BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqh Islami sebagai ilmu yang mempunyai
kelebihan dari segi landasan atau pijakan dalam mengambil sebuah hukum, luasnya
sumber hukum, memerlukan kepada kaidah umum dalam memahaminya, yang sesuai
dengan akal sehat sehingga memunculakan sebuah produk hukum yang tepat.[1]
Dalam hal ini ushul fiqh sebagai dasar
pengambilan sebuah hukum islam, yang mana mempelajari hukum islam secara
menyeluruh, di mulai dari pembahasan pengertian hukum, sumber-sumber hukum,
cara pengambilan hukum, pertentangan dan solusi dalam perbedaan pandangan
tentang pengambilan sebuah hukum dari sumbern hukum.
Pembahasan yang pertama mengenai pengambilan
hukum adalah bagaimana mengambil makna dari sebuah lafadz. Dimana lafadz yang
terdapat pada al-Qur`an tidak semua dapat dipahami apa adanya, dan harus
mengetahui bagaiman cara istidlal dari ayat tersebut. Pentingnya belajar
cara istidlal dari lafadz ini dikarenakan Allah tidak mungkin menurunkan
teks al-Qur’an dengan sia-sia yang tidak bisa dipahami, atau dalam kitab al-mahshul
disebutkan bahwa Allah tidak mungkin berkata sesuatu yang tidak bermakna.[2] Maka memahami bahasa melalui pemahan lafadz
untuk menuju kepada suatu hukum adalah sangat penting.
Pembahasan kita saat ini adalah merupakan
bahasan ke-empat dari bagian pembahasan tentang lafadz. Dimana satu pembahasan
tidak lepas dengan pemahaman lain. Karena dalam satu ayat terdapat beberapa
lafadz dan dapat di uraikan kepada beberapa kelompok pembagian lafadz. Sebagai
contoh:
فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
Dimana dalam ayat ini “mâ” adalah lafadz âmm,
sedangkan lafadz “matsna wa tsulatsa wa ruba’” dalah lafadz khas. Dan
juga lafadz “fankihu” adalah termasuk ‘amr yang berfungsi ibahah.
Dari segi dhahir makna adalah pembolehan menikah, dari segi nash
adalah pembolehan nikah poligami. Dan dari segi mafhum mukholafah dapat
dipahami bahwa nikah dengan istri lebih dari empat tidak boleh.
Maka pembahasan lafadz dalam ushul fiqh sangat
penting, karena berpengaruh kepada perbedaan hasil hukum yang berbeda. Sebagai
contoh dalam pembahasan kita kali ini adalah pembagian lafadz menurut bagaimana
lafadz tersebut menunjukan makna. Dimana terdapat perbedaan pendapat antara
Hanafiah dan Jumhur Mutakallimin yang di motori oleh Syafi’i. Dalam hal ini
Hanafiah membagi dilalah lafadz menjadi empat (ibarah nash, isyarah nash,
dilalah nash dan iqtida` nash) sedangkan Jumhur membagi menjadi dua (mantuq
dan mafhum). Perbedaan ini sebagian menganggap hanya khilaf lafdzi
yang tidak berpengaruh dalam hukum dan ada juga yang menganggap ini adalah
khilaf maknawi yang sangat prinsipil dalam pembahasan ushul fiqh.[3]
B.
Rumusan Masalah
Dari pemaparan diatas maka kiranya perlu dibahas
dalam hal ini beberapa pembahasan dalam pembagian dilalah lafadz:
- Pembagian dilalah
lafadz dari segi bagaimana penggunaanya dalam mencapai sebuah makna, baik
menurut Hanafiyah atau Jumhur.
- Penjelasan tentang
pembagian Hanafiyah dan Jumhur atas dilalah lafadz serta kehujjahan dari
setiap bagian.
- Historical Beground
Syafi’i dan Hanafi dalam menentukan hukum
- Titik temu pemikiran
Hanafiyah dan Jumhur dalam beberapa sub-bagian dari pembahasan ini.
- Contoh pemakaian
kaidah ushul fiqh dalam permasalahan kontemporer sebagai terapan dari
materi yang ada.
BAB I
PEMBAHASAN
Turuqu dilâlah al-alfâdz (metode penunjukan makna lafadz)
A.
Pengertian Dilalah
Arti dilalah (الدلالة) secara umum adalah “memahami sesuatu atas
sesuatu”.[4] Dalam kitabnya Wahbah
Zuhaili mengutip dari Isnawi juga mendefinikan dilalah sebagai berikut: مَعْنَى عَارِضٌ بِالقِيَاسِ إِلَى غَيْرِهِ “makna yang muncul dengan cara mengkiaskan
kepada yang lain”[5]. Maka dapat
dipahami bahwa memahami sesuatu mengharuskan
memahami sesuatu.
Kata sesuatu yang
pertama adalah madlûl (yang di tunjuk), dan dalam hubungnya dengan hukum
yang di sebut madlul itu adalah hukum itu sendiri. Sedangkan kata
“sesuatu” yang kedua adalah dalîl (yang menjadi petunjuk), dan dalam
hubungnya dengan hukum yang disebut dalil disini adalah dalîl hukum.
Dalam sebuah kalimat “asap
menunjukan api”, maka kata api disebut sebagai madlul sedangkan “asap”
yang menunjukan adanya api adalah dalil.
Pembahasan tentang dilalah
ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul fiqh, karena termasuk dalam
salah satu sistem berfikir. Untuk memahami sesuatu tidak harus melihat atau
mengamati sesuatu itu sendiri secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan
petunjuk yang ada. Berfikir menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berfikir
secara dilalah.
Para Ulama membagi dilalah menjadi dilalah wadh’iyah
(sesuai makna pertamanya yang
dikehendaki) dan dilalah ‘aqliyah (sesuai makna yang relevan menurut
akal), dan dilalah wadh’iyah dibagi menjadi dua; dilalah lafdziyah dan
dilalah ghairu lafdziyah.[6] Hal ini sebagai berikut:
- Dilalah lafdziyah (الدِلَالَة
اللَّفْظِيّة) yaitu dilâlah dengan dalil yang digunakan
untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafadz, suara atau
kata.
Penunjukan lafadz, suara atau
kata kepada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a.
Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjukan kepad maksud
tertentu yang dapat dimengerti oleh setiap orang di seluruh alam ini. Contoh;
suara rintihan yang menunjukan orang yang sedang kesakitan.
b.
Melalui akal. Contohnya suara kendaraan didepan rumah, dapat dicerna
secara akal bahwa banyak kendaraan yang lewat didepan rumah.
c.
Melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud
tertentu. Atau di sebut sebagai “dilalah lafdziyyah wadh’iyyah” (الدِلَالَة اللَفْظِيَة الوَضْعِيّة) Sebagai
contoh jika kita mengatakan “binatang yang mengeong” dapat dipahami bahwa itu
adalah kucing.
Dilalah yang ketiga ini yang
paling banyak di bicarakan dalam ushul fiqh. Para ahli membagi dilalah
lafdziyyah wadh’iyyah menjadi tiga: muthôbiqiyyah, tadhâmuniyah,
Iltizâmiyah.
- Dilalah ghairu
lafdziyah (الدِلَالَة
غَيْرُ لَفْظِيّة)
Yaitu dalil yang digunakan
bukan dalam bentuk suara, bukan lafadz,
dan bukan pula dalam kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuara”
dapat pula memberikan petunjuk atas sesuatu. Seperti raut muka seseorang yang
bisa di pahami akan adanya sesuatu. Dan hal ini dapat di pahami melalui tiga
hal; pertama, melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami
oleh banyak orang. Kedua, Melalui akal. Ketiga, melaui kebiasaan
dalam menggunkan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu.[7]
Bentuk dilalah yang luas penggunaanya adalah dilalah
lafdziyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum.
Sedangkan dilalah ghairu lafdziyah sedikit penggunaanya karena masih
menjadi perdebatan diantara apara ulama’ Ushul Fiqh. Berikut ini pembagian
dilalah menurut Ulama’ Hanafiyah dan Syafi’iyah.
B.
Pembagian Hanafiah atas metode dilalah (penunjukan)
lafadz;
Hanafiah membagi metode pengertian lafadz
atas sebuah makna di bagi menjadi empat macam; Ibarah Nash, Isyarah Nash,
Dalalah Nash, dan Iqtida’u nash.
Yang dimaksud dengan nash disini adalah, lafadz
yang dipahami darinya makna, baik secara dzahir, nash, mufassar atau muhkam.
- Dilalah
Ibarah (دلالة العبارة)atau Ibarah Nash (عبارة النص)
Menurut Abu Zahrah Dilalah Ibarah adalah:
المَعْنَى المَفْهُومُ مِنَ اللفْظِ سَوَاءٌ كَانَ
نَصّا أَو ظَاهِرًا
“makna yang dapat di pahami
dari apa yang disebut dalam lafadz, baik dalam bentuk nash maupun dzahir”
(دلالته)
أي اللفظ (على المعنى) حال كونه مقصودا أصليا ولو لازما وهو المعترعندهم فى النص
أو غيرِ أصليِّ
“Penunjukan lafadz atas
makna dalam keadaan sesuai dengan yang di maksud secara asli, meskipun dalam
bentuk lazim (lafadz inilah yang diperhitungkan oleh ulama ushul dalam nash)
atau bukan dalam bentuk asli”
Dalam bukunya Wahbah Zuhaili mendefinisikan Ibarah
nash sebagai berikut:
دلالة الكلام على المعنى المقصود منه إما إصالة أو
تبعا
penunjukan perkataan (kalam) atas makna yang
dimaksud darinya baik secara asli (isolah) maupun pengikut (taba’).
Hal ini karena pada dasarnya kalimat itu dapat
dipahami langsung atau yang di sebut isolah dan ada juga yang dipahami
secara mengikut (taba’) atau tidak secara asli, dalam bukunya Amir
Syarifuddin menjelaskan juga bahwa makna isolah bisa juga di sebut sebagai nash
dan makna taba’ disebut juga dzohir. Baik yang asli maupun tidak ini yang di
namakan ibarah nash.
Sebagai contohnya: firman Allah SWT " وَأَحَلّ
اللهُ البَيْعَ وَحَرّمَ الرِّبَا " menunjukkan dengan lafadznya dan ibarahnya
atas dua makna: pertama; pembedaan antara riba dan jualbeli, kedua; pengharaman
riba dan penghalan jualbeli. Dua makna itu terkandung dari perantara ucapan (siyaq
kalam) dalam ayat tersebut, dimana makna awal itu makna asli karena sebagai
jawaban atas ayat sebelumnya " إِنّمَا البَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا " dan
makna kedua adalah makna pengikut untuk mencapai makna yang dimaksud dari makna
asli.
Sebagai contoh lain juga
" فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَى وَثُلَاثَى وَرُبَاعَ " dimana
ayat ini mempunyai dua makna, pertama; pembolehan nikah, kedua; pembatasan
jumlah istri sebanyak 4 orang maksimal. Dimana arti yang pertama (kebolehan
untuk nikah) adalah pengikut, dan makna yang kedua adalah makna asli karena
sebagai jawaban atas ayat sebelumnya yang mana poligami sebagai jawaban atas
orang yang medapatkan wasiat atas anak yatim dan takut akan mendzolimi mereka
dan memakan harta mereka.
Pengertian dengan jalan Ibarah nash
menunjukkan hukum secara pasti (qath’i) jika tanpa ada penghalang (‘awarid)
luar yang mempengaruhi terhadap ayat, dan jika terdapat takhsis maka
ayat tersebut akan menunjukan makna dhanni bukan pasti (qath’i).
- Dilalah Isyarah
(دلالة
الإشارة) atau Isyarah Nash
(إشارة النص)
Menurut Abu Zuhrah :
مايدل عليه اللفظ بغير عبارة
“apa yang ditunjukan oleh
lafadz bukan melalui ibaratnya”
Menurut Ulama Hanafi dalam at-Tahrir memberikan
definisi sebgai berikut:
(دلالته)
أي اللفظ على مالم يَقصُدْ به أصلا
“Lafadz yang dilalahnya
terhadap sesuatu tidak dimaksud untuk
itu menurut asalnya”
دلالة الكلام على معنى غير مقصود إصالة ولا تبعا,
ولكنه لازم للمعنى الذي سيق الكلام لإفادته
Penunjukan sebuah
perkataan terhadap makna yang
dimaksud darinya tidak secara asli (isolah) maupun pengikut (taba’),
tetapi makna itu lazim untuk makna yang dipahami dari siyaq kalam untuk
makna yang dinginkan.
Dimana perbedaanya dengan dalalah ibarah
adalah bahwa dalalah ibarah dapat mendapatkan makna langsung dari siyaq
kalam dalam ayat tetapi isyarah nash tidak nampak dalam siyaq
kalam tetapi lazim muncul dari perkataan (kalam) tersebut, dan
dalalah isyarah nash bisa jadi jelas (dhohir) yang dapat dipahami
dengan sedikit perenungan dan ada juga tersembunyi (khafy) yang
membutuhkan perenungan lebih dalam.
Setiap lafadz menurut ibarat nash nya memberikan
petunjuk kepada maksud tertentu sesuai dengan apa yang dituju oleh lafadz itu.
Para Ulama’ ushul dapat menangkap lafadz yang demikian untuk memberi petunjuk
kepada makna lain. Terkadang makna tersebut dapat memberikan lebih dari satu
makna yang ditunjukan oleh ibaratnya.
Sebagai contoh;
وَعَلَى المَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنّ وَكِسْوَتُهُنّ
بِالمَعْرُوْفِ
Ibarat lafadz dalam ayat ini menunjukan
keawjiban ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian untuk istrinya atau jandanya
pada masa iddah. Tetapi dalam ayat ini jika di perhatikan secara mendalam bahwa
kata " المَوْلُوْدُ
لَهُ " yang berarti ayah bukan menggunakan kata " أَبٌ " tentunya
mempunyai makna yang terkandung di dalamnya, maka para ulama dapat menyimpulkan
bahwa kalimat tersebut terdiri dari dua kata yaitu " المَوْلُوْدُ " yang
berarti anak dan kata " لَهُ "
yang berarti kepunyaanya (ayah), maka dapat di simpulkan bahwa anak adalah
kepemilikan ayah, atau dapat di ambil kesimpulan bahwa anak akan dinisbatkan
nasabnya kepada ayah dengan memahami ayat ini. Maka jelas di sini penunjukan makna
penisbatan nasab kepada ayah bukan langsung dari nafadz tetapi butuh melakukan
perenungan sedikit terhadap ayat tersebut sehingga mendapatkan makna lain dari
makna yang langsung dari ayat tersebut.
Tetapi jika terjadi
pertentangan antara dilalah ibarah dan dilalah isyarah, maka lebih di dahulukan
hukum yang menggunakan ibarah daripada hukum yang ditetapkan dengan isyarah,
memkipun keduanya berlandaskan nash. Maka juga bisa di sebut bahwa isyarah
layaknya kinayah(
كناية) dari sebuah tashrish (تصريح)atau musykil (مشكل) dari wadhih (واضح)
Sebagai contoh: dalam
ayat Qisas (QS: Al-Baqarah 178)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita[10].
Dan kaitanya dengan ayat 93 Surah An-Nisa`
`tBur ö@çFø)t $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJÏàtã
Artinya:
Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya
serta menyediakan azab yang besar baginya.
Bahwa
nash pertama dengan dilalah ibarah yang jelas menunjukan atas wajibnya
qisas bagi pembunuh yang sengaja, dan nash yang kedua bahwa dengan dilalah
isyarah bahwa tidak diwajibkan qisas atasnya, yaitu dengan siksa yang kekal
di akhirat, dan balasanya adalah di akhirat, maka dapat dipahami bahwa tidak
ada lagi balasan baginya di dunia. Maka
dalam hal ini harus didahulukan yang dilalah ibarah dari pada dilalah
isyarah.
Dilalah isyarah seperti dilalah ibarah yang menunjukan
hukum qath’i kecuali ada yang
menghalangi dari makna yang qath’i kepada yang dzanni, seperti
dengan ijma’ ulama’ pada penetapan status anak dalam hal budak atau merdeka
yang mengikuti ibu yang bertentangan dengan ibarah nash yang menunjukan bahwa anak
adalah mengikuti ayah dalam nasab "
وَعَلَى المَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالمَعْرُوْفِ "
- Dilalah
dilalah(دلالة
الدلالة) atau dilalah nash (دلالة النص)
Menurut Abu Zuhrah:
دلالة اللفظ على ثبوت حكم ماذكر لما سُكِتَ عنه
لفهم المناط بمجرد فهم اللغة
“Dilalah lafadz yang disebutkan
dalam penetapan hukum yang disebutkan atas apa yang tersembunyi dari hukum
tersebut untuk memahami maksud isi hukum berdasarkan pemahaman dari segi
bahasa”
Dalam bukunya Wahbah Zuahaili mendefinisikan
sebagai:
دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه,
للا شتراكهما فى علة الحكم التي يمكن فهمها عن طريق اللغة, من غير حاجة إلي
الإجتهاد الشرعي
Penunjukan lafdz atas
ketetapan hukum yang terucap untuk yang tidak terucap atas lafadz tersebut,
karena ada keserasian dalam alasan hukum yang memungkinkan pemahamanya dari
segi bahasa tanpa membutuhkan kepada ijtihad syar’i.
Dalam hal ini baik hukum yang tidak nampak (المسكوت) tersebut sama (مساوى) dengan yang manshush ataupun lebih
tinggi (أولى) dalam hukumnya.
Dalam hal ini menurut Syafi’i disebut sebagai qiyas
jaly, atau disebut juga sebagai mafhum muwafaqah.
Contoh dari yang lebih tinggi hukumnya (أولى) :
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا
Dalam ayat ini menjelaskan akan larangan berkata
“ah” pada orangtua, karena didalamnya menyakiti kedua orang tua. Dengan jalan dalalah
nash dapat dipahami juga bahwa mengumpat, mengurung, tidak memberinya
makanan juga termasuk dalam tersebut, karena perbuatan tersebut lebih
menyakitkan daripada hanya berkata “ah”. Hal ini di karenakan kesamaan alasan
pelarangan perbuatan tersebut.
Perbedaan antara Hanafi dan Syafi’i dala hal
tersebut bahwa hukum tersebut tetap dengan nash, karena pengethuan akan alasan
pelaranganya langsung dari nash yang setiap orang yang paham akan bahasa akan
memahaminya. Tetapi menurut Syafi’i, bahwa hukum tersebut diketahui melalui
ijtihad dan qiyas, bukan langsung dipahami dari nash mengunakan kemampuan
bahasa saja. Dan untuk diketahui bahwa qiyas adalah dilakukan bagi hukum yang
tidak ada nash langsung dari al-Qur’an atau Sunnah.
Contoh dilalah nash musawi:
إِنّ الذِ يْنَ يَأكُلُوْنَ أَمْوَالَ اليَتَامَى
ظُلْمًا إِنّمَا يَأكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Ayat ini menunjukan dengan Ibarahnya tentang
keharaman memakan harta anak yatim secara dzalim, dipahami juga secara dilalah
nash bahwa menghancurkan, membakar, menyianyiakan harta anak yatim, adalah sama
hukumnya dengan memakan harta anak yatim, karena didalamnya juga ada
penghilangan harta anak yatim yang dapat dipahami secara bahasa.
- Dilalah
Iqtidha’
(دلالة الإقتضاء) atau Iqtidha’ Nash (إقتضاء النص)
Abu Zahrah memberikan definisi sebagai berikut:
دلالة اللفظ على كل أمر لا يستقيم المعنى إلا
بتقديره
“Penunjuka lafadz kepada setiap sesuatu yang
tidak selaras artinya kecuali dengan perkiraanya (taqdîrihi)”
Menurut Wahbah Zuhaili dalam bukunya
menyebutkan:
دلالة الكلام على مسكوت عنه, يتوقف صدق الكلام أو
صحته شرعا على تقديره
“Petunjuk perkataan atas
yang terdiamkan olehnya (al-maskut ‘anhu), bergantung pada kejujuran perkataan
atau kebenarannya secara syar’i atas perkiraanya (taqdîrihi)”
Dalam hal ini bahwa sighoh nash tidak menunjukan
atas hukum tersebut, tetapi dengan kejujuran dan kebenaran akal dan syara’
membenarkan akan hukum tersebut dengan jalan perkiraan atasnya. Ini yang di
namakan dengan dilalah iqtidha’ yang berarti al-istid’a` (memanggil) dan
tholab (permintaan). Maka makna yang menunjukan kepada sebuah hukum yang
terkandung dalam ungkapan (ayat) tersebut memamnggil dan meminta akan kejujuran
dan kebenaran dari sebuah ungkapan tersebut.
Perkiraan (taqdîr) dapat dibagi menjadi
tiga:
- Sesuatu yang wajib di-taqdîr-kan
(diperkirakan) karena kebenaran (sidq) perkataan, seperti
firman Allah;
"
رُفِعَ عَنْ أُمّتِى الخَطَأ وَالنِسْيَانُ وَمَاسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ "
Dengan makna ibarahnya
dipahami dimaafkan perbuatan yang terjadi karena kesalahan atau kelupaan atau
dalam keadaan pemaksaan setelah terjadinya. Tetapi ini berlawanan dengan fakta
dalam umat, karena mengharapkan akan adanya makna perkiraan dari perkataan tadi
yaitu memaafkan dosa atau hukumnya agar dapat sesuai dengan fakta kenyataan.
Jadi dapat di pahami bahwa dimaafkan dosa dari kesalahan dan kelupaan dan pemaksaan
dalam berbuat keharaman.
Contoh lain: “innama
al-a’mal bin niyyat” dimana selanjutnya akan bermakna sesungguhnya ‘pahala’
sebuah pekerjaan tergantung dengan niat.
- Sesuatu yang wajib di-taqdîr-kan
(diperkirakan) karena ke-shohihan (sah) perkataan secara akal.
Seperti firman Allah;
"
وَاسْئَلِ القَرْيَةَ التِي كُنّا فِيْهَا "
Dalam ayat ini akal tidak akan menerima jika diartikan
secara langsung untuk bertanya kepada desa. tetapi yang dimaksud dalam ayat
secara akal adalah bertanya kepada penduduk desa tersebut, karena akal akan
berlawanan jika di artikan dengan bertanya kepada desa dan sesuatu yang
mustahil, maka diperlukan perkiraan makna yang tepat bagi ayat tersebut.
- Sesuatu yang wajib di-taqdîr-kan
(diperkirakan) bagi ke-shohihan (sah) sebuah perkataan secara
syar’i. Sebagaimana firman Allah:
فَاتّبَاعٌ بِالمَعْرُوْفِ وَأدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَان
Artinya: maka ikutilah apa
yang patut dan bayarkanlah kepadanya secara baik
Ayat ini ada hubunganya dengan
ayat sebelumnya:
وَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ
Artinya: barangsiapa yang di
maafkan baginya dari saudara sesuatu
Dimana dalam ayat tersebut
tidak dinyatakan apa yang harus diberikan secara patut bagi yang telah
dimaafkan oleh saudaranya atas sesuatu. Sedangkan ayat sebelumnya adalah
menjelaskan kewajiban sebuah qisas. Maka untuk sahnya ayat tersebut haruslah
dimunculkan sebuah kata, dalam hal ini adalah diyat. Maka ayat tersebut
akan berarti sebagai berikut: “orang yang diberi maaf kepadanya atas
pelaksanaan sesuatu (qisas) maka ikutilah yang demikian secara patut dan
berikanlah diyat kepadanya secara baik”.
Di tinjau dari segi bentuk yang harus di-taqdîr-kan
(diperkirakan) untuk kebenaran atau kesahan suatu lafadz secara syar’i (hukum)
dibagi menjadi dua:
- Yang ditaqdirkan itu
adalah sebuah kata. Seperti kata ‘sah’ yang harus di munculkan dalam sabda
Rasul berikut:
لَاصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ
Artinya: tiadalah sholat
bagi orang yang tidak membaca surat al-fatihah dalam sholat
Secara bahasa diartikan
“tiadalah sholat”, tetapi hal ini adalah mustahil untuk meniadakan sholat yang
telah terlaksana, maka harus dimunculkan kata ‘sah’ dalam hal ini, sehingga
hadits tersebut dapat berarti; tiada sah sholat seseorang yang tidak membaca
al-fatihah dala sholat.
- Yang ditaqdirkan itu
adalah suatu peristiwa hukum. Sebagai contoh si A mengatakan kepada si B,
“wakafkanlah kebunmu itu kepadaku dengan bayaran 10 juta rupiah”. Jika
dipahami bahwa yang mewakafkan adalah B maka pahala akan menjadi milik si
B bukan milik si A, meskipun yang menyuruh adalah si A, akan tetapi jika
si A ingin mendapatkan pahala dari waqaf tersebut haruslah di artikan
dengan “jualah kebun itu kepadaku dengan harga 10juta, kemudian
wakafkanlah atas namaku”. Dan si B menjawab “saya jual kebun saya kepada
si A seharga 10juta dan saya mewakafkan kebun itu untuk dan atas nama si
A”.
Kekuatan Hukum Dilalah
Penetapan hukum
menggunkan dilalah (ibarah, Isyarah, dilalah, iqtidha`) dengan jalan
qath’i dan yakin kecuali jika ada yang memalingkanya kepada makna dzanni
sepeti takhsis atau ta`wil, hal ini karena pemahaman ibarah dan
isyarah menggunakan lafadz itu sendiri, sedang dilalah nash menetapkan hukum
dengan jalan illah (alasan) yang tetap secara bahasa, sedangkan dilalah
iqtidha` yang mengharuskan kebenaran sebuah perkataan dan kebenaran maknanya,
sehingga menjadi petunjuk yang pasti.
Urutan dilalah dari segi
kekuatan dilalahnya dalam sebuat hukum, dari yang terkuat adalah; dilalah nash,
dilalah isyarah, dilalah dilalah, dilalah iqtidha`. Hal ini dikarenakan bahwa:
- Ibarah
lebih kuat dari Isyarah karena Ibarah menunjukan makna dengan persesuain
kalimat, sedangkan Isyarah menunjukan makna bukan dari persesuaian kalimat
(siyaqul kalimah)
Contoh:
Dalam sebuah ayat "
وَعَلَى المَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالمَعْرُوْفِ " dimana ayat ini dapat dipahami secara isyarah bahwa hubungan
nasab adalah kepada ayah, maka dari itu ayah lebih berhak menerima nafkah dari
anak daripada ibu. Tetapi isyarah dalam nash ini bertentangan dengan ibarah
nash sebuah hadits Rasul, dimana dalam sebuah hadits terdapat seorang sahabat
yang sedang bertanya kepada Rasul, “siapa yang berhak dihormati oleh seorang
anak?”, Rasul menjawab: “Ibumu”, dan kemudian sahabat itu bertanya lagi
“kemudian siapa?”, dan jawaban itu berulang kali hingga tiga kali, hingga pada
kali keempat beliau menjawab “ayahmu”. Ibarat dalam nash ini menunjukan bahwa
Rasul menjelaskan orang yang paling berhak mendapatkan nafkah adalah ibu.
Dengan demikian keutamaan ayah yang di isyaratkan oleh ayat 232 diatas tidak
penting lagi dalam hal ini.
- Isyarah
Nash lebih kuat dari
pada Dilalah Nash karena isyarah menunjukan makna dengan
lafadz sendiri dan formulasinya, sedangkan dilalah menunjukan
kepada makna dengan jalan pemahaman akal atas nash dan mafhumnya.
Contoh: Dalam surat an-Nisa` ayat 93 : " وَمَنْ
يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمّدًا فَجَزَاءُهُ جَهَنّمُ خَالِدًا فِيْهَا " Dapat dipahami secara isyarah nash
akan berarti bahwa balasan untuk orang
yang membunuh dengan sengaja adalah neraka jahannam, yaitu berhubungan dengan
hak Allah dan yang lain tidak usah.
Tetapi dalam surat an-Nisa
ayat 92: "
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
وَدِيَةٌ مُسَلّمَةٌ إِلَى أَهْلِهَا dapat dipahami secara dilalah
bahwa pembunuh yang sengaja dari orang beriman akan diwajibkan membayar kaffarah,
yaitu sebagai mafhum aula karena yang membunuh dengan tidak sengaja saja
diwajibkan kaffarah. Tetapi Ulama’ Hanafi tidak mewajibkan pembayaran kaffarah
bagi orang muslim yang membunuh dengan sengaja, dan hanya mewajibkan qisas
atau qûd. Hal ini berbeda dengan Ulama Syafi’i yang mewajibkan hukuman
lain selain qisas yaitu kaffarah. [11]
- Dilalah
Nas lebih kuat dari Iqtidha’
Nash karena makna yang muncul dari iqtidha’ bukan dari
formulasi lafadz atau mafhum nash secara bahasa, tetapi membutuhkan
kebenaran dan keshahihan kalimat.
C.
Pembagian Jumhur Mutakallimin atas metode
dilalah (penunjukan) lafadz;
Jumhur Mutakallimin selain hanafiyah membagi
dilalah lafadz menjadi dua, yaitu; Mantuq dan Mafhum. Untuk lebih jelasnya
sebagai berikut:
- Mantuq
Kata mantuq secara bahasa
berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah dilalah
mantuq adalah:
دلالة المنطوق هي
دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور في الكلام
“Dilalah mantuq adalah penunjukkan
lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal)”.
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung lafal
yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq. Ini
mencakup Dilalah Ibarah, Isyarah, dan
Iqtidha’, menurut Hanafi.
Misalnya; hukum yang dipahami langsung dari
teks firman Allah pada surat Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
فَلَا تَقُل
لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: “Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka”.
Dalam ayat tersebut terdapat
pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu
ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan
perkataan “ah” atau perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan
mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang)
karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan
yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum. Hal
tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini. Para ahli ushul fiqh
membagi mantuq kepada dua macam yaitu:
1.
Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas.
Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
المنطوق الصريح هوما
وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او بالتضمن
“Mantuq sharih adalah makna yang secara tegas yang
ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau
berupa bagiannya”
Untuk memahami definisi ini dengan
baik perlu dikemukakan contoh penggunaan dilalah mantuq sharih pada
firman Allah surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan
tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman
riba.
2. Adapun Mantuq
ghairu sharih secara istilah adalah:
المنطوق غير صريح هو
مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
“Mantuq ghairu sharih adalah
pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai
konsekuensi dari suatu ucapan”
Dari definisi ini jelas bahwa apabila
penunjukkan suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal),
bukan ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik
secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih. Misalnya
dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa
nasab seorang anak dihubungkan kepada ayah bukan kepada ibu karena tanggung
jawab nafkah anak berada di tangan seorang ayah. Kesimpulan seperti ini diambil
dengan cara mantuq ghairu sharih dari ayat di atas.
Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini
terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1.
Mantuq Sharih, adalah apa yang ditunjukan oleh
lafadz dengan muthabaqah (kesamaan) atau tadhamun (kolektif)
2.
Mantuq ghairu Sharih, adalah apa yang ditunjukan oleh
lafadz bukan dengan muthabaqah (kesamaan) atau tadhamun
(kolektif)
Dan
mantuq ghairu sharih di bagi menjadi tiga; Iqtidha`, Îma`, dan Isyarah.
a. Al-Iqtidha` adalah
maksud dari seorang ‘Mutakallim’ yang dapat dipahami tergantung pada kesahan
perkataan atau kebenaranya baik secara syar’i maupun secara akal atas makna
yang muncul. Sebagaimana pentaqdiran kata ‘dosa’ dalam hadits rasul " رفع عن
أمتي الخطأ والنسيان "
b. Al-Îma` atau disebut juga tanbih adalah
bergabungnya maksud ‘Mutakallim’ dalam sebuang ungkapan dengan sifat yang
menjadi illat akan hukum yang terkandung didalamnya. Sebagaimana
bergabungnya perintah tentang membebaskan budak dengan perkaran ‘waqâ`’,
dimana ‘waqâ`’ adalah illat akan kewajiban membebaskan budak.
c. Al-Isyarah,
adalah
bukan yang dimaksud dari ‘Muatakallim’. Sebagai contoh: " وحمله وفصاله ثلاثون
شهرا " dan ayat
"وفصاله فى عامين " yang dapat dipahami dari
sini bahwa hamil paling sebentar adalah enam bulan.
- Mafhum
Pengertian Mafhum secara bahasa
adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan dari ucapan lafadz itu
sendiri. Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut
“Mafhum adalah penunjukkan lafal yang
tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafal terhadap suatu hukum
yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian
lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan)” Seperti firman Allah SWT.
فَلَا تَقُل
لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya
mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga
digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya
memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat dibedakan kepada dua bagian yaitu:
1. Mafhum
Muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz
yang disebutkan. Menurut para ahli usul fiqh mafhum muwafaqah adalah
penunjukan hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukumnya karena
terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan atau menetapkan. Mafhum
Muwafaqah dapat dibagi kepada 2 bagian yaitu:
a)
Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih
utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak
boleh hukumnya, firman Allah yang berbunyi :
فَلَا تَقُل
لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi
memukulnya.
b)
Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan
sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT dalam surat
An-Nisa ayat 10:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ
ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
Artinya: Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).
Membakar atau
setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan
harta anak tersebut yang berarti dilarang (haram)
2. Mafhum
Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik
dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang
diucapkan. Seperti dalam firman Allah SWT surat Al-Jumuah ayat 9
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Artinya: Wahai orang-orang yang
beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh
jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan
shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah
1) Mafhum
Shifat
Yaitu yang
menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman
Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 92
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
Artinya: barangsiapa
membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman
2) Mafhum
syarat
Mafhum syarat ialah penunjukan suatu
lafadz yang pada lafadz ini berlaku hukum yang dikaitkan kepada suatu syarat,
terhadap kebalikan hukum pada suatu yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak
dipenuhi. Atau dalam definisi yang lebih mudah dapat di artikan: bila syarat
terpenuhi maka berlaku humum, tetapi jika syarat tidak terpenuhi maka akan
berlaku hukum yang sebaliknya. Contoh:
فإن
طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا
Ayat ini
menjelaskan akan kebolehan mengambil harta dari mahar jika dengan kerelaan dari
sang istri, maka dalam ayat ini kerelaan adalah syarat dibolehkanya mengambil
mahar istri, dan dapat dipahami dari dari mafhum bahwa tidak boleh mengambil
mahar istri jika sang istri tidak rela maharnya di ambil.
3) Mafhum
ghayah
Yaitu lafaz yang
menunjukkan hukum yang terikat pada ghayah (batasan tertentu), sehingga
hukum kebalikan tetap karenaya. Lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” atau “hatta”.
Berikut ini contoh dari keduanya dalam firman Allah SWT dalam surat
Al-Maidah ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku
Menunjukan
kewajiban dalam berwudlu adalah membasuh tangan hingga siku, dan hukum
kebalikanya bahwa wudlu tidak sah jika membasuh tanganya tidak sampai kepada
siku.
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
Artinya: dan
janganlah kamu mendekati mereka, hingga mereka suci
Ayat
ini menjelaskan larangan menggauli istri ketika haid, dan hukum sebaliknya
adalah kebolehan bagi suami menggauli istri jika dalam keadaan suci.
4) Mafhum ’adad
Yaitu penunjukan
hukum kebalikan dari sebuah hukum yang terikat oleh bilangan tertentu. Firman Allah SWT dalam surat An-Nur
ayat 4.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُم ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Artinya: Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera.
Ayat
ini menjelaskan syarat saksi harus empat orang, dan jika saksi kurang dari
empat maka persaksian tidak sah dan mendapatkan hukuman jild (cambuk) 80
kali. Maka dapat dipahami dengan mafhum mukholafah bahwa jika saksi mencapai
empat orang maka hukuman tidak dapat dijatuhkan.
5) Mafhum
al-Laqab
Penunjukan lafadz
yang menjelaskan berlakunya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan atas
tidak berlakunya hukum tersebut untuk orang lain[12]. termasuk dilamnya tokoh, sifat,
nama jenis (al-jins) dan spesies (an-nau’) [13]. Contoh tokoh (Muhammad Rasulullah),
contoh sifat( لي الواجد –
مطل الغني – يحل عرضه وعقوبته ) , contoh jenis ( الذهب بالذهب والفضة
بالفضة ) , contoh nau’ (في الغنم زكاة ).
Misalnya, firman Allah
dalam surat Yusuf ayat 4 yang berbunyi:
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ
كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
Artinya: (Ingatlah),
ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi
melihat sebelas bintang, matahari dan bulan kulihat semuanya sujud padaku.
Dari ayat ini
dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada
kaitannya dengan orang lain.
6) Mafhum hasr
Penyebutan hukum dengan
pembatasan pada sesuatu yang ditunjukan oleh lafadz dan memberikan hukum
kebalikanya atas apa yang keluar dari batas tersebut. firman Allah SWT dalam
surat Al-An’am ayat 145
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ
خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: Katakanlah,
tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu
makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir
dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang
disembelih dengan tidak atas nama Allah
Pada
ayat ini ada pembatasan akan makanan haram yaitu bangkai, darah yang mengalir,
dan daging babi, maka dapat dipahami dari mafhum mukholafah bahwa selain itu
adalah hahal.
Pendapat
Ulama atas Mafhum Mukholafah
Para ulama
berbeda dalam mengambil sebuah hukum dengan menggunakan mafhum mukhalafah.
Disini ada dua pendapat, pertama; Jumhur, dan kedua; Hanafiyah
- Jumhur. Bahwa mafhum mukhalafah selain
mafhum laqab adalah bisa dijadikan hujjah dan wajib melaksanakanya
atas dasar tersebut. Jika suatu nash menyebutkan pembatasan akan hukum
tertentu maka berlaku ketetapan hukum kebalikanya.
Dalil
Jumhur:
a)
Dalil Naqli: Bahwa banyak dari
sahabat Rasul, para Imam-imam, dan tabi’in yang telah menggunakan mafhum
mukhalafah.
Ibnu
Abbas memahami firman Allah: ( وإن أمرأ هلك ليس له ولد وله أخت فلها نصف ماترك
) Bahwa kakak (pr) tidak mendapatkan warisan
jika dengan anak (pr). Karena Allah ketika memberikan warisan setengah (1/2)
ketika tidak ada anak (lk) atau anak (pr), maka menunjukan bahwa kakak (pr)
tidak mendapatkan warisan jika ada anak laki-laki maupun perempuan.
Jumhur
Fuqaha termasuk Hanafiyah juga selain Imam Laits memahami hadits Rasul "
في سائمة الغنم في كل أربعين شاةً شاةٌ " bahwa tidak ada wajib zakat atas ma’lufah (yang dikasih
makan)
b)
Dalil Aqli. Bahwa nash-nash
yang terdapat didalamnya batasan atau syarat atau ghoyah, tidak
disebutkan secara sia-sia, tetapi pasti akan ada faedahnya, karena jika mencari
faedahnya kita tidak ada faedahnya kecuali dengan menggunakan pengkhususan
dalam hukum tersebut, dan menghindarkan kebalikan hukum tersebut, karena jika
tidak akan sia-sia. Dalam ayat al-Qur’an: " يا أيها الذين أمنوا
لا تقتلواالصيد وأنتم حرم " bahwa dalam ini diwajibkan
hukuman hanya bagi yang membunuh hewan dengan sengaja, dan tidak berlaku
hukuman bagi yang tidak sengaja.
- Hanafiyah. Bahwa mafhum mukhalafah tidak
dapat dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum syar’i, tetapi dapat
dijadikan hujjah pada perkataan manusia dalam keseharian.
Dalil
Hanafi
a)
Bahwa faedah yang terkandung
dalam sebuah nash banyak sekali, maka jika terdapat pengkhususan dari perkataan
Syari’ dan belum nampak faedah tertentu maka tidak bisa kita memberi hukum
dengan pengkhususan tersebut. Karena maksud dari Syari’ tidak mungkin tercakup
secara keseluruahan. Berbeda dengan yang terjadi pada perkataan manusia biasa
yang memungkinkan pengetahuanya.
b)
Tidak digunakan mafhum mukhalafah
dalam banyak ayat Qur’an atau dalam hadits Rasul, karena jika dilakukan mafhum
mukhalafah akan bnayak menimbulkan makna yang salah dan hukum yang bertentangan
dengan syara’. Contoh: ( إن عدة الشهور عند الله اثنى عشر شهرا فى كتاب
الله يوم خلق السموات والأرض منها أربعة حرم ) dalam ayat ini terdapat adanya penghususan
bulan haram pada empat bulan saja (rajab, dzul qa’dah, dzul hijjah, dan
muharram)yang tidak boleh didalamnya melakukan kedzaliman, tetapi bukan berarti
kebalikanya benar, karena berbuat dzolim tidak hanya khusus pada bulan haram
tetapi juga pada bulan yang lain.
c)
Jika
mafhum mukhalafah dianggap maka tidak butuh lagi kepada nash shorih dari nash
tersebut. Seperti dalam al-Qur’an:
ولا تقربوا هن حتى يطهرن
فإذا تطهرن فأتواهن من حيث أمركم الله
Dalam
ayat ini telah menerangkan hukum yang tersembunyi dari ayat tersebut.
Penolakan Hanafi terhadap dalil
Jumhur:
a)
Apa yang dikatakan oleh Ibnu
Abbas dalam hal hukum zakat pada ghonam yang tidak diwajibkan pada yang
diberi makan bukan dilepas bukan menggunakan dalil mafhum mukholafah
tetapi menggukan dalil ‘al-aslu ‘adam’, atau mengembalikan yang
terdiamkan (al-maskut ‘anhu) dari asli.
b)
Jika mafhum mukhalafah di
jakan hujjah maka harusnya dilaksanakan semua pada semua nash. Seperti ( فليس عليكم أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن
يفتنكم الذين كفروا )
c)
Faedah
penyebutan pengkhususan bukanya menghalangi maksud kebalikanya dan menetapkan
hukum kebalikanya. Tetapi faedahnya adalah mengembalikan hukum tersebut kepada
asal hukum.
Syarat-syarat Mafhum
Mukholafah
Jumhur yang mengatakan berlakunya mafhum mukhalafah memberikan
syarat-syarat untuknya, yang secara umum bahwa penyebutan penghususan dalam
hukum harus tidak tidak memberikan faedah lain, selain penghilangan hukum jika
terdapat pengkhususan atasnya. Berikut ini syarat-syaraf Mafhum Mukhalafah:
1. Mafhum
mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq
maupun mafhum muwafaqah dan hukum yang maskut tidak disebutkan dalam
dalil yang khusus tentangnya. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: (Q.S.
Al-Isra’ Ayat 31)
وَلَا تَقْتُلُوا
أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Artinya: Jangan kamu bunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan
Mafhumnya, kalu bukan karena takut kemiskinan
dibunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil mantuq yaitu:
(QS. Al-Isra’ 33)
وَلَا تَقْتُلُوا
النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: Jangan kamu membunuh
manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran”
2.
Tidak boleh bagi qayd
yang meng-qayd-kan hukum faedah khusus selain menghalangi hukum yang
tersembunyi yang bertentangan dengan mantuq. Seperti targhib
(penyemangat), tanfir (pengasingan), tafkhim (pengagungan),
ta’kid hal (penekanan keadaan), imtinan (kenikmatan) dll.
Contoh:
Contoh
tanfir :" يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا الربا
أضعافا مضاعفة " bukan berarti kalo tidak ‘adh’af’ tidak
dilarang, tetapi dalam ayat ini memakan riba memang tidak boleh baik sedikit
atau banyak.
Contoh
imtinan: " لتاكلوا منه لحما طريا " karena bukan berarti
tidak boleh makan daging yang tidak segar.
3.
Disebutkan (mantuq) bukan suatu hal
yang biasanya terjadi. Contoh dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat
23.
“Dan anak tirimu
yang ada dalam pemeliharaanmu” .
Dari
perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa
yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan,
sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
4. Yang disebutkan
(manthuq) harus berdiri sendiri, jika disebutkan secara tab’iyyah
(mengikuti) maka tidak bisa dipahami secara mafhum mukhalafah. Contohnya
firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187.
وَلَا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: Janganlah kamu campuri
mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid
Tidak dapat dipahamkan kalau tidak
beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istrinya, karena pada dasarnya i’tikaf
memang diharamkan bercampur dengan istri.
Pendekatan pandangan Jumhur
dan Hanafiyah
Setelah kita
ketahui bahwa Jumhur dan Hanafiyah berbeda pendapat dalam membagi turuq
dilalah lafadz dimana Hanafiyah membagi menjadi menjadi empat yaitu dilalah
ibarah, dilalah isyarah, dilalah dilalah, dan dilalah iqtidha`. Sedangkan
Jumhur membagi menjadi mantuq dan mafhum yang selanjutnya mafhum
di bagi dua mafhum muwafaqah dan mafhum mukholafah.
Meskipun
Jumhur dan Hanafiyah berbeda dalam hal ini, tetapi ada beberapa persamaan
diantara keduanya. Dalam hal dilalah nash yang menurut Hanafiyah sebagai
urutan kedua dalam memahami nash, ternyata dalam praktiknya sama dengan apa
yang di namakan mafhum muwafaqah menurut Syafi’iyah atau qiyas jaly
menurut Syafi’i. Selaian itu juga Hanafiyah seperti yang di kutib dalam bukunya
Wahbah Zuhaili menerangkan apa yang di maksud dengan dilalah nash dengan
menggunakan kesamaan dalam illat hukum, dalam memberikan hukum pada hukum yang maskut
baik yang maskut itu sama dalam illatnya maupun lebih utama dalam illat
hukumnya. Dan hal ini sama persis apa yang disebut oleh Syafi’iyah dengan fahwa
khitab dan lahnul khitab.
Meskipun demikian
terdapat juga perbedaan mendasar yang menjadi pijakan diantara keduanya, yang
mana Hanafiyah menetapkan hukum langsung dari nash, sedangkan Syafi’iyah
menetapkan hukum dengan jalan qiyas atau ijtihad syar’i, dalam
memahami hukum yang tersembunyi (maskut). Meskipun pada akhirnya hukum
yang di hasilkan pada adalah sama.[14]
Para ulama
juga berbeda pendapat tentang mafhum muwafaqah apakah dia dari dilalah nashiyah
atau diambil dari dilalah qiyasiyah ( qiyas aula atau qiyas musawi (jaly))
disini ada dua pendapat: pertama, bahwa mafhum muwafaqah diambil dari dilalah
qiyasiyah yang untuk mana memahaminya dengan menggabungkan hukum yang maskut
dengan hukum yang mantuq karena persamaanya dalam illat hukum. Hal ini yang
diusung oleh Imam Syafi’i, sebagian syafi’i seperti Imam Razi, sebagian
hanbilah, dan sebagian mu’tazilah. Kedua; bahwa mafhum muwafaqah adalah
termasuk dari dilalah lafdziyah, yang dipahami dari lafadz bukan pada
waktu pengucapan, dimana dapat dipahami langsung dari bahasa Arab tanpa
menggunakan iijtihad. Pengusung pemikiran ini adalah Jumhur Hanafiyah, dan
sebagian Syafi’iyyah seperti al-‘Amidi, sebagian Hanabilah, dan kebanyakan
Maikiyah.
Selanjutnya
perbedaan tersebut membawa perbedaan pandangan apakah perbedaan dalam menganggap
mafhum muwafaqah sebagai dilalah lafadz atau qiyas sebagai khilaf lafdzy atau
khilaf maknawi.[15]
Selain itu
juga menurut Syafi’iyah bahwa mantuq adalah mencakup pada apa yang dipahami oleh
Hanafiah dalam dilalah ibarah, dilalah isyarah, dan dilalah iqtidha`.
Karena ketiga bagian ini memahami hukum langsung dari ungkapan nash. Yang hal
ini serupa dengan apa yang di istilahkan oleh Jumhur dengan iqtidhâ`, îma`
dan isyârah sebagai pembagian dari mantuq ghairu sharih.[16]
Memperhatikan
manhaj antara madzhab Syafi’i dan Hanafi pada dasarnya tidak terdapat perbedaan
yang suntansial. Perbedaanya hanya pada istilah yang di gunakan. Sebab berbeda
dalam istilah dan sasaranya yang sama, maka tidak mempengaruhi produk hukum
yang dihasilkan,[17] kecuali
dalam hal tertentu seperti yang telah kita sebut di atas.
Historical
Beground Syafi’i dan Hanafi dalam Menetukan Hukum
Dalam memahami teks al-Qur’an atau Hadits,
banyak ulama yang berbeda pendapat, hal ini dikarenakan sebuah teks dalam hal
dilalahnya ada yang bersifat qath’i dilalah dan ada juga yang dzanni
dilalah[18]. Hal perbedaan pendapat ini di mulai dari masa
sahabat yang terus benlanjut kepada masa tabi’in dengan adanya madrasah ra`yu
dan madrasah hadits, sehingga memunculkan beberapa madzhab fiqh pada masa
dinasti abbasiyah.
Pada
masa-masa awal periode tabi’in (masa Dinasti Umayah) muncul aliran-aliran dalam
memahami hukum-hukum syari’ah, serta dalam merespons persoalan-persoalan baru
yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadits
dan ahl al-ra’y. Aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Makkah-Madinah),
banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahami secara
harfiah; sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Iran, banyak menggunakan
rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul. Salah satu contoh kasus
perbedaan ini adalah pada suatu ketika seorang dari kelompok ahl al-hadis
ditanya tentang dua orang anak bayi yang menyusu air susu seekor domba, apakah
hal ini menjadikan hubungan susuan (radha’ah) atau tidak? Jawabnya, Ya, karena
berdasar-kan hadis “Dua anak bayi yang menyusu pada satu air susu yang sama
menjadikan antar keduanya haram menikah”. Meskipun jawabannya ini sesuai dengan teks
hadis, tetapi hal ini tidak sejalan dengan rasio karena maksud hadis ini hanyalah
pada air susu ibu, dan bukan pada domba atau hewan lain.
Munculnya
kedua aliran tersebut terutama disebabkan oleh dua faktor, sebagai berikut. (1)
Pengaruh geografis, kalau kondisi sosial di Madinah pada masa Dinasti Umayah
ini tidak banyak berbeda dengan kondisi pada masa Nabi dan masa Khulafa’al Rosyidin,
maka kondisi sosial di Irak banyak berbeda dengan kondisi jaman Nabi dan
al-Khulafa’al Rosyidin karena Irak sudah menjadi kota metropolitan pada saat
itu sehingga persoalan-persoalan pun lebih kompleks daripada di Madinah. Dalam menghadapi
persoalan-persoalan baru itu dibutuh-kan adanya ijtihad, sementara Hadis yang
beredar di Irak tidak sebanyak yang beredar di Madinah yang merupakan tempat
turunnya wahyu. Maka para ahli ijtihad mengeluarkan fatwa yang banyak
berdasarkan rasio (ra’y). (2) Pengaruh sahabat-sahabat dalam memberikan fatwa.
‘Umar ibn Khaththab dan Ibn Mas’ud, misalnya, dalam memberikan fatwa banyak
menggunakan rasio dengan berusaha mencari ‘illah (legal reason) dan jiwa
syari’ah; sedangkan ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Umar (w. 73 H) sangat berhati-hati
dalam mengeluarkan fatwa dengan hanya menggunakan nash (teks) al-Qur’an dan
Hadis. Di antara ahli fatwa dari kalangan tabi’in adalah Sa’id ibn Musayyab
(13-94 H), Ibrahim al-Nakha’i (46-96 H), Hasan al-Bashri (w. 111 H), dan
sebagainya. Namun demikian, pada periode ini juga belum dilakukan pembukuan
hukum-hukum syari’ah, dan belum diformulasikan dalam bentuk ilmu fiqh. Demikian
pula, metode ijtihad ini belum diformulasikan dalam bentuk ilmu ushul fiqh dan
qowa’id fiqhiyyah.[19] Bermula
dari hal tersebut, menjadikan pola pemikiran antara Syafi’i dan Hanafi berbeda
dalam beberapa hal.
Imam Hanafi (Abu Hanifah An-Nu’man 80-150 H) yang
terlahir di Kufah (Irak) adalah kota yang terkenal sebagai kota yang dapat
menerima perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Mula-mula ia belajar Ilmu
Bahasa tetapi karena ilmu bahasa tidak banyak menggunakan akal makanya ia lebih
cenderung mempelajari fiqh pada selanjutnya. Selain itu juga ia belajar ilmu
tauhid, dan lain-lain.[20] Imam Hanafi dengan pengaruh madrasah ra’yi
nya menjadikan hukumnya lebih berasaskan kemudahan dalam bidang kehidupan
masyarakat, maka Abu Hanifah berhak menyandang Imam Ahlu Ra’yi dalam
Islam.[21]
Sedangkan Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i 105-204 H) beliau seoarang yang sering berpindah-pindah dari sejak
kecil, beliau lahir di ghazzah Palestina, kemudian dibesarkan di Asqalan yang
mana banyak di diami masyarakat Yaman, kemudian dilanjutkan belajar ke Makkah, Madinah,
dan ke Iraq dan menyudahi hidupnya di Mesir.
Syafi’i sejak kecil telah hafal al-Qur’an, dan
beliau sangat tekun mempelajari Bahasa Arab, baik kaidah nahwu, sya’ir, dan
sastra. bahkan sampai ia rela tinggal bersama kabilah huzail yang terkenal
dengan bahasa Arabnya untuk belajar syair dan kaidah bahasa di sana.
Syafi’i di Makkah belajar fikih dari Muslim bin
Khalid az-Zindi kemudian belajar di Madinah bersama Imam Malik, kedua daerah
ini terkenal dengan Madrasah Hadits, yang lebih mengedepankan akan teks
baik dari Qur’an dan Hadits, daripada menggunakan rasio. Selanjutnya beliau
belajar di Bagdad akan ilmu hadits dan ra`yi dengan seorang guru yaitu
Muhammad bin al-Hasan,[22] Dimana Bagdad (Iraq) sangat terkenal dengan
rasio, karena peradaban mereka yang sudah lama selain juga hadits Rasul yang
sampai ke bagdad tidak sebanyak yang ada di Daerah Makkah dan Madinah, juga
permasalahan masyarakat Bagdad lebih kompleks dibanding yang terjadi pada
masyarakat Makkah dan Madinah.
Dengan berlandaskan pada pendidikan Syafi’i pada
dua madrasah inilah, maka Syafi’i mempunyai cara lain dalam mengambil istinbath
hukum, sampai-sampai Syafi’i berbeda pendapat dengan Gurunya Imam Malik, dan
ini tidak lain karena pengaruh yang timbul dari madrasah ra’yi di Iraq. Lain
halnya dengan Hanafi yang hanya belajar di Madrasah Iraq, dimana landasan rasio
beliau lebih menonjol, terlihat dengan hukum yang beliau hasilkan lebih mudah
dalam hal muamalah seperti yang telah kita bahas dalam pembahasan yang lalu.
Penerapan
kaidah dalam masalah kontemporer
Dalam hal pengangkatan anak, Islam telah
melarangnya dengan ayat berikut:
$¨B @yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur @yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur @yèy_ öNä.uä!$uÏã÷r& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºs Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)t ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgt @Î6¡¡9$# ÇÍÈ öNèdqãã÷$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JÏm§ ÇÎÈ[23]
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua
buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang
benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini
menjelaskan dengan mantuqnya akan keharaman anak angkat, dan lebih
dipertegas lagi dengan beberapa dalil ayat al-Qurân, berupa 'larangan'
memberlakukan anak angkat seperti anak kandung dilihat dari beberapa sudut
pandang; pertama, teori kedaulatan Tuhan, dalam al-Qurân dimuat
beberapa ayat yang memerintahkan orang Islam untuk taat kepada Allah dan
Rasul-Nya[24], kedua; tidak dibenarkan untuk mengambil pilihan lain kalau
ternyata Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan hukum yang pasti dan jelas[25], ketiga; mengambil pilihan hukum lain di mana Allah dan
Rasul-Nya telah memberikan ketentuan hukum dianggap zhalim, kafir, atau fasiq[26], keempat; tidak mau dengan hukum Qur’an sama halnya dengan melecehkan al-Qurân[27].
Dengan
mafhum muwafaqah bahwa anak angkat juga tidak mendapatkan waris dari
orang tua angkatnya kecuali dengan wasiat, maka dengan mafhum demikian anak
angkat tidak mendapatkan waris dari orang tua angkatnya, karena yang berhak
mendapatkan waris dari jalur anak hanyalah anak asli.
Lain
halnya dengan anak angkat, sebagaimana yang telah terjadi akhir-akhir ini
tentang anak yang terlahir dari nikah siri[28] yang secara mafhum bahwa
anak yang terlahir dari nikah yang sah mendapatkan waris dari orang tuanya,
sebagaimana pengertian diatas. Tetapi pada kenyataanya anak yang terlahir dari
nikah siri tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam hal waris dari Ayah,
dikarenakan tidak terlahir dari nikah yang sah menurut hukum. Karena nikah siri
secara undang-undang disejajarkan dengan zina dalam Islam, dimana anak yang
terlahir dari zina hanya mendapatkan nasab dari Ibunya. Sebagaimana dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah :
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " الولد
للفراش وللعاهر الحجر " ( رواه الجماعة إلا أبا داود)
Padahal
kenyataanya dalam nikah siri bahwa semua rukun dan syarat nikah sudah tercukupi
secara agama, dengan demikian bahwa nikah siri telah sah menurut agama.
Tetapi
kenyataan sekarang bahwa dengan dilarangnya nikah siri telah terjadi 2jt
perkawinan pertahun dengan angka percerian yang fantastis yaitu 200 ribu. Dan
telah melahirkan 35 juta anak yang lahir tanpa surat lahir, dan susah
mendapatkan hak semestinya.
Jika kemungkinan anak yang lahir
dari hubungan nikah siri mendapatkan hak perdata dari ayah biologisnya, maka
kemungkinan meningkatnya jumlah kawin siri di Indonesia tidak dapat di bendung
lagi, dan kerancuan terhadap pencatatan nikah akan tak bisa terelakkan.
Hal
ini menimbulkan masalah yang sampai saat ini menjadi pembahasan di Mahkamah
Konstitusi, yaitu dengan keluarnya keputusan untuk peninjauan ulang
Undang-undang tersebut.[29]
Wallahu a’lam bissowab.
C. Penutup/ Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, dapat kita
ambil kesimpulan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak
semuanya memberikan pemahaman/penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan
tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk
memahamkannya.
Dengan latar
belakang pendidikan yang berbeda antara Hanafi dan Syafi’i dimana Syafi’i
belajar dari madrasah hijaz dan iraq, sedangkan hanafi lebih banyak
menghabiskan belajarnya di madrasah Iraq yang lebih menonjolkan rasio. Maka
hukum yang dihasilkan berbeda antara keduanya dalam beberapa hal, termasuk juga
dalam perbedaan pengartian sebuah lafadz.
Setelah
memperhatikan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara
Syafi’i dan Hanafi pada dasarnya tidak begitu besar pengaruhnya dalam banyak
hukum kecuali dalam hukum had. Dimana hal yang berkaitan dengan had
tidak bisa berdasarkan dengan mafhum, karena menurut Ulama’ Hanafi landasan
yang dipakai dalam mafhum adalah qiyas, berbeda dengan dilalah yang langsung
dari nash.
Perbedaan
tersebut terletak pada landasan pemikiran mereka dalam menganggap apakah
pemahaman atas maskut tersebut menggunakan qiyas atau tidak,
dimana Hanafiyah meskipun hampir sama dalam menghasilkan hukum tetapi Hanafiyah
mengambil ketetapan hukum langsung dari nash dalam memberikan hukum yang
maskut. Tetapi Jumhur menggunakan qiyas atau ijtihad syar’i
dalam menghukumi hukum yang tersembunyi (maskut) dari sebuah nash.
DAFTAR PUSTAKA
Wahbah
Zuhaili, Ushulu al-fiqh al-Islamy, Cet. Dar al-Fikr, Beirut, thn. 2005
Sya’ban
Muhammad Ismail, Tahdzib; Syarh al-Isnawi, Maktabah Azhariyah li at-Turats
Abdul Karim
bin Ali, al-Khilaf al-Lafdzi ‘inda Ushuliyyin, Maktabah Rusyd, Riyadh,
thn. 1999
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, thn. 2008
Muhammad
al-khudari beik, Ushul Fiqh, Pustaka Amani 2007
Abdul
Karim bin ‘Ali, al-Khilaf al-Lafdzi ’inda Ushuliyyin, Maktabah Rusydi,
Riyad, thn. 1999
Romli
SA, Muqaranah Madzahib fi al-Ushul, Gaya Media Pratama, Jakarta, thn
1999,
Rasyad Hasan
Khalil,
HM
Mukti, Al-Syafi’i sebagai Bapak Ushul Fiqh, Jurnal Studi Islam dan Budaya “Ibda`”
STAIN Purwokerto
Ahmad
as-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, Amzah Jakarta, thn. 2004,
hal 19
[2] Sya’ban Muhammad Ismail, Tahdzib; Syarh
al-Isnawi, Maktabah Azhariyah li at-Turats, juz 1, hal 325
[3] Abdul Karim bin Ali, al-Khilaf
al-Lafdzi ‘inda Ushuliyyin, Maktabah Rusyd, Riyadh, thn. 1999, hal 16
[10] Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak
dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh
Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta
dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh
hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya.
bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh
yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka
terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang
pedih.
[15] Abdul Karim bin ‘Ali, al-Khilaf al-Lafdzi
’inda Ushuliyyin, Maktabah Rusydi, Riyad, 1999 Juz 2, hal. 293-301
[19] HM Mukti, Al-Syafi’i sebagai Bapak Ushul Fiqh,
Jurnal Studi Islam dan Budaya “Ibda`” STAIN Purwokerto
[28] Yang
di maksud nikah siri disini adalah pernikahan yang sah menurut agama Islam,
dengan memenuhi rukun dan syarat nikah, tetapi tanpa adanya pencatatan dikantor
pencatatan sipil, sehingga bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan.
[29] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010
tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menyatakan "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya". Dimana Mahkamah
Konstitusi (MK) menambahkan adanya hubungan perdata dengan "ayah" dan
"keluarga ayahnya". Perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar
kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu
dan keluarga ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar