B, “wakafkanlah kebunmu itu kepadaku dengan bayaran 10 juta rupiah”. Jika dipahami bahwa yang mewakafkan adalah B maka pahala akan menjadi milik si B bukan milik si A, meskipun yang menyuruh adalah si A, akan tetapi jika si A ingin mendapatkan pahala dari waqaf tersebut haruslah di artikan dengan “jualah kebun itu kepadaku dengan harga 10juta, kemudian wakafkanlah atas namaku”. Dan si B menjawab “saya jual kebun saya kepada si A seharga 10juta dan saya mewakafkan kebun itu untuk dan atas nama si A”.
Kekuatan Hukum Dilalah
Penetapan hukum menggunkan dilalah (ibarah, Isyarah, dilalah, iqtidha`) dengan jalan qath’i dan yakin kecuali jika ada yang memalingkanya kepada makna dzanni sepeti takhsis atau ta`wil, hal ini karena pemahaman ibarah dan isyarah menggunakan lafadz itu sendiri, sedang dilalah nash menetapkan hukum dengan jalan illah (alasan) yang tetap secara bahasa, sedangkan dilalah iqtidha` yang mengharuskan kebenaran sebuah perkataan dan kebenaran maknanya, sehingga menjadi petunjuk yang pasti.
Urutan dilalah dari segi kekuatan dilalahnya dalam sebuat hukum, dari yang terkuat adalah; dilalah nash, dilalah isyarah, dilalah dilalah, dilalah iqtidha`. Hal ini dikarenakan bahwa:
  1. Ibarah lebih kuat dari Isyarah karena Ibarah menunjukan makna dengan persesuain kalimat, sedangkan Isyarah menunjukan makna bukan dari persesuaian kalimat (siyaqul kalimah)
Contoh: Dalam sebuah ayat " وَعَلَى المَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالمَعْرُوْفِ "  dimana ayat ini dapat dipahami secara isyarah bahwa hubungan nasab adalah kepada ayah, maka dari itu ayah lebih berhak menerima nafkah dari anak daripada ibu. Tetapi isyarah dalam nash ini bertentangan dengan ibarah nash sebuah hadits Rasul, dimana dalam sebuah hadits terdapat seorang sahabat yang sedang bertanya kepada Rasul, “siapa yang berhak dihormati oleh seorang anak?”, Rasul menjawab: “Ibumu”, dan kemudian sahabat itu bertanya lagi “kemudian siapa?”, dan jawaban itu berulang kali hingga tiga kali, hingga pada kali keempat beliau menjawab “ayahmu”. Ibarat dalam nash ini menunjukan bahwa Rasul menjelaskan orang yang paling berhak mendapatkan nafkah adalah ibu. Dengan demikian keutamaan ayah yang di isyaratkan oleh ayat 232 diatas tidak penting lagi dalam hal ini.
  1. Isyarah Nash lebih kuat dari pada Dilalah Nash karena isyarah menunjukan makna dengan lafadz sendiri dan formulasinya, sedangkan dilalah menunjukan kepada makna dengan jalan pemahaman akal atas nash dan mafhumnya.
Contoh: Dalam surat an-Nisa` ayat 93 :   " وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمّدًا فَجَزَاءُهُ جَهَنّمُ خَالِدًا فِيْهَا "  Dapat dipahami secara isyarah nash akan berarti bahwa  balasan untuk orang yang membunuh dengan sengaja adalah neraka jahannam, yaitu berhubungan dengan hak Allah dan yang lain tidak usah.
Tetapi dalam surat an-Nisa ayat 92: " وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلّمَةٌ إِلَى أَهْلِهَا dapat dipahami secara dilalah bahwa pembunuh yang sengaja dari orang beriman akan diwajibkan membayar kaffarah, yaitu sebagai mafhum aula karena yang membunuh dengan tidak sengaja saja diwajibkan kaffarah. Tetapi Ulama’ Hanafi tidak mewajibkan pembayaran kaffarah bagi orang muslim yang membunuh dengan sengaja, dan hanya mewajibkan qisas atau qûd. Hal ini berbeda dengan Ulama Syafi’i yang mewajibkan hukuman lain selain qisas yaitu kaffarah. [11]
  1. Dilalah Nas lebih kuat dari Iqtidha’ Nash karena makna yang muncul dari iqtidha’ bukan dari formulasi lafadz atau mafhum nash secara bahasa, tetapi membutuhkan kebenaran dan keshahihan kalimat.


C.      Pembagian Jumhur Mutakallimin atas metode dilalah (penunjukan) lafadz;
Jumhur Mutakallimin selain hanafiyah membagi dilalah lafadz menjadi dua, yaitu; Mantuq dan Mafhum. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
  1. Mantuq
Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah dilalah mantuq adalah:
دلالة المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور في الكلام
“Dilalah mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal)”.
            Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq. Ini mencakup Dilalah Ibarah,  Isyarah, dan Iqtidha’, menurut Hanafi.
Misalnya; hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada surat Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan “ah” atau perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum. Hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini. Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam yaitu:
1.    Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
المنطوق الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او بالتضمن
“Mantuq sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”
Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh penggunaan dilalah mantuq sharih pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
2.    Adapun Mantuq ghairu sharih secara istilah adalah:
المنطوق غير صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
“Mantuq ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”
Dari definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal), bukan ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih.  Misalnya dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan kepada ayah bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di tangan seorang ayah. Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu sharih dari ayat di atas.
Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1.        Mantuq Sharih, adalah apa yang ditunjukan oleh lafadz dengan muthabaqah (kesamaan) atau tadhamun (kolektif)  
2.        Mantuq ghairu Sharih, adalah apa yang ditunjukan oleh lafadz bukan dengan muthabaqah (kesamaan) atau tadhamun (kolektif)
Dan mantuq ghairu sharih di bagi menjadi tiga; Iqtidha`, Îma`, dan Isyarah.
a.       Al-Iqtidha` adalah maksud dari seorang ‘Mutakallim’ yang dapat dipahami tergantung pada kesahan perkataan atau kebenaranya baik secara syar’i maupun secara akal atas makna yang muncul. Sebagaimana pentaqdiran kata ‘dosa’ dalam hadits rasul   " رفع عن أمتي الخطأ والنسيان "
b.      Al-Îma` atau disebut juga tanbih adalah bergabungnya maksud ‘Mutakallim’ dalam sebuang ungkapan dengan sifat yang menjadi illat akan hukum yang terkandung didalamnya. Sebagaimana bergabungnya perintah tentang membebaskan budak dengan perkaran ‘waqâ`’, dimana ‘waqâ`’ adalah illat akan kewajiban membebaskan budak.  
c.       Al-Isyarah, adalah bukan yang dimaksud dari ‘Muatakallim’. Sebagai contoh:       " وحمله وفصاله ثلاثون شهرا " dan ayat   "وفصاله فى عامين "  yang dapat dipahami dari sini bahwa hamil paling sebentar adalah enam bulan.
  1. Mafhum
Pengertian Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan dari ucapan lafadz itu sendiri. Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut
“Mafhum adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan)” Seperti firman Allah SWT.
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
            Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat dibedakan kepada dua bagian yaitu:
1.    Mafhum Muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan. Menurut para ahli usul fiqh mafhum muwafaqah adalah penunjukan hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukumnya karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan atau menetapkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada 2 bagian yaitu:
a)             Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang berbunyi :
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b)             Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 10:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut yang berarti dilarang (haram)
2.    Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah SWT surat Al-Jumuah ayat 9
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah
1)     Mafhum Shifat
Yaitu yang menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 92
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
Artinya: barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
2)      Mafhum syarat
         Mafhum syarat ialah penunjukan suatu lafadz yang pada lafadz ini berlaku hukum yang dikaitkan kepada suatu syarat, terhadap kebalikan hukum pada suatu yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak dipenuhi. Atau dalam definisi yang lebih mudah dapat di artikan: bila syarat terpenuhi maka berlaku humum, tetapi jika syarat tidak terpenuhi maka akan berlaku hukum yang sebaliknya. Contoh:
 فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا
Ayat ini menjelaskan akan kebolehan mengambil harta dari mahar jika dengan kerelaan dari sang istri, maka dalam ayat ini kerelaan adalah syarat dibolehkanya mengambil mahar istri, dan dapat dipahami dari dari mafhum bahwa tidak boleh mengambil mahar istri jika sang istri tidak rela maharnya di ambil.
3)      Mafhum ghayah
Yaitu lafaz yang menunjukkan hukum yang terikat pada ghayah (batasan tertentu), sehingga hukum kebalikan tetap karenaya. Lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” atau “hatta”. Berikut ini contoh dari keduanya dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku
Menunjukan kewajiban dalam berwudlu adalah membasuh tangan hingga siku, dan hukum kebalikanya bahwa wudlu tidak sah jika membasuh tanganya tidak sampai kepada siku.
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
Artinya: dan janganlah kamu mendekati mereka, hingga mereka suci
Ayat ini menjelaskan larangan menggauli istri ketika haid, dan hukum sebaliknya adalah kebolehan bagi suami menggauli istri jika dalam keadaan suci.
4)      Mafhum ’adad 
Yaitu penunjukan hukum kebalikan dari sebuah hukum yang terikat oleh bilangan tertentu. Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 4.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُم ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Ayat ini menjelaskan syarat saksi harus empat orang, dan jika saksi kurang dari empat maka persaksian tidak sah dan mendapatkan hukuman jild (cambuk) 80 kali. Maka dapat dipahami dengan mafhum mukholafah bahwa jika saksi mencapai empat orang maka hukuman tidak dapat dijatuhkan.
5)      Mafhum al-Laqab
Penunjukan lafadz yang menjelaskan berlakunya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan atas tidak berlakunya hukum tersebut untuk orang lain[12]. termasuk dilamnya tokoh, sifat, nama jenis (al-jins) dan spesies (an-nau’) [13]. Contoh tokoh (Muhammad Rasulullah), contoh sifat( لي الواجد – مطل الغني – يحل عرضه وعقوبته ) , contoh jenis ( الذهب بالذهب والفضة بالفضة ) , contoh nau’ (في الغنم زكاة ).
Misalnya, firman Allah dalam surat Yusuf ayat 4 yang berbunyi:
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
Artinya: (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan kulihat semuanya sujud padaku.
Dari ayat ini dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang lain.
6)      Mafhum hasr
Penyebutan hukum dengan pembatasan pada sesuatu yang ditunjukan oleh lafadz dan memberikan hukum kebalikanya atas apa yang keluar dari batas tersebut. firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 145
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: Katakanlah, tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah
Pada ayat ini ada pembatasan akan makanan haram yaitu bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi, maka dapat dipahami dari mafhum mukholafah bahwa selain itu adalah hahal.
Pendapat Ulama atas Mafhum Mukholafah
Para ulama berbeda dalam mengambil sebuah hukum dengan menggunakan mafhum mukhalafah. Disini ada dua pendapat, pertama; Jumhur, dan kedua; Hanafiyah
  1. Jumhur. Bahwa mafhum mukhalafah selain mafhum laqab adalah bisa dijadikan hujjah dan wajib melaksanakanya atas dasar tersebut. Jika suatu nash menyebutkan pembatasan akan hukum tertentu maka berlaku ketetapan hukum kebalikanya.
Dalil Jumhur:
a)      Dalil Naqli: Bahwa banyak dari sahabat Rasul, para Imam-imam, dan tabi’in yang telah menggunakan mafhum mukhalafah.
Ibnu Abbas memahami firman Allah: ( وإن أمرأ هلك ليس له ولد وله أخت فلها نصف ماترك )  Bahwa kakak (pr) tidak mendapatkan warisan jika dengan anak (pr). Karena Allah ketika memberikan warisan setengah (1/2) ketika tidak ada anak (lk) atau anak (pr), maka menunjukan bahwa kakak (pr) tidak mendapatkan warisan jika ada anak laki-laki maupun perempuan.
Jumhur Fuqaha termasuk Hanafiyah juga selain Imam Laits memahami hadits Rasul " في سائمة الغنم في كل أربعين شاةً شاةٌ " bahwa tidak ada wajib zakat atas ma’lufah (yang dikasih makan)
b)      Dalil Aqli. Bahwa nash-nash yang terdapat didalamnya batasan atau syarat atau ghoyah, tidak disebutkan secara sia-sia, tetapi pasti akan ada faedahnya, karena jika mencari faedahnya kita tidak ada faedahnya kecuali dengan menggunakan pengkhususan dalam hukum tersebut, dan menghindarkan kebalikan hukum tersebut, karena jika tidak akan sia-sia. Dalam ayat al-Qur’an: " يا أيها الذين أمنوا لا تقتلواالصيد وأنتم حرم "  bahwa dalam ini diwajibkan hukuman hanya bagi yang membunuh hewan dengan sengaja, dan tidak berlaku hukuman bagi yang tidak sengaja.
  1. Hanafiyah. Bahwa mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum syar’i, tetapi dapat dijadikan hujjah pada perkataan manusia dalam keseharian.
Dalil Hanafi
a)      Bahwa faedah yang terkandung dalam sebuah nash banyak sekali, maka jika terdapat pengkhususan dari perkataan Syari’ dan belum nampak faedah tertentu maka tidak bisa kita memberi hukum dengan pengkhususan tersebut. Karena maksud dari Syari’ tidak mungkin tercakup secara keseluruahan. Berbeda dengan yang terjadi pada perkataan manusia biasa yang memungkinkan pengetahuanya.
b)      Tidak digunakan mafhum mukhalafah dalam banyak ayat Qur’an atau dalam hadits Rasul, karena jika dilakukan mafhum mukhalafah akan bnayak menimbulkan makna yang salah dan hukum yang bertentangan dengan syara’. Contoh: ( إن عدة الشهور عند الله اثنى عشر شهرا فى كتاب الله يوم خلق السموات والأرض منها أربعة حرم ) dalam ayat ini terdapat adanya penghususan bulan haram pada empat bulan saja (rajab, dzul qa’dah, dzul hijjah, dan muharram)yang tidak boleh didalamnya melakukan kedzaliman, tetapi bukan berarti kebalikanya benar, karena berbuat dzolim tidak hanya khusus pada bulan haram tetapi juga pada bulan yang lain.
c)      Jika mafhum mukhalafah dianggap maka tidak butuh lagi kepada nash shorih dari nash tersebut. Seperti dalam al-Qur’an:
ولا تقربوا هن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتواهن من حيث أمركم الله
Dalam ayat ini telah menerangkan hukum yang tersembunyi dari ayat tersebut.
            Penolakan Hanafi terhadap dalil Jumhur:
a)         Apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dalam hal hukum zakat pada ghonam yang tidak diwajibkan pada yang diberi makan bukan dilepas bukan menggunakan dalil mafhum mukholafah tetapi menggukan dalil ‘al-aslu ‘adam’, atau mengembalikan yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu) dari asli.
b)        Jika mafhum mukhalafah di jakan hujjah maka harusnya dilaksanakan semua pada semua nash. Seperti  ( فليس عليكم أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا )
c)         Faedah penyebutan pengkhususan bukanya menghalangi maksud kebalikanya dan menetapkan hukum kebalikanya. Tetapi faedahnya adalah mengembalikan hukum tersebut kepada asal hukum.
Syarat-syarat Mafhum Mukholafah
Jumhur yang mengatakan berlakunya mafhum mukhalafah memberikan syarat-syarat untuknya, yang secara umum bahwa penyebutan penghususan dalam hukum harus tidak tidak memberikan faedah lain, selain penghilangan hukum jika terdapat pengkhususan atasnya. Berikut ini syarat-syaraf Mafhum Mukhalafah:
1.    Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah dan hukum yang maskut tidak disebutkan dalam dalil yang khusus tentangnya. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: (Q.S. Al-Isra’ Ayat 31)
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Artinya: Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan
Mafhumnya, kalu bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil mantuq  yaitu: (QS. Al-Isra’ 33)
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran”
2.             Tidak boleh bagi qayd yang meng-qayd-kan hukum faedah khusus selain menghalangi hukum yang tersembunyi yang bertentangan dengan mantuq. Seperti targhib (penyemangat), tanfir (pengasingan), tafkhim (pengagungan), ta’kid hal (penekanan keadaan), imtinan (kenikmatan) dll. Contoh:
Contoh tanfir :" يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة "   bukan berarti kalo tidak ‘adh’af’ tidak dilarang, tetapi dalam ayat ini memakan riba memang tidak boleh baik sedikit atau banyak.
Contoh imtinan: " لتاكلوا منه لحما طريا "  karena bukan berarti tidak boleh makan daging yang tidak segar.
3.             Disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 23.
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu” .
 Dari perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme­liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se­bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
4.    Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, jika disebutkan secara tab’iyyah (mengikuti) maka tidak bisa dipahami secara mafhum mukhalafah. Contohnya firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187.
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid
Tidak dapat dipahamkan kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istrinya, karena pada dasarnya i’tikaf memang diharamkan bercampur dengan istri.
Pendekatan pandangan Jumhur dan Hanafiyah
Setelah kita ketahui bahwa Jumhur dan Hanafiyah berbeda pendapat dalam membagi turuq dilalah lafadz dimana Hanafiyah membagi menjadi menjadi empat yaitu dilalah ibarah, dilalah isyarah, dilalah dilalah, dan dilalah iqtidha`. Sedangkan Jumhur membagi menjadi mantuq dan mafhum yang selanjutnya mafhum di bagi dua mafhum muwafaqah dan mafhum mukholafah.
Meskipun Jumhur dan Hanafiyah berbeda dalam hal ini, tetapi ada beberapa persamaan diantara keduanya. Dalam hal dilalah nash yang menurut Hanafiyah sebagai urutan kedua dalam memahami nash, ternyata dalam praktiknya sama dengan apa yang di namakan mafhum muwafaqah menurut Syafi’iyah atau qiyas jaly menurut Syafi’i. Selaian itu juga Hanafiyah seperti yang di kutib dalam bukunya Wahbah Zuhaili menerangkan apa yang di maksud dengan dilalah nash dengan menggunakan kesamaan dalam illat hukum, dalam memberikan hukum pada hukum yang maskut baik yang maskut itu sama dalam illatnya maupun lebih utama dalam illat hukumnya. Dan hal ini sama persis apa yang disebut oleh Syafi’iyah dengan fahwa khitab dan lahnul khitab.
Meskipun demikian terdapat juga perbedaan mendasar yang menjadi pijakan diantara keduanya, yang mana Hanafiyah menetapkan hukum langsung dari nash, sedangkan Syafi’iyah menetapkan hukum dengan jalan qiyas atau ijtihad syar’i, dalam memahami hukum yang tersembunyi (maskut). Meskipun pada akhirnya hukum yang di hasilkan pada adalah sama.[14]
Para ulama juga berbeda pendapat tentang mafhum muwafaqah apakah dia dari dilalah nashiyah atau diambil dari dilalah qiyasiyah ( qiyas aula atau qiyas musawi (jaly)) disini ada dua pendapat: pertama, bahwa mafhum muwafaqah diambil dari dilalah qiyasiyah yang untuk mana memahaminya dengan menggabungkan hukum yang maskut dengan hukum yang mantuq karena persamaanya dalam illat hukum. Hal ini yang diusung oleh Imam Syafi’i, sebagian syafi’i seperti Imam Razi, sebagian hanbilah, dan sebagian mu’tazilah. Kedua; bahwa mafhum muwafaqah adalah termasuk dari dilalah lafdziyah, yang dipahami dari lafadz bukan pada waktu pengucapan, dimana dapat dipahami langsung dari bahasa Arab tanpa menggunakan iijtihad. Pengusung pemikiran ini adalah Jumhur Hanafiyah, dan sebagian Syafi’iyyah seperti al-‘Amidi, sebagian Hanabilah, dan kebanyakan Maikiyah.
Selanjutnya perbedaan tersebut membawa perbedaan pandangan apakah perbedaan dalam menganggap mafhum muwafaqah sebagai dilalah lafadz atau qiyas sebagai khilaf lafdzy atau khilaf maknawi.[15]
Selain itu juga menurut Syafi’iyah bahwa mantuq adalah mencakup pada apa yang dipahami oleh Hanafiah dalam dilalah ibarah, dilalah isyarah, dan dilalah iqtidha`. Karena ketiga bagian ini memahami hukum langsung dari ungkapan nash. Yang hal ini serupa dengan apa yang di istilahkan oleh Jumhur dengan iqtidhâ`, îma` dan isyârah sebagai pembagian dari mantuq ghairu sharih.[16]
Memperhatikan manhaj antara madzhab Syafi’i dan Hanafi pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang suntansial. Perbedaanya hanya pada istilah yang di gunakan. Sebab berbeda dalam istilah dan sasaranya yang sama, maka tidak mempengaruhi produk hukum yang dihasilkan,[17] kecuali dalam hal tertentu seperti yang telah kita sebut di atas.  
Historical Beground Syafi’i dan Hanafi dalam Menetukan Hukum
Dalam memahami teks al-Qur’an atau Hadits, banyak ulama yang berbeda pendapat, hal ini dikarenakan sebuah teks dalam hal dilalahnya ada yang bersifat qath’i dilalah dan ada juga yang dzanni dilalah[18]. Hal perbedaan pendapat ini di mulai dari masa sahabat yang terus benlanjut kepada masa tabi’in dengan adanya madrasah ra`yu dan madrasah hadits, sehingga memunculkan beberapa madzhab fiqh pada masa dinasti abbasiyah.
Pada masa-masa awal periode tabi’in (masa Dinasti Umayah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum syari’ah, serta dalam merespons persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadits dan ahl al-ra’y. Aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Makkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahami secara harfiah; sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Iran, banyak menggunakan rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul. Salah satu contoh kasus perbedaan ini adalah pada suatu ketika seorang dari kelompok ahl al-hadis ditanya tentang dua orang anak bayi yang menyusu air susu seekor domba, apakah hal ini menjadikan hubungan susuan (radha’ah) atau tidak? Jawabnya, Ya, karena berdasar-kan hadis “Dua anak bayi yang menyusu pada satu air susu yang sama menjadikan antar keduanya haram menikah”. Meskipun jawabannya ini sesuai dengan teks hadis, tetapi hal ini tidak sejalan dengan rasio karena maksud hadis ini hanyalah pada air susu ibu, dan bukan pada domba atau hewan lain.
Munculnya kedua aliran tersebut terutama disebabkan oleh dua faktor, sebagai berikut. (1) Pengaruh geografis, kalau kondisi sosial di Madinah pada masa Dinasti Umayah ini tidak banyak berbeda dengan kondisi pada masa Nabi dan masa Khulafa’al Rosyidin, maka kondisi sosial di Irak banyak berbeda dengan kondisi jaman Nabi dan al-Khulafa’al Rosyidin karena Irak sudah menjadi kota metropolitan pada saat itu sehingga persoalan-persoalan pun lebih kompleks daripada di Madinah. Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru itu dibutuh-kan adanya ijtihad, sementara Hadis yang beredar di Irak tidak sebanyak yang beredar di Madinah yang merupakan tempat turunnya wahyu. Maka para ahli ijtihad mengeluarkan fatwa yang banyak berdasarkan rasio (ra’y). (2) Pengaruh sahabat-sahabat dalam memberikan fatwa. ‘Umar ibn Khaththab dan Ibn Mas’ud, misalnya, dalam memberikan fatwa banyak menggunakan rasio dengan berusaha mencari ‘illah (legal reason) dan jiwa syari’ah; sedangkan ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Umar (w. 73 H) sangat berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa dengan hanya menggunakan nash (teks) al-Qur’an dan Hadis. Di antara ahli fatwa dari kalangan tabi’in adalah Sa’id ibn Musayyab (13-94 H), Ibrahim al-Nakha’i (46-96 H), Hasan al-Bashri (w. 111 H), dan sebagainya. Namun demikian, pada periode ini juga belum dilakukan pembukuan hukum-hukum syari’ah, dan belum diformulasikan dalam bentuk ilmu fiqh. Demikian pula, metode ijtihad ini belum diformulasikan dalam bentuk ilmu ushul fiqh dan qowa’id fiqhiyyah.[19] Bermula dari hal tersebut, menjadikan pola pemikiran antara Syafi’i dan Hanafi berbeda dalam beberapa hal.
Imam Hanafi (Abu Hanifah An-Nu’man 80-150 H) yang terlahir di Kufah (Irak) adalah kota yang terkenal sebagai kota yang dapat menerima perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Mula-mula ia belajar Ilmu Bahasa tetapi karena ilmu bahasa tidak banyak menggunakan akal makanya ia lebih cenderung mempelajari fiqh pada selanjutnya. Selain itu juga ia belajar ilmu tauhid, dan lain-lain.[20] Imam Hanafi dengan pengaruh madrasah ra’yi nya menjadikan hukumnya lebih berasaskan kemudahan dalam bidang kehidupan masyarakat, maka Abu Hanifah berhak menyandang Imam Ahlu Ra’yi dalam Islam.[21]
Sedangkan Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i 105-204 H) beliau seoarang yang sering berpindah-pindah dari sejak kecil, beliau lahir di ghazzah Palestina, kemudian dibesarkan di Asqalan yang mana banyak di diami masyarakat Yaman, kemudian dilanjutkan belajar ke Makkah, Madinah, dan ke Iraq dan menyudahi hidupnya di Mesir.
Syafi’i sejak kecil telah hafal al-Qur’an, dan beliau sangat tekun mempelajari Bahasa Arab, baik kaidah nahwu, sya’ir, dan sastra. bahkan sampai ia rela tinggal bersama kabilah huzail yang terkenal dengan bahasa Arabnya untuk belajar syair dan kaidah bahasa di sana.
Syafi’i di Makkah belajar fikih dari Muslim bin Khalid az-Zindi kemudian belajar di Madinah bersama Imam Malik, kedua daerah ini terkenal dengan Madrasah Hadits, yang lebih mengedepankan akan teks baik dari Qur’an dan Hadits, daripada menggunakan rasio. Selanjutnya beliau belajar di Bagdad akan ilmu hadits dan ra`yi dengan seorang guru yaitu Muhammad bin al-Hasan,[22] Dimana Bagdad (Iraq) sangat terkenal dengan rasio, karena peradaban mereka yang sudah lama selain juga hadits Rasul yang sampai ke bagdad tidak sebanyak yang ada di Daerah Makkah dan Madinah, juga permasalahan masyarakat Bagdad lebih kompleks dibanding yang terjadi pada masyarakat Makkah dan Madinah.
Dengan berlandaskan pada pendidikan Syafi’i pada dua madrasah inilah, maka Syafi’i mempunyai cara lain dalam mengambil istinbath hukum, sampai-sampai Syafi’i berbeda pendapat dengan Gurunya Imam Malik, dan ini tidak lain karena pengaruh yang timbul dari madrasah ra’yi di Iraq. Lain halnya dengan Hanafi yang hanya belajar di Madrasah Iraq, dimana landasan rasio beliau lebih menonjol, terlihat dengan hukum yang beliau hasilkan lebih mudah dalam hal muamalah seperti yang telah kita bahas dalam pembahasan yang lalu.
Penerapan kaidah dalam masalah kontemporer
Dalam hal pengangkatan anak, Islam telah melarangnya dengan ayat berikut:
$¨B Ÿ@yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur Ÿ@yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur Ÿ@yèy_ öNä.uä!$uŠÏã÷Šr& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)tƒ ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgtƒ Ÿ@Î6¡¡9$# ÇÍÈ   öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øŠs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JŠÏm§ ÇÎÈ[23]  
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini menjelaskan dengan mantuqnya akan keharaman anak angkat, dan lebih dipertegas lagi dengan beberapa dalil ayat al-Qurân, berupa 'larangan' memberlakukan anak angkat seperti anak kandung dilihat dari beberapa sudut pandang; pertama, teori kedaulatan Tuhan, dalam al-Qurân dimuat beberapa ayat yang memerintahkan orang Islam untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya[24], kedua; tidak dibenarkan untuk mengambil pilihan lain kalau ternyata Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan hukum yang pasti dan jelas[25], ketiga; mengambil pilihan hukum lain di mana Allah dan Rasul-Nya telah memberikan ketentuan hukum dianggap zhalim, kafir, atau fasiq[26], keempat; tidak mau dengan hukum Qur’an sama halnya dengan melecehkan al-Qurân[27].
Dengan mafhum muwafaqah bahwa anak angkat juga tidak mendapatkan waris dari orang tua angkatnya kecuali dengan wasiat, maka dengan mafhum demikian anak angkat tidak mendapatkan waris dari orang tua angkatnya, karena yang berhak mendapatkan waris dari jalur anak hanyalah anak asli.
Lain halnya dengan anak angkat, sebagaimana yang telah terjadi akhir-akhir ini tentang anak yang terlahir dari nikah siri[28] yang secara mafhum bahwa anak yang terlahir dari nikah yang sah mendapatkan waris dari orang tuanya, sebagaimana pengertian diatas. Tetapi pada kenyataanya anak yang terlahir dari nikah siri tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam hal waris dari Ayah, dikarenakan tidak terlahir dari nikah yang sah menurut hukum. Karena nikah siri secara undang-undang disejajarkan dengan zina dalam Islam, dimana anak yang terlahir dari zina hanya mendapatkan nasab dari Ibunya. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah :
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " الولد للفراش وللعاهر الحجر " ( رواه الجماعة إلا أبا داود)
Padahal kenyataanya dalam nikah siri bahwa semua rukun dan syarat nikah sudah tercukupi secara agama, dengan demikian bahwa nikah siri telah sah menurut agama.
Tetapi kenyataan sekarang bahwa dengan dilarangnya nikah siri telah terjadi 2jt perkawinan pertahun dengan angka percerian yang fantastis yaitu 200 ribu. Dan telah melahirkan 35 juta anak yang lahir tanpa surat lahir, dan susah mendapatkan hak semestinya.
Jika kemungkinan anak yang lahir dari hubungan nikah siri mendapatkan hak perdata dari ayah biologisnya, maka kemungkinan meningkatnya jumlah kawin siri di Indonesia tidak dapat di bendung lagi, dan kerancuan terhadap pencatatan nikah akan tak bisa terelakkan.
Hal ini menimbulkan masalah yang sampai saat ini menjadi pembahasan di Mahkamah Konstitusi, yaitu dengan keluarnya keputusan untuk peninjauan ulang Undang-undang tersebut.[29]
Wallahu a’lam bissowab.
C.      Penutup/ Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman/penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya.
Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda antara Hanafi dan Syafi’i dimana Syafi’i belajar dari madrasah hijaz dan iraq, sedangkan hanafi lebih banyak menghabiskan belajarnya di madrasah Iraq yang lebih menonjolkan rasio. Maka hukum yang dihasilkan berbeda antara keduanya dalam beberapa hal, termasuk juga dalam perbedaan pengartian sebuah lafadz.
Setelah memperhatikan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Syafi’i dan Hanafi pada dasarnya tidak begitu besar pengaruhnya dalam banyak hukum kecuali dalam hukum had. Dimana hal yang berkaitan dengan had tidak bisa berdasarkan dengan mafhum, karena menurut Ulama’ Hanafi landasan yang dipakai dalam mafhum adalah qiyas, berbeda dengan dilalah yang langsung dari nash.
Perbedaan tersebut terletak pada landasan pemikiran mereka dalam menganggap apakah pemahaman atas maskut tersebut menggunakan qiyas atau tidak, dimana Hanafiyah meskipun hampir sama dalam menghasilkan hukum tetapi Hanafiyah mengambil ketetapan hukum langsung dari nash dalam memberikan hukum yang maskut. Tetapi Jumhur menggunakan qiyas atau ijtihad syar’i dalam menghukumi hukum yang tersembunyi (maskut) dari sebuah nash.








DAFTAR PUSTAKA
Wahbah Zuhaili, Ushulu al-fiqh al-Islamy, Cet. Dar al-Fikr, Beirut, thn. 2005
Sya’ban Muhammad Ismail, Tahdzib; Syarh al-Isnawi, Maktabah Azhariyah li at-Turats
Abdul Karim bin Ali, al-Khilaf al-Lafdzi ‘inda Ushuliyyin, Maktabah Rusyd, Riyadh, thn. 1999
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, thn. 2008
Muhammad al-khudari beik, Ushul Fiqh, Pustaka Amani 2007
Abdul Karim bin ‘Ali, al-Khilaf al-Lafdzi ’inda Ushuliyyin, Maktabah Rusydi, Riyad, thn. 1999
Romli SA, Muqaranah Madzahib fi al-Ushul, Gaya Media Pratama, Jakarta, thn 1999,
Rasyad Hasan Khalil,
HM Mukti, Al-Syafi’i sebagai Bapak Ushul Fiqh, Jurnal Studi Islam dan Budaya “Ibda`” STAIN Purwokerto
Ahmad as-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, Amzah Jakarta, thn. 2004, hal 19






[1]  Wahbah Zuhaili, Ushulu al-fiqh al-Islamy, Cet. Dar al-Fikr, Beirut, thn. 2005, Juz 1, hal 17
[2]  Sya’ban Muhammad Ismail, Tahdzib; Syarh al-Isnawi, Maktabah Azhariyah li at-Turats, juz 1, hal 325
[3]  Abdul Karim bin Ali, al-Khilaf al-Lafdzi ‘inda Ushuliyyin, Maktabah Rusyd, Riyadh, thn. 1999, hal 16 
[4]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana 2008, jilid 2, hal 126
[5]  Wahbah Zuhaili, Ibid, hal. 346
[6]  Muhammad al-khudari beik, Ushul Fiqh, Pustaka Amani 2007, hal 241
[7]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Juz 2, Kencana Jakarta, 2008, hal. 126-129
[8]  Amir Syarifuddin, Ibid.  hal. 130
[9]  Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Juz 1, Dar el-Fikr, 2005, hal. 338
[10] Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang pedih.

[11] Lihat, Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wa adillatuh, juz 6, hal. 261
[12] Amir Syarifuddin, Op Cit. hal. 152
[13] Wahbah Zuhaili, Op Cit. hal. 352
[14] Lihat, Wahbah  Zuhaili, Ushul Fiqh,  juz 1, hal 341
[15]  Abdul Karim bin ‘Ali, al-Khilaf al-Lafdzi ’inda Ushuliyyin, Maktabah Rusydi, Riyad, 1999 Juz 2, hal. 293-301
[16] Lihat, Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh,  juz 1 hal 348
[17]  Romli SA, Muqaranah Madzahib fi al-Ushul, Gaya Media Pratama, Jakarta, thn 1999, Hal 224
[18]  Rasyad Hasan Khalil, Ibid, hal 71
[19]  HM Mukti, Al-Syafi’i sebagai Bapak Ushul Fiqh, Jurnal Studi Islam dan Budaya “Ibda`” STAIN Purwokerto
[20]  Ahmad as-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, Amzah Jakarta, thn. 2004, hal 19
[21]  Ahmad as-Syurbasi, Ibid. hal 21
[22]  Ahamad as-Syurbasi, Ibid, hal 39-150
[23]  QS: [33]: 4-5
[24]  QS. [4]: 59, S. [24]: 51, S. [59]: 7, S. [4]: 80
[25]  QS. [33]: 36, S. [3]: 32, S. [24]: 47, 48
[26]  QS. [5]: 44, 45, dan 47
[27]  QS. [25]: 30
[28]  Yang di maksud nikah siri disini adalah pernikahan yang sah menurut agama Islam, dengan memenuhi rukun dan syarat nikah, tetapi tanpa adanya pencatatan dikantor pencatatan sipil, sehingga bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan.
[29]  Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya". Dimana Mahkamah Konstitusi (MK) menambahkan adanya hubungan perdata dengan "ayah" dan "keluarga ayahnya". Perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar